Epilog

4.4K 357 59
                                    

Sial. Sial. Sial.

Sambil celingak-celinguk Menno merutuki kebodohannya sendiri. Salah siapa melamunkan Panglima sampai salah belok tadi? Gara-gara kesalahan itu, sekarang Menno harus memutar otak supaya bisa keluar dari hutan ini.

Sambil mengendarai kudanya pelan-pelan Menno memasang mata dan telinga, berharap bertemu orang atau melihat jejak yang menunjukkan arah. Akhirnya, setelah satu jam berputar-putar Menno melihat sosok seorang manusia di kejauhan.

Seorang wanita sedang duduk bersimpuh, menghias batu nisan di hadapannya dengan berbagai jenis bunga. 

Rambut emas ikal membingkai tubuhnya, bunga-bunga liar menghiasi puncak kepalanya, gaun putih halus membungkus tubuhnya, membuat Menno ingin segera mengambil kuas dan mulai melukis pemandangan itu.

Dan kemudian menanyakan arah.

Atau seharusnya Menno menanyakan arah terlebih dahulu, mengingat keluar dari hutan ini lebih penting daripada menambah koleksi lukisannya.

Menno mendekat tanpa suara, tidak ingin mengganggu wanita yang sedang berziarah itu. Ia menunggu sampai wanita itu menyadari keberadaannya sebelum menyapanya.

"Tidak banyak orang yang datang ke tempat ini," ujar wanita itu sambil berdiri dan berbalik menghadap Menno. 

"Tidak banyak orang memakamkan orang terkasihnya di tempat ini, Nona," balas Menno. "Kalau saya boleh tahu siapa yang..."

"Suamiku," jawab wanita itu singkat sebelum mengubah topik pembicaraan. "Sungguh kebetulan aku bisa bertemu denganmu di sini, Pangeran Meinrad."

Menno mengernyitkan dahi.

"Nona, Anda salah orang."

Wanita itu tersenyum lebar.

"Yang Mulia, tidak perlu malu-malu. Di dunia ini, tidak ada rahasia yang tidak akan terbongkar."

Wanita itu memberi isyarat agar Menno mengikutinya, berjalan berdua di hutan sambil berbicara empat mata. Menno yang penasaran mengikuti tanpa banyak bicara.

"Aku ingin bertemu denganmu hanya untuk memberimu sebuah informasi."

Wanita itu menyelipkan sebuah amplop emas ke tas kecil Menno, membuat Menno makin bingung.

"Kamu seorang informan?"

"Bisa dibilang begitu, walau kami tidak selalu memberikan informasi pada orang yang menginginkannya."

"Kami?" tanya Menno lagi, pikirannya melayang ke pembicaraannya dengan Panglima beberapa hari silam. "Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona seorang abadi?" tanyanya.

Wanita itu tertawa pelan.

"Pencatat sejarah dan penjaga rahasia?" tanyanya sinis. "Tentu saja bukan."

Mata Menno terbelalak saat dia menyadari bahwa wanita itu berubah rupa di hadapannya. Rambut pirangnya menggelap dan memendek, warna matanya pun berangsur-angsur berubah sehingga wanita cantik yang Menno lihat di makam tidak lagi bisa dikenali.

Tunggu. Menno mengenali wanita ini. Rambut coklat pendek, mata coklat tua, wajah yang tidak mencolok ini adalah...

"Aida."

Dayang Parisha yang sempat dia obati dua tahun silam. 

'Aida' kembali berganti rupa menjadi wanita berambut pirang ikal yang sebelumnya ia temukan. 

"La-Laksarupa?" Menno tergagap. Bertemu Laksarupa adalah pengalaman sekali seumur hidup, makhluk-makhluk legenda dengan kemampuan yang tidak diketahui dan tidak terduga.

"Namaku Lucasta," ujar wanita itu. "Kami bernama Luminary - pengubah sejarah dan penyibak rahasia."

Menno masih mematung saat wanita itu berbalik dan berjalan menjauhinya.

"Kuharap Yang Mulia akan menghargai rahasia saya, seperti saya menghargai rahasia Yang Mulia," lanjutnya sebelum menghilang di balik pepohonan, meninggalkan Menno di jalan kecil menuju Creig.

Setelah beberapa saat Menno mengambil amplop emas pemberian Lucasta dari tas-nya dan membaca pesan di dalamnya.

Kepada Pria dengan banyak talenta,

Anda sudah menangkap sang penjahat, tapi siapa yang menaruh pedang di tangannya?

Mungkin Josse tahu jawabannya.

L. L

Satu hal lagi untuk ditambahkan ke daftar kerjanya. 

***

Author's Note:

Dengan ini buku pertama Artunis sudah tamat. Makasih buat dukungan semuanya yang bikin author nggak menyerah di tengah-tengah....

Buku berikutnya bakal memuat kelanjutan kisah Artunis dan Menno, juga soal batas waktu yang dikasih sama papanya Artunis sampai dia bikin keputusan.

Terus, apakah dengan ditangkapnya Hallstein masalah di Mirchad sudah selesai? Apa Artunis bisa memenuhi janjinya menikahi Menno suatu hari nanti? Dan, apa Menno akan berhasil melukis Panglima Pasukan Fajar itu? 

Tunggu kelanjutannya ya...

Sekali lagi, makasih banyak~

(Author mau selametan beres buku pakai teh bunga krisan dulu ya...)

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang