21. Malam Perayaan

2K 301 5
                                    

Dengan mundurnya Hallstein dan pasukannya, Panglima Artunis punya satu agenda yang bisa dicoret dari daftar tugasnya, dan Menno punya satu hal untuk ditambahkan ke daftar tugasnya.

Lukisan Panglima.

Kali ini, dengan rambut tergerai.

Mereka sudah kembali ke Estahr sekarang, jadi Menno sudah bisa melukis dengan tenang seperti biasa. Ditambah lagi, Liam sudah kembali dengan pasokan baru barang-barang khas Mirchad.

"Wah, bagusnya... "

Liam berdecak kagum saat memasuki kamar Menno. Bagaimana tidak, tepat di hadapan Menno terdapat lukisan Panglima Artunis dengan rambut terurai membingkai wajahnya yang bertopeng emas, berlatar tanaman kahalu segar yang sedang mekar di belakangnya.

"Paman memang tidak ada duanya," puji pemuda itu.

Menno hanya menaikkan alisnya bangga, dengan senang hati menerima semua pujian dari Liam.

"Kapan mau diberikan kepada Putra Agung?"

Menno membubuhkan sedikit lagi warna merah di bibir Panglima lalu mundur untuk melihat gambarnya secara keseluruhan.

"Tentu saja tidak akan. Mana mungkin aku rela kalau Panglima membuka kanvas ini, lalu mengomentarinya lagi?"

"Hah?" Liam tidak mengerti.

"Nanti lukisanku ditulisi 'bunga di mata, orang di hati'," kata Menno sambil menirukan cara bicara Panglima. "Lukisanku yang berharga ini bisa menangis."

Liam memutar matanya. Tapi Menno tidak peduli dan terus bicara.

"Panglima ingin aku menggambarnya dengan segala kemegahannya, bukan seperti ini."

Liam menggeleng. Rasanya tidak soal seperti apa gambar Putra Agung, dia selalu terlihat megah dan...., yah, agung.

Bagi Menno yang sudah menghabiskan waktu sekian lama dengan Panglima, tidak begitu halnya. Ia sadar bahwa Panglima bukan sekadar megah, agung, tampan, tangguh, atau hal-hal semacam itu. Panglima punya begitu banyak sisi.

Kadang ia begitu indah seperti bunga kahalu yang baru mekar, kadang kecut seperti daun kahalu, sulit dicerna dan membuat Menno sakit perut setengah mati. Kadang ia seperti ramuan ajaib yang bisa menyelamatkan nyawa, kadang racun yang dengan satu gerakan mencabut nyawa.

Menno tersenyum lebar mengamati gambar kahalu sebagai latar lukisannya. Entah kenapa, kata-katanya sendiri terngiang di telinganya.

Di masa yang lampau, tanaman kahalu disebut juga tanaman cinta.

***

Panglima Artunis baru saja selesai memberi instruksi soal pelaksanaan perayaan musim semi hari ini. Perayaan tahunan ini adalah salah satu perayaan paling meriah di Estahr.

Ah, tapi, semua perayaan di Estahr memang luar biasa meriah.

Malam ini akan ada musik dan tarian di pusat kota, makanan dan minuman dijual di pinggir jalan, dan kembang api saat tengah malam. Orang-orang dengan pakaian meriah berlalu-lalang, saling menyapa dan berkenalan. Perayaan musim semi adalah saat dimana orang Surpara asli dan pendatang bisa sama-sama menikmati hidup tanpa perbedaan.

Seperti misalnya malam ini, Panglima Artunis mengajak Menno, Liam dan Neria berjalan-jalan di kota. Walaupun Liam sudah beberapa kali berada di Estahr saat perayaan berlangsung, ini kali pertama untuk Menno.

Kali pertama biasanya adalah yang paling berkesan, bukan?

Panglima mengajak Menno dan kawan-kawan ke tempat-tempat paling menarik selama perayaan, memainkan permainan-permainan anak-anak di pinggir jalan (ini tentu saja karena Menno penasaran), makan jajanan pasar yang murah meriah, sambil mengobrol dan bercanda. Bahkan Panglima kadang-kadang membalas guyonan mereka atau tersenyum kecil.

"Panglima, aku mau melihat orang berdansa," kata Neria sambil menarik-narik kaftan Panglima.

"Boleh juga," kata Menno. "Aku ingin melihat Panglima berdansa."

Neria langsung menggeleng.

"Tidak boleh!"

Panglima menghela nafas. Pasti Neria khawatir dirinya menjadi bahan gosip.

"Aku tidak akan berdansa," kata Panglima, menenangkan Neria, sebelum menambahkan, "kecuali denganmu."

Mata Neria membulat melihat Panglima tersenyum, sengaja mengganggunya. Lalu ia memukul lengan Panglima keras-keras.

"Tidak mau," jawabnya dengan wajah merah, entah karena malu atau kesal. "Aku tidak mau menjadi bahan gosip."

Menno dan Liam mau tidak mau tergelak. Liam tidak menyangka Panglima punya sisi seperti ini juga.

Tak terasa mereka sampai di pusat kota. Sebagian besar penduduk Estahr mungkin sedang berkumpul di sini sekarang - begitu banyak orang. Ada yang menari di tengah-tengah lapangan, ada yang berdiri menonton di sekelilingnya, ada juga yang duduk di sekitar sambil mendengarkan alunan musik.

Menno menyikut lengan Panglima tiba-tiba sambil melihat ke arah orang-orang yang sedang menari. Panglima mengikuti pandangan Menno.

Di sana, di antara orang-orang yang sedang menari, tubuh Parisha meliuk-liuk mengikuti irama musik. Rambut panjangnya yang hitam dikepang sebagian dan dihiasi pernak-pernik emas bertatahkan batu berharga, sementara sisanya dibiarkan tergerai dan bergerak mengikuti gerakan tubuhnya.

Panglima menaikkan sebelah alisnya ketika Menno berdecak kagum melihat gadis itu. Sementara itu Neria menggelengkan kepala, entah apa maksudnya. Apapun itu, Panglima mengabaikannya karena Menno kembali menyikut lengannya.

"Masih mau masuk ke kediaman Mazares?" tanya Menno.

Panglima mengangguk, lalu segera berjalan mendekati Parisha yang baru saja selesai menari. Menno mengikuti dari belakang sambil menjaga jarak aman, meninggalkan Liam dengan Neria yang cemberut kesal.

"Salam hormat kepada Putra Agung," sapa gadis itu sambil membungkuk.

"Tarian Nona Parisha luar biasa sampai temanku di sini terpukau melihatnya," kata Putra Agung sambil menunjuk Menno. Yang ditunjuk bukannya senang, malah bergidik melihat tatapan Panglima.

Jangan-jangan ia tidak suka melihat Menno menonton Parisha.

Benar juga. Bukannya katanya Panglima menaruh hati pada Nona itu?

"Ah, saya seniman. Tentu saja mudah dibuat kagum dengan keindahan," katanya mencoba menyelamatkan diri.

Parisha menggumamkan terima kasih dengan singkat, lalu langsung menghadap Panglima kembali.

Tentu saja.

"Seandainya saya tahu Putra Agung akan datang, tentu saya akan menyiapkan tarian yang lebih baik."

Panglima tentu tidak membuang-buang kesempatan. Ia tersenyum.

"Seandainya Nona Parisha sudah menyiapkan tarian yang lebih baik, tentu saya akan datang."

Wajah gadis itu langsung memerah.

Menno tak kuasa menahan senyum. Seandainya dia perempuan, pasti wajahnya juga semerah Parisha sekarang.

"Maafkan kelancangan saya, tapi dua minggu lagi keluarga kami akan mengadakan jamuan. Seandainya Putra Agung bersedia..."

"Pasti," jawab Panglima sebelum Parisha selesai bicara. "Kami berdua pasti akan datang."

Kening Menno berkerut. Aku juga?

Hanya dengan seulas senyum Panglima meninggalkan Parisha dan kembali mendekati Liam dan Neria - yang masih cemberut.

"Pantas saja orang mengira kamu selirku," komentar Panglima sambil menepuk bahu Neria.

"Aku mau pulang!" sahutnya meninggalkan Panglima.

Menno memberi isyarat agar Liam menemani gadis itu. Dari bahasa tubuh Panglima, tampaknya ia belum berencana pulang.

"Apa rencana Panglima selanjutnya?" tanyanya.

"Kamu ikut aku."

Menno menarik nafas dalam-dalam. Mudah-mudahan Panglima cuma minta ditemani.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang