15. Musim Dingin

2.1K 356 14
                                    

Menno berjalan-jalan sendirian mengelilingi taman di kediaman Panglima, seluruh rumah terasa begitu sepi. Liam meninggalkan Estahr sebelum musim dingin dimulai. Dia bilang ayahnya akan mencoret namanya dari daftar anggota keluarga kalau dia tidak datang sebelum salju pertama turun. Menno, yang sebenarnya diajak, menolak karena dia tidak ingin terlihat menyeberangi perbatasan sama sekali.

"Sedapat mungkin, buat seolah aku masih berada di Stellegrim, atau berada di wilayah Mirchad yang lain," pesannya dalam surat yang ditujukan kepada Eurig.

Selain Liam, baik Panglima maupun Askar tidak ada di rumah. Sudah beberapa minggu mereka pergi mengurus pasukan di perkemahan, dan entah kapan mereka akan kembali. Hanya Nona Neria yang berada di rumah ini, beserta beberapa pengawal dan pelayan rumah.

Menno menyadari kehadiran Neria yang berjalan ke arahnya.

"Tuan suka rumah ini?" tanya gadis itu memulai percakapan.

"Rumah ini pantas menjadi rumah Panglima - sempurna sampai ke ujung-ujungnya."

"Walaupun Tuan sudah lama berada di sini, saya belum sempat mengucapkan terima kasih."

"Panggil saja aku Menno," jawab pria itu. "Terima kasih untuk apa?"

"Menemani Panglima."

Menno mengusap-usap kepalanya. Kenapa dia jadi merasa tidak enak?

"Aku tidak berbuat apa-apa. Nona Neria membesar-besarkan."

Neria menggeleng.

"Sebelum Tuan datang, Panglima terus menerus gelisah, saya juga tidak tahu kenapa. Tapi sekarang ia kembali tenang seperti dulu. Kamu mungkin tidak sadar, tapi Panglima senang Tuan berada di sini."

Senang? pikir Menno. Kalau memang dia senang kenapa dia meninggalkan rumah berminggu-minggu tanpa kabar?

"Panglima tidak pernah menyuruh orang tinggal di rumah jika ia tidak mengenal orang itu dengan baik - apalagi meninggalkan orang itu tanpa pengawasan bersama saya."

Menno berupaya menyembunyikan senyumnya. Ia tahu benar gosip yang beredar di kalangan para pelayan, dan gosip itu bukannya tanpa alasan. Tentu saja tidak ada orang yang akan berani menyentuh wanita spesial sang Panglima kalau masih sayang nyawa.

"Maksud saya, Panglima mempercayai Tuan."

Walau Menno tidak mau terlalu berbesar hati, kata-kata Nona Neria ada benarnya. Ia ingat percakapan yang pernah terjadi antara dia dan Panglima sebelum ia berangkat ke perkemahan tentara.

"Jadi Panglima masih menyelidiki soal racun daun kahalu?" tanya Menno saat melihat daftar penjualan toko obat di atas mejanya.

Panglima mengangguk.

"Kenapa Panglima tidak pernah bertanya apa resep racun itu kepada saya? Bukankah Panglima tahu itu akan membantu penyelidikan?"

"Saat itu kamu masih tersangka," jawab Panglima tanpa berpaling. "Kamu tidak cerita, saya tidak bertanya."

Tentu saja Panglima akan berpikir seperti itu. Berasal dari Mirchad, tahu soal racun, bisa saja saat itu Menno berpura-pura menolong Panglima untuk mendapatkan kepercayaannya.

"Jadi, petunjuk lain apa yang kamu tahu soal racun itu?"

"Salah satu bahan racun daun kahalu adalah bunga mali."

Panglima mendengus.

"Aku sudah tahu dari Neria."

Menno tampak kecewa. Tapi tak lama kemudian ia kembali memasang wajah pongahnya.

"Tapi seberapa banyak Panglima tahu soal bunga itu?"

Panglima mendongak. Menno tahu ia berhasil membuat Panglima tertarik.

"Bunga mali hanya tumbuh di Surpara. Tapi bunga mali sama sekali tidak berguna untuk makanan ataupun dekorasi, karena itu, tidak diperjualbelikan. Dengan kata lain..."

"Kemungkinan besar pelakunya orang Surpara," potong Panglima. "Dan racun itu dibuat di kota ini."

Menno berdecak kagum. Ia hanya bicara sepatah kata, dan Panglima sudah bisa mengerti semua maksudnya. Tidak sia-sia ia ditakuti dan dihormati di mana-mana.

"Kenapa tidak bilang dari dulu?" tanya Panglima. "Kalau tahu, aku tidak perlu memeriksa bawaan karavan selama satu tahun terakhir."

Menno menghela nafas panjang.

"Bukankah Panglima bilang aku dulu tersangka? Orang Mirchad, seenaknya menuduh orang Surpara sebagai pelaku usaha pembunuhan Putra Agung, apa Panglima akan percaya?"

"Kamu pikir aku terlalu mudah curiga?"

"Bukan itu saja," tambah Menno. "Panglima tidak bertanya, buat apa aku cerita?"

Mendengar balasan seperti itu, Panglima tersenyum tipis. Menno Karan memang cerdik, jelas-jelas tidak bisa dibandingkan dengan orang biasa.

"Ngomong-ngomong," ujar pelukis itu. "Panglima bilang dulu tidak mempercayai saya. Kalau sekarang?"

"Kurasa kamu bukan mata-mata Mirchad."

"Apa karena Panglima tahu aku Menno Karan?" tanya Menno dengan nada bangga.

Panglima menggeleng.

"Kamu cerdik, tapi terlalu ceroboh untuk jadi mata-mata."

Menno tersenyum sendiri mengingat itu semua. Mungkin sekarang ini Panglima mulai mempercayainya, sekalipun ia orang Mirchad.

"Kalau keberadaan saya bisa membuat Panglima merasa lebih baik, itu hal baik untuk semua orang."

"Tuan," panggil Neria. "Jangan bicara formal dengan saya. Rasanya aneh."

Menno menggeleng.

"Nona, dengan kedudukan Nona di sisi Panglima, mana mungkin saya berani-"

Neria refleks memukul lengan Menno.

"Di sisi Panglima apanya? Hubungan kami tidak seperti itu."

Menno mengusap-usap tangannya. Tenaga Neria besar juga. Mudah-mudahan tidak memar nanti.

"Ah, kalau begitu Nona jangan memanggilku formal, aku pun sama. Bagaimana?"

"Sepakat," kata Neria sambil tersenyum.

Mereka meneruskan berjalan-jalan di sekitar taman sambil bercanda dan tertawa. Menno terkadang menunjuk satu tanaman dan menceritakan kisah-kisah menarik tentang tanaman tersebut kepada Neria, walau Neria tidak selalu percaya seratus persen kata-katanya. Tapi tetap saja, Neria kagum. Panglima sudah pernah bercerita bahwa Menno punya pengetahuan dalam soal tanaman dan obat-obatan. Sekarang, ia sendiri merasa belajar banyak hanya dari cerita-cerita Menno.

Tanpa mereka sadari, sesosok pria berambut merah mendekati mereka. Panglima yang baru sampai mencari Menno di ruangannya, namun tidak menemukannya. Seorang pelayan memberi informasi bahwa Menno sedang menikmati harinya di taman. Siapa sangka, ternyata ia sedang bersenang-senang dengan Neria. Pemandangan ini sungguh berbeda dengan yang ia lihat di perkemahan selama beberapa minggu terakhir ini. Panglima tanpa sadar tersenyum tipis.

"Kalian tampaknya bersenang-senang," ujarnya sambil melepas mantelnya dan memasangkannya pada Neria.

Menno langsung menunduk dan memberi salam, sementara Neria mengucapkan selamat datang.

"Menno sedang mengajariku soal beberapa tumbuhan," lapor Neria. "Seperti Panglima bilang, pengetahuannya luas sekali."

Panglima mengangguk, lalu menatap Menno tajam.

"Masuklah. Udara sedingin ini, kalian bisa sakit. Aku sudah menyuruh orang menyiapkan makan malam."

Panglima berjalan masuk, diikuti Neria dengan mantel Panglima yang jelas-jelas terlalu besar untuknya.

Menno menunggu beberapa saat sebelum mengikuti mereka dari belakang. Dadanya berdebar kencang, entah karena takut disangka menggoda Neria, atau karena terpesona dengan perlakuan Panglima kepada Neria.

'Hubungan kami tidak seperti itu' apanya?

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang