53. Diserang

1.7K 280 6
                                    

Menno lagi-lagi tidak berada di dalam gua saat Panglima membuka matanya. Sebagai gantinya, wangi semerbak makanan menemani Artunis. Panglima meraba perban yang membalut lukanya. Tubuhnya terasa jauh lebih baik hanya dalam dua hari. 

Obat Menno Karan memang mujarab. 

Menno Karan memang mujarab. 

Panglima tersenyum, lalu bangkit dan berjalan ke luar gua, mencari Menno. Matanya yang selama dua hari terakhir ini tidak melihat dunia luar langsung dihujani oleh warna-warni hutan di bawah cahaya mentari pagi. Menno dan Artunis tampaknya terdampar di bagian rimba yang hampir tidak pernah disentuh manusia, dibentuk alam sedemikian rupa sehingga tampak seperti hunian Para Abadi. 

Pantas saja Menno suka sekali berada di luar gua.

Tidak butuh waktu lama bagi Panglima untuk menemukan Menno duduk di tepi aliran air, membersihkan perban lamanya yang berlumuran darah.

Artunis mendekat, lalu menyentuh pundak tabib itu. Menno berbalik dan menyapa Panglima berambut merah itu. 

"Pagi Panglima, sudah bangun?" 

Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian melirik perban yang dicuci bersih oleh Menno dan topeng emasnya yang berada di antara helaian-helaian kain tersebut. Menno menyadari apa yang Panglima lakukan.

"Aku membersihkan topengmu sekalian."

Artunis tertegun. Dia bahkan tidak ingat bahwa dia tidak memakai topeng. Selama dua hari, Pangima berada di gua tanpa topengnya. 

Bukan masalah besar juga, toh Menno sudah tahu begitu banyak hal  tentang dirinya. Tapi, Panglima tidak pernah sebelumnya merasa nyaman tanpa topeng. Biasanya dia akan merasa ada sebagian yang hilang dari dirinya tanpa topeng tersebut. Tapi kali ini...

Mungkin lukanya membuat kewaspadaannya turun.

Panglima tidak membahas soal topengnya. Ia hanya mengambil topeng itu lalu mengenakannya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Menno. 

"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Menno.

Lagi-lagi Panglima mengangguk. 

"Setelah aku selesai aku akan memberimu obat, lalu kamu bisa beristirahat lagi."

"Tidak perlu," jawab Panglima. "Aku sudah merasa jauh lebih baik."

Menno yang sedang membilas cuciannya berhenti dan menoleh pada Panglima. 

"Tidak bisa. Kamu perlu diobati beberapa kali lagi."

"Aku mengerti, tapi aku tidak perlu beristirahat lagi."

Menno menghela nafas. Memang benar walaupun Panglima masih perlu diobati beberapa kali lagi, kalau hanya melakukan aktivitas normal, sebenarnya tidak akan mengancam kehidupannya. 

"Jadi apa rencanamu?"

Panglima tersenyum di balik topeng emasnya.

"Kita pulang setelah sarapan."

***

Suasana hati Panglima tidak terlalu baik setelah Menno terang-terangan menolak kembali ke perkemahan Pasukan Fajar bersamanya. Panglima memakan sarapannya dengan tampang kesal, tapi tidak tahu lagi harus bicara apa. Panglima sudah menggunakan segala alasan yang bisa dia buat agar Menno mau ikut pulang bersamanya, tapi Menno berkukuh bahwa dia akan pergi ke Vasa terlebih dahulu.

Sementara itu Menno malah sedari tadi sibuk memainkan lonceng yang ia gantung di ranting pohon. Entah apa bagusnya bunyi lonceng itu. Bagi Artunis, bunyi lonceng sama sekali tidak bisa menghiburnya. 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang