27. Setahun Kemudian

1.9K 311 12
                                    

Hanya dalam waktu beberapa hari, jamuan makan ataupun urusan Mazares dan Parisha tidak lagi menjadi pembicaraan di kediaman Panglima Artunis. Semua kembali normal.

Walaupun musim hampir berganti, kehidupan Menno tidak banyak berubah. Dia tetap tinggal di Estahr, menikmati kotanya, makanannya, dan terutama, orang-orangnya.

Sebenarnya Liam mengajaknya pulang ke Mirchad. Anak itu toh harus kembali untuk bertemu dengan ayahnya dan menyelesaikan urusan dagangnya. Tapi Menno menolak ikut dengannya.

"Aku tidak bisa keluar dari Estahr apalagi pergi ke Mirchad selama beberapa waktu," katanya. "Terlalu berbahaya."

Liam, yang tidak tahu identitas asli Menno, dan tidak tahu banyak soal urusan politik tentu tidak mengerti.

"Bahaya apa sih Paman? Bukannya dulu biasanya juga Paman bolak-balik Mirchad dan Runweld sesuka hati?"

Menno menyeringai, lalu memukul kepala Liam dengan kuasnya.

"Pokoknya aku tidak bisa terang-terangan menyebrangi perbatasan Mirchad dan Surpara. Tanya saja ayahmu alasannya."

Liam mengangguk. Lebih mudah meminta penjelasan dari ayahnya daripada Menno.

"Oh, iya, aku mau titip beberapa hal," kata Menno sambil meraih pena dan kertas.

Setelah menulis beberapa baris, Menno menyerahkan kertas tersebut kepada Liam. Liam cepat membacanya.

Kirim secepat mungkin:
- Sejarah Toksologi.
- Koran.
- Stok kahalu.

"Berikan kepada ayahmu."

Liam mengerutkan dahi.

"Koran?"

Maksudnya, berita terkini dari negaranya.

"Ayahmu tahu apa artinya."

Liam tidak lagi membantah. Tak sampai seminggu setelahnya, ia dan karavannya sudah kembali melakukan perjalanan ke Mirchad.

Panglima sempat bertanya kenapa Menno tidak pulang, tapi Menno malah mengedipkan mata dan berkata bahwa ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Panglima. Seandainya Panglima tidak menaruh hati padanya, kepala Menno mungkin sudah terpisah dari tubuhnya. Tapi jawaban apalagi yang bisa Menno berikan? Tidak mungkin kan dia bilang tidak bisa pulang karena takut tertangkap Hallstein sedang menyeberangi perbatasan?

Menno, seorang Pangeran Mirchad, menghabiskan waktu bekerja, ah, bukan, berwisata di wilayah musuh saat perang (walau sebenarnya secara teknis mereka sedang berada dalam masa gencatan senjata), entah apa komentarnya nanti. Mungkin dia langsung menghadap Wilmar dan mengatakan bahwa adiknya berkomplot dengan musuh.

Atau lebih parah lagi, dia bisa saja langsung membunuh Menno, dan memberi laporan kemudian.

Kalau dia sampai mati, bagaimana dengan lukisan Panglima?

Panglima, walaupun tidak begitu saja mempercayai alasan yang dibuat Menno, sama sekali tidak keberatan. Sejujurnya dia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya bila harus berpisah dengan Menno selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Terakhir kali ia pergi ke perkemahan Pasukan Fajar tanpa Menno selama satu minggu saja, hatinya sudah berisik minta pulang. Akhirnya, kali berikutnya dia harus pergi ke perkemahan, dia memaksa Menno ikut serta.

Panglima tentu saja tidak bisa bilang bahwa ia ingin Menno ikut karena Panglima tidak tenang bila Menno tidak berada di sisinya. Memikirkan bahwa suatu hari nanti dia harus mengatakan semuanya kepada Menno saja sudah membuatnya tegang dan gelisah. Jadi, sebagai alasan, Panglima memaksa Menno untuk berlatih menggunakan senjata, setidaknya senjata jarak jauh seperti busur panah dan pisau lempar.

"Aku tidak mau kejadian di hutan terjadi lagi. Setidaknya kalau ada yang menyerang, kami harus bisa mempertahankan diri," katanya.

Menno yang memang sudah lama sekali tidak mempelajari hal seperti itu berpikir bahwa mungkin tidak ada buruknya belajar, siapa tahu suatu hari nanti keahlian seperti ini bisa bermanfaat. Hasilnya, Menno dapat keahlian baru, dan Panglima dapat terus berada di dekat Menno. Semua pihak diuntungkan.

***

Demikianlah minggu demi minggu berlalu, kemudian bulan demi bulan. Tak terasa satu tahun berlalu tanpa kejadian yang berarti.  Pasukan Hallstein masih belum bergerak, demikian pula Duta Besar Mazares, setidaknya begitu berdasarkan informasi yang didapatkan Panglima. Meski begitu, Menno tetap waspada. 

Setiap minggu ia mendapatkan surat dari Eurig, berisi informasi terkini tentang Hallstein dan Mirchad. Namun sejauh ini, belum ada berita yang membuatnya merasa harus bertindak. Sejauh yang dia tahu, Hallstein masih berada di antara Vasa dan Stellegrim, mengumpulkan dana dan mendaftarkan penduduk untuk mendapatkan tentara yang dia butuhkan. Selain para penduduk yang diwajibkan memasuki kemiliteran, Menno tahu bahwa Hallstein akan mencari tentara bayaran - hal ini dia juga lakukan di perbatasan Mirchad dan Runweld, yang Menno kunjungi sebelumnya. 

Walaupun Pasukan Hallstein belum membuat pergerakan, ada beberapa hal mencurigakan yang terjadi di sekitar Estahr. Misalnya, Liam belum juga datang, walaupun musim semi sudah cukup lama berlalu. Selain Liam, jumlah karavan yang masuk ke Estahr berkurang drastis, terutama yang berasal dari Vasa. Kalaupun ada yang masuk Estahr dari Vasa, harga barang yang mereka bawa melonjak luar biasa. Ketika Menno menanyakan alasannya, para pedagang itu mengatakan bahwa pajak ekspor impor di Vasa dinaikkan sehingga mau tidak mau, mereka harus menaikkan harga jual mereka juga. Liam dan Eurig mengirimkan surat dengan pesan senada. Liam mengatakan bahwa mereka akan mengubah jalur dan memusatkan kegiatan mereka di Runweld untuk sementara waktu. Meski demikian Liam mungkin akan berkunjung sewaktu-waktu. Kemungkinan besar, ini semua untuk membiayai pasukan Hallstein, walau Menno belum mendengar kabar lebih lanjut. 

Di saat seperti ini, kemampuan Panglima mengurus kota memang tidak tertandingi. Suatu pagi Menno menemani Panglima bekerja, seorang petugas memasuki ruangan sambil membawa setumpuk kertas dan memberikannya kepada Panglima. Saat ditanya, Panglima hanya mengatakan bahwa itu adalah daftar komoditas yang biasa dibawa oleh karavan-karavan dari Mirchad. Panglima mengurutkannya berdasarkan seberapa penting komoditas tersebut bagi kehidupan rakyat di Estahr, lalu mengatur barang-barang apa yang bisa diganti dengan produk sejenis yang berasal dari Surpara, dan barang-barang apa yang harus diprioritaskan ketersediaannya melalui impor. Panglima juga mengatur untuk menurunkan cukai untuk beberapa jenis barang untuk mengimbangi naiknya pajak di Vasa. 

Seandainya itu Menno, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama. Begini-begini, Menno punya pengalaman mengatur administrasi kota, walaupun itu bertahun-tahun yang lalu. 

Lebih dari 100 tahun yang lalu. 

Menno menyarankan jalur lain untuk masuk dan meninggalkan kota Estarh, yaitu melewati jalan kecil yang memutar ke Creig dan kemudian Stellegrim. Meski begitu, jalur tersebut memiliki masalahnya sendiri. Karena jalur tersebut sempit, karavan besar tidak dapat melewatinya. Tapi setidaknya, barang-barang seperti tanaman obat dapat tetap masuk ke Estahr dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

"Kalian berdua sepertinya luar biasa kalau bekerja sama," komentar Neria setelah mendengar pembicaraan Menno dan Panglima.

Panglima bersyukur bahwa saat itu, Menno terlalu sibuk menanggapi Neria dengan segala kenarsisannya sehingga tidak sempat melihat wajah Panglima yang berpaling darinya, menyembunyikan semburat merah yang sedikit menyembul dari sisi topeng emas di wajahnya.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang