44. Anggur Panas

1.7K 323 22
                                    

Belum sempat Menno tertidur ketika sebuah suara memanggilnya.

Kali ini suara wanita.

"Menno, bangun," bisik suara itu, seolah takut membangunkan Menno.

"Neria! Bagaimana kabarmu? Pasti lebih baik daripada kabarku, kan?"

Neria menggeleng.

"Bagaimana caranya kamu masih bisa bercanda di saat seperti ini?"

Neria memberi Menno sesetel baju dan sebuah sisir.

"Ini, cepat ganti pakaian," ujarnya sembari meletakkan baju itu di selnya. "Panglima memanggilmu ke tenda."

Menno mengambil baju itu dan matanya membulat saat ia menyadari sesuatu.

"Ini baju yang kutinggalkan di Estahr," ujarnya lantang.

"Ssstt," Neria memberi isyarat agar dia diam.

"Bagaimana Panglima tahu aku akan datang ke sini?"

Neria menggeleng.

"Panglima tidak tahu."

Menno menaikkan sebelah alisnya.

"Panglima selalu membawa sesetel bajumu ke mana pun dia pergi."

***

"Duduk."

Menno baru saja memasuki tenda Panglima. Dia belum sempat memberikan salam. Tapi Panglima malah langsung menyuruhnya duduk.

Tiga bulan tidak bertemu, ucapan salam tentu bukan hal yang ingin Panglima dengar.

Seperti biasa, memasuki ruangan tempat Panglima berada selalu terasa seperti memandangi sebuah lukisan. Panglima duduk dengan rambut merah tergerai di sekeliling bahu dan lengannya serta topeng emas legendaris menutupi wajahnya. Ia sudah melepaskan baju zirahnya, dan sekarang hanya mengenakan pakaian biasa, menonjolkan bahunya yang lebar dan lehernya yang tegak.

Seperti orang yang baru saja pulang dari perjalanan jauh memandangi kampung halamannya dengan rasa rindu, Menno menatap lekat-lekat Panglima Artunis.

Panglima yang sebelumnya sibuk dengan dirinya sendiri, mendongak ketika Menno tidak kunjung bergerak, dan mengisyaratkan agar pria itu segera masuk dan duduk.

Menno mengambil tempat di hadapan Panglima. Di antara mereka, terdapat sebuah meja kecil dengan makanan ringan dan sebotol anggur panas.

Apa yang ada di pikiran Panglima?

Mereka berdua sama-sama diam. Panglima malah terlihat acuh tak acuh, menuangkan anggur panas ke gelasnya dan meminum gelas demi gelas.

Bukan pertanda baik.

Keheningan di antara mereka semakin membuat Menno tidak nyaman sampai akhirnya ia bicara.

"Aku..."

"Kamu..."

Setelah sama-sama diam, kini mereka sama-sama bicara. Menno menyeringai, lalu mempersilahkan Panglima bicara terlebih dahulu.

"Untuk apa kamu datang ke sini?"

Menno menelan ludah.

"Aku mendengar Panglima akan menyerang Vasa..."

Takk!

Panglima dengan kasar meletakkan gelas anggurnya di atas meja, lalu mengisinya kembali.

"Aku perlu bertemu Liam tapi kudengar kota Estahr ditutup, jadi aku.."

Panglima menatap Menno seperti akan menelannya bulat-bulat.

Jawaban apa yang panglima seram ini inginkan? Menno akhirnya menghela nafas.

"Aku ingin menemuimu."

Pandangan Panglima Artunis melunak, walau wajahnya tetap kesal.

Ada banyak hal - mulai dari pertanyaan hingga makian - yang ingin Artunis katakan sampai-sampai dia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia kembali menenggak anggur panas di gelasnya.

"Apa kamu ingat sudah berapa lama kamu pergi?"

"Tiga bulan," jawab Menno enteng.

"Seratus hari."

Demi angin, Panglima detil sekali, pikir Menno. Jangan bilang selama ini ia menghitung kepergianku hari demi hari.

"Kamu pergi tanpa pamit, dan kali ini datang tanpa diundang..."

"Tapi bukannya tanpa diharapkan," potong Menno. Ia menyeringai dan menaikkan alisnya dengan wajah pongah. Panglima menyimpan baju Menno, itu artinya Panglima yakin bahwa Menno akan kembali kan?

Tampang sok pintarnya berubah serius ketika Panglima meliriknya tajam.

"Kamu pikir rumahku tempat seperti apa? Jangankan tamu, pencuri saja tidak bisa datang dan pergi sesuka hati."

Cara bicara Panglima tidak berubah. Dia tidak perlu bicara lantang untuk membuat lawan bicaranya merinding. Setiap kata jelas dan pasti, tanpa ada keraguan, membuat Menno tidak tahu mau menimpali apa.

"Jadi sekarang kamu harus menerima akibat perbuatanmu."

Panglima meletakkan gelasnya, lalu menuangkan anggur ke gelas Menno. Pria itu hanya bisa meringis dan menelan ludah.

"Sebagai ganti seratus hari kamu meninggalkan Estahr, kamu harus menghabiskan seratus gelas yang akan kutuangkan satu demi satu."

"Jangan bercanda," gumam Menno.

Panglima menyeringai penuh kepuasan. Dibandingkan rasa kesal yang dia alami, dan jumlah minuman keras yang sudah dia konsumsi selama kepergian Menno, seratus gelas bukan apa-apa. Panglima berambut merah itu mengangkat gelas Menno yang sudah ia isi, lalu menyodorkannya kepada 'tahanan'-nya. Menno tidak punya pilihan selain menerima dengan pasrah.

"Lalu sambil minum," ujar Artunis setelah itu, "kita akan bicara soal ini."

Tangan Artunis meraih topeng emas yang ada di wajahnya, lalu melepasnya perlahan. Mata Menno mengikuti topeng tersebut sembari Panglima meletakkannya di pangkuannya.

Menno menenggak anggur di tangannya, lalu mengisi kembali gelasnya dan meminumnya kembali. Panglima hanya menyeringai melihat tingkah kikuknya.

Kalau mereka harus bicara, mereka bisa bicara.

Malam ini akan menjadi malam yang panjang.

****

Author 's note
Sorry, banget buat pembaca yang sudah menunggu update Artunis, dan makasih banyak buat semua view dan vote kalian.

Hmmm, Artunis itu kadang suka bikin repot soalnya yang banyak ngomong yang cowoknya (Alias Menno), tapi yang bapernya si Panglima ganteng ini. (=^-ω-^=)

Dimohon kesabarannya ya kawan2 sekalian.

Btw, sedikit penasaran sih. Siapa tokoh favorit kalian sejauh ini? Kalo mau kasih alasannya lebih bagus lagi. Mudah2an bisa jadi masukan buat Author hahaha.

Kisses and hugs for you all~~~

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang