Kalau Neria berpikir bahwa kedatangan Emiran dapat memperbaiki mood Panglima selamanya, ia salah besar.
Hari ini, sebelum fajar merekah, desau pedang Panglima sudah terdengar kembali di kediamannya. Tubuh Panglima bergerak tanpa henti, menyerang tanpa ampun musuh imajinatif yang seolah ada di sekitarnya.
Neria memanggil beberapa pelayan untuk membawakan mantel dan handuk, siapa tahu Panglima akan segera lelah dan berhenti. Namun bahkan setelah matahari mulai meninggi, ia belum selesai. Neria ingin memanggil, tapi ia sendiri takut.
Setelah berjam-jam menunggu, saat lonceng pagi berbunyi, Panglima menyarungkan pedangnya. Neria memberi handuk untuk mengelap keringatnya (mantel sudah tidak diperlukan lagi).
"Panglima..," Neria mau memulai pembicaraan, tapi Panglima langsung menyelanya.
"Siapkan pakaianku. Aku akan ke istana."
***
Artunis mempercepat langkahnya. Ia baru saja mengunjungi adik kecilnya, putra dari Selir Tashi. Anak itu luar biasa menggemaskan, tidak mungkin seorang pun membencinya. Selir Tashi bahkan berkomentar bahwa ini pertama kalinya ia melihat Putra Agung tersenyum begitu lebar.
Setelah selesai mengucapkan selamat kepada Selir Tashi, Artunis kini menuju kediaman ibundanya sendiri - Selir Kashi.
Selir Kashi dan Selir Tashi masuk ke istana pada saat yang bersamaan. Mereka berdua adalah saudari tiri - satu ayah beda ibu - dari keluarga bangsawan yang terkemuka di Surpara. Di istana pun mereka saling mendukung dan menjaga, meski Selir Tashi tidak tahu soal rahasia Artunis.
"Salam hormat kepada Ibunda," ucap Artunis saat memasuki kediaman ibunya.
"Di hadapan ibu pun, apa kamu masih harus memakai topeng?"
Artunis hanya menunduk. Setiap kali ia pulang ke Nisaya dan menemui ibunya, ia selalu merasa gelisah. Bukan karena Ibundanya tidak menyayanginya, tapi mungkin justru karena Ibundanya terlalu menyayanginya.
Artunis duduk di hadapan ibunya, lalu perlahan membuka topengnya. Di balik topeng itu, tidak banyak yang Artunis sembunyikan - garis wajah yang tegas, mata yang tajam, alis lebat dan bulu mata lentik. Terlalu cantik untuk seorang pria, terlalu tampan untuk seorang perempuan.
Selir Kashi menghela nafas.
"Entah sudah berapa tahun berlalu sejak Ibu melihat wajahmu. Dari balik tembok istana, hanya kabar soal kemenanganmu, prestasimu, keagunganmu yang terdengar. Ibu bahkan tidak lagi bisa membayangkan seperti apa rupamu."
Selir Kashi menghampiri Artunis dan mengangkat dagunya, melihat baik-baik wajah Artunis.
"Seandainya waktu itu Ibu bisa menolak titah Sang Agung... "
Artunis menundukkan kepalanya, melepaskan diri dari jemari Ibundanya.
"Menjalankan perintah Ayahanda adalah tugas Ananda. Ibunda tidak perlu bersedih. Ananda pun tidak punya penyesalan."
"Apanya yang tidak menyesal?" tanya Selir Tashi. "Setiap kali melihatmu masuk ke ruangan ini dengan pakaian kebesaranmu, setiap kali orang-orang memanggilmu Putra Agung, hati Ibu sakit. Setiap kali Ibu bertemu dengan gadis-gadis Putri para bangsawan di kota ini, Ibu mengingat putri Ibu yang bahkan belum pernah mengenakan gaun seumur hidupnya."
Artunis tidak menjawab. Memang ini yang selalu ibunya katakan. Artunis tidak pernah menyesal menjadi Putra Agung. Malah, ia bersyukur karena semua prestasi yang ia dapatkan, semua hal yang ia capai, dan reputasi yabg ia miliki, tidak mungkin dia dapatkan seandainya ia adalah seorang Putri Agung, dan bukan Putra Agung.
Kalaupun ia punya penyesalan, mungkin penyesalannya adalah bahwa ia bukan Putra Agung yang sebenarnya, bahwa ia harus meletakkan kedudukannya suatu hari nanti.
Ah, sepuluh tahun lagi.
"Ibu tahu apa yang Ayahandamu katakan," lanjut Selir Kashi. "Ini kesempatanmu untuk kembali kepada identitasmu yang sebenarnya, Nak. Jadilah Putri Agung yang baik, menikah dengan orang yang baik, hidup baik-baik. Tak perlu lagi kamu merisaukan pasukan, kota, musuh, biarkanlah itu semua adikmu yang mengurus."
Artunis masih diam.
"Berjanjilah pada Ibu."
"Ayahanda memberi Ananda 10 tahun untuk memikirkan masak-masak langkah berikutnya," jawab Artunis setelah diam begitu lama. "Ananda mohon Ibunda bersabar sampai saat itu tiba."
Selir Kashi mengangguk, lalu memanggil dayang-dayangnya. Dua orang dayangnya masuk, seorang membawa cermin besar, dan seorang lagi, baki berisi minuman. Artunis menghalangi wajah dengan tangannya selagi para dayang itu mengerjakan tugas mereka. Tak lama kemudian, mereka keluar.
Artunis mendongak lalu menghela nafas panjang. Di hadapannya, ia harus menghadapi salah satu hal yang ia benci - cermin. Bukan hanya itu, ia harus melihat bayangannya sendiri di depan cermin tanpa topengnya.
"Ibu hanya tidak mau kamu melupakan seperti apa wajahmu sendiri," Selir Kashi memberi penjelasan.
"Ananda tidak lupa."
"Bagus kalau begitu," balas Selir Kashi sambil tersenyum. "Ayo minum tehnya."
Artunis melihat teh yang tersaji di mejanya, lalu tersenyum. Di dalam teko teh yang dibiarkan terbuka tutupnya, bunga-bunga tampak bermekaran dalam air yang berwarna keemasan.
"Teh ini..."
"Ah, beberapa waktu lalu tabib istana menyarankan teh bunga kahalu untuk kesehatan ibu, tapi ternyata rasanya memang enak. Ibu jadi ketagihan."
Selir Kashi memperhatikan senyum kecil di wajah Artunis.
"Ibu senang melihatmu tersenyum. Apa kamu suka teh bunga kahalu?"
"Ah, seseorang pernah menjelaskan kepada Ananda soal kahalu."
Selir Kashi mengambil sendok dan mengeluarkan bunga kahalu satu per satu dari teko, lalu meletakkannya di atas nampan. Artunis menirukan apa yang dilakukan Ibundanya.
"Saat diseduh, bunga kahalu kering bermekaran di dalam teko, mengeluarkan aroma Wangi dan rasa yang sedap. Tapi kalau kamu mengangkatnya dan memakannya, ia tidak beraroma, dan rasanya kecut masam."
Artunis mengiyakan.
"Apakah Ibunda pernah mengeringkan bunga kahalu setelah diseduh?" kali ini giliran Artunis yang bertanya. "Bunga kahalu yang telah diseduh, bila dikeringkan kembali, akan hancur jadi debu."
Selir Kashi melirik Artunis, berupaya mencari arti lain di balik kata-kata barusan.
"Darimana kamu tahu semua ini Nak?"
"Ah, seperti Ananda jelaskan tadi, ada orang yang menjelaskannya."
Ibundanya mengangguk.
"Kamu juga tahu nama lain tanaman kahalu?"
Artunis menghirup dalam-dalam aroma teh di tangannya.
"Tanaman Cinta."
Pantas saja teh bunga kahalu begitu sedap, begitu nikmat, dan bunga dalam teko terlihat begitu Indah, begitu anggun. Seolah bunga kahalu memberikan semua yang ia punya, tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya sendiri. Ketika semua yang ia punya sudah ia berikan, bunga kahalu memilih menjadi debu. Tidak heran kahalu memiliki nama lain seperti itu.
Tawa Ibundanya memecah lamunan Artunis.
"Tanaman yinyang, Nak. Apa yang dilihat mata dan dirasakan lidah begitu berbeda. Mungkin itu sebabnya ia dinamai tanaman yinyang."
Artunis tidak menimpali. Tanaman serumit kahalu, mungkin bagi orang yang berbeda punya makna berbeda. Setidaknya ia tahu ada satu orang lagi yang memahami kahalu dengan makna sama seperti dirinya.
Suara pria itu menggema di pikirannya.
Di masa yang lampau, tanaman kahalu disebut juga tanaman cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantasía"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...