32. Bala Bantuan (2)

1.6K 273 0
                                    

"Duduk." 

Suara tegas Panglima membuat Menno menghentikan langkahnya. Sudah sekian lama Menno mondar-mandir dengan dahi berkerut, seperti ngengat yang terperangkap di ruangan. Panglima yang sebelumnya berusaha mengabaikan tingkah Menno akhirnya tidak tahan dan angkat suara. 

Wajar jika Panglima pening mendengar bunyi langkah kaki Menno. Dia sendiri belum tidur cukup selama beberapa hari, mengurus perubahan dalam penjagaan dan administrasi kota akibat banyaknya anak buahnya yang jatuh sakit. Lebih parah lagi, kali ini tidak ada Askar yang membantunya. Askar diperintahkan untuk pergi ke perkemahan dan menjaga agar wabah tidak terjadi di sana juga. Sejauh ini, belum ada prajurit di sana yang jatuh sakit. Jadi setidaknya, Panglima tidak perlu mengkhawatirkan dua tempat sekaligus.

Lalu pria yang sedari tadi tidak berhenti mengelilingi ruangan juga sudah lama tidak mendapat istirahat. Dengan banyaknya pekerjaan, Menno tidak dapat beristirahat kalaupun dia mau. 

Jadi bisa dibilang Menno dan Panglima selama beberapa hari terakhir ini menghabiskan malam duduk di meja masing-masing, mengerjakan pekerjaan masing-masing, seperti sepasang pegawai keuangan di toko-toko besar di Estahr. 

Bedanya, perkerjaan mereka menyangkut kehidupan orang banyak.

"Aku sudah tidak tahu lagi apa yang salah," dengus Menno kesal sambil menjatuhkan tubuhnya di lantai. "Penyakit macam apa ini sebenarnya?"

Selama beberapa hari terakhir ini, Menno mencoba merangkum situasi kota Estahr yang berhubungan dengan wabah. Data-datanya tidak ada yang konsisten. Orang yang tadinya sehat tiba-tiba sakit, orang yang tadinya sakit tiba-tiba sehat - dan kemudian jatuh sakit lagi. 

"Jangan menyerah, perhatikan lagi apa ada yang terlewat," kata Panglima berusaha menyemangati tabib dadakan itu. 

Menno menyandarkan kepalanya ke dinding, masih merasa tidak berdaya. Masalahnya ini tidak seperti ketika dia belajar obat-obatan atau tumbuh-tumbuhan dan melakukan percobaan - berapa kali pun dia gagal, berapa lama pun waktu yang dia habiskan tidak akan menjadi masalah. Kali ini, semakin lama dia membiarkan wabah berlarut-larut tanpa menemukan sumber masalahnya, semakin banyak juga korban yang berjatuhan. 

"Aku tidak mengerti. Para prajurit dan pengawal yang tertular sudah diobati hingga sembuh dan dinyatakan siap bertugas. Tapi kemudian, baru sehari mereka bertugas di gerbang utara, beberapa dari mereka kembali lagi ke sini dalam keadaan sakit."

Bukan obatnya yang salah. Obat yang Menno ramu berhasil menyembuhkan mereka, tapi kemudian mereka terkena penyakit yang sama lagi. 

Dan bagian kota yang paling parah terjangkit adalah bagian utara kota. 

Bukan. Mungkin lebih tepat yang terjangkit hanya bagian utara kota. 

Mungkin ada baiknya Menno pergi ke sana sekarang, sekaligus menjumpai Liam. Sudah lama dia tidak melihat anak muda tersebut. 

Panglima yang melihat Menno bangkit menuju pintu menghentikan pekerjaannya dan mendongak. 

"Kamu mau ke mana?"

"Ke penginapan," jawabnya singkat.

Panglima meletakkan pena-nya, mengambil beberapa helai kertas dari meja, dan bangkit berdiri.

"Aku juga ikut."

***

"Estahr di musim panas memang bukan main," ujar Emiran sambil menyeka peluhnya sendiri. 

Ayahnya memberi izin untuk menjenguk Putra Agung sekaligus berlibur. Emiran tidak menolak. Sudah lama sekali dia tidak mengunjungi kota Estahr, dan setiap kali dia mendapat kesempatan mengunjungi kota tersebut, Estahr selalu lebih indah daripada sebelumnya. 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang