39. Askar

1.6K 287 1
                                    

Askar tidak mungkin berani menganggap dirinya orang kepercayaan Panglima, meski kenyataannya banyak orang berpikir seperti itu. Sampai sekarang, banyak orang masih tidak tahu darimana dia berasal, apa hubungannya dengan Panglima, dan apa rasnya.

Askar adalah seorang Putrabumi. Tidak seperti para Agung, Putrabumi hanya hidup selama kurang lebih 100 tahun, dan karena itu, sering kali tidak dapat meraih prestasi-prestasi tinggi yang membutuhkan waktu. Karena alasan yang sama juga, sebagian besar - kalau bukan semua - bangsawan di Surpara, Mirchad, maupun Runwell berasal dari ras Agung.

Berkata bahwa dia adalah tangan kanan Panglima rasanya sangat tidak pantas.

Meskipun demikian, berkata bahwa ia adalah orang yang paling setia kepada Panglima, mungkin benar adanya. Bagaimanapun juga, dia masih hidup sekarang karena kebaikan Panglima.

Siapa lagi selain Panglima yang mau mengadopsi orang yang hampir membunuhnya?

Semua itu terjadi lima belas tahun yang lalu.

Bagi para bandit yang tinggal di hutan yang berada di antara Vasa dan Estahr, daerah di sekitar perkemahan Pasukan Fajar bukanlah pilihan yang baik untuk mencari mangsa. Mereka lebih suka berada di dekat Vasa, mengintai para pedagang yang keluar dari jalur aman dan berkelana terlalu dekat ke hutan.

Hari itu adalah hari pertama Askar ikut bersama dengan para bandit lain untuk mengintai. Mereka berencana mengawasi jalur antara Vasa dan Estahr kalau-kalau ada rombongan pedagang yang bisa mereka mintai uang dan makanan.

"Hari ini hari pertamamu, Askar, semangat!" seorang anak muda yang kira-kira berusia 5 tahun lebih tua dari Askar menepuk bahunya.

"Entahlah Bala, aku tidak yakin bisa melakukan ini."

"Tentu saja bisa. Kita 'kan sudah berlatih. Yang penting kamu harus bergerak cepat," anak yang dipanggil Bala itu mengayunkan belatinya, memperagakan caranya menghentikan dan menyerang orang, "dan jangan ragu-ragu."

Askar menatap Bala dengan mata berapi-api. Tentu saja dia tidak punya keraguan. Sudah lama dia menunggu saat ini, membuktikan kepada teman-temannya bahwa dia juga berlatih keras, dan sanggup melakukan tugasnya dalam kelompok. Sekalipun hidup di sarang bandit bukanlah kehidupan yang mulia, mereka adalah orang-orang yang ia kenal sejak kecil.

"Aku tidak akan gagal."

Melihat serombongan orang mendekat, kawanan bandit bersiap di posisi masing-masing, menunggu aba-aba dari pemimpin mereka. Sang pemimpin mencermati target mereka - beberapa pemuda berpakaian bagus, menunggang kuda tanpa pengawalan. Di bagian belakang rombongan, sebuah kereta yang ditarik sepasang kuda mengikuti. Walaupun kemungkinan mereka tidak membawa banyak harta, setidaknya pasti ada barang-barang berharga yang bisa mereka dapatkan. Pemimpin bandit tersebut menggakta tangannya, memberi aba-aba untuk menyerang. Dengan sekejap, sekawanan bandit berteriak dan berlari turun, menyerang target mereka.

Askar dan Bala turun dengan cekatan, menyerang bagian paling belakang dari rombongan. Orang yang berada dalam kereta biasanya adalah tuan muda atau nona muda kaya dari kalangan atas yang tidak terlalu pandai bela diri. Menyerang orang seperti itu lebih aman daripada bertarung jarak dekat dengan para pemuda di depan.

"Serahkan barang berhargamu!" seru kedua bocah itu dengan suara manis mereka. Orang yang mendengar belum tentu percaya mereka serius.

Seorang pemuda membuka pintu kereta dan turun. Topeng emas terpasang di wajahnya yang terbingkai rambut merah yang dibiarkan terurai. Hanya tatapan matanya sudah membuat tubuh Askar dan Bala tidak bisa bergerak.

"Anak-anak?" gumamnya lirih, namun cukup untuk keras sehingga kedua bocah itu bisa mendengar.

"Siapa yang kamu sebut anak-anak?!" seru Askar tersinggung. Ia berlari menuju ke arah pemuda itu, menghunus belatinya dan mengayunkannya ke kanan dan ke kiri. Pemuda itu hanya menghindar, mengelak, dan terkadang menepis serangan Askar, seolah dia bukan ancaman. Hal itu membuat Askar semakin kesal dan mempertajam serangannya.

Bala tidak mau kalah. Dia pun segera menyerang lawannya dalam pertarungan dua lawan satu yang tetap tidak seimbang. Beberapa kali pemuda itu bahkan harus menepis serangan salah satu dari mereka agar tidak mengenai yang lainnya. Tak berapa lama, Askar dan Bala sama-sama kehabisan nafas, dan berdiri terengah-engah di hadapan pemuda itu.

Seruan keras terdengar dari sisi pemuda itu. Seorang bandit rupanya menyadari keberadaannya dan menyerang dengan cepat. Refleks pemuda berambut merah tersebut menghunus pedangnya dan menangkis serangan bandit tersebut. Sekalipun si bandit memiliki kemampuan yang lumayan, terlihat jelas bahwa pertarungan tersebut tidak seimbang - sampai seruan kecil terdengar dari belakang punggung pemuda tersebut, diikuti hunusan belati.

Terjebak di antara dua musuh, pemuda itu harus mengambil keputusan dalam sepersekian detik. Jika ia mengelak, kemungkinan besar kedua bandit itu akan saling melukai. Walaupun ia tidak terlalu mempermasalahkan bandit yang menyerangnya, membiarkan anak kecil terluka bukan hal yang dia sukai.

Dalam sekejap dia menjatuhkan pedangnya ke tanah, menepis tubuh anak itu dengan lengannya sehingga terjatuh, dan menangkap pedang bandit yang lain dengan tangan kosong. Pertarungan berlanjut, namun tidak berlangsung lama. Dalam beberapa gerakan pemuda itu berputar dan memukul punggung bandit tersebut, menghunjamkannya ke tanah.

"Itu Putra Agung! Semuanya, lari!"

Entah siapa yang berteriak, siapa yang mengenali Putra Agung pertama kali. Putra Agung mendengus. Hanya perlu sekali lihat untuk mengenalinya - bagaimanapun juga, rambut merahnya terlalu mencolok. Sunguh ajaib mereka baru tersadar sekarang.

Seluruh kawanan bandit yang masih sanggup berdiri lari tunggang langgang mendengar namanya, sebagian dari mereka sudah dilumpuhkan, sebagian tertangkap. Beberapa pengawalnya yang menyamar sebagai rekan seperjalanannya segera menghampiri Putra Agung dan memberi salam, memastikan keadaannya.

"Putra Agung terluka, silakan masuk kembali ke kereta," ujar salah seorang di antaranya sambil berupaya mendekati Putra Agung.

Namun pemuda itu mengangkat tangannya, memberi mereka isyarat untuk tidak mendekat. Ia menengok ke samping dan melihat Askar tergeletak tak sadarkan diri di tanah.

"Bawa dia masuk ke kereta," perintah Putra Agung sambil menyobek secarik kain untuk membalut luka di tangannya.  

"Anak ini akan kami bawa bersama para bandit lain yang tertangkap, Panglima."

"Tidak," jawab Putra Agung singkat sambil memasuki kereta. "Dia ikut bersamaku."

Dan begitu saja, dalam satu hari, kehidupan Askar berubah.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang