43. Bertemu Lagi

1.6K 291 9
                                    

Menno memacu kudanya melalui pepohonan. Langit mulai gelap, namun ia belum berniat mencari tempat bermalam. 

Sedikit lagi.

Setiap derap langkah membawanya semakin dekat dengan tujuannya - bertemu dengan Panglima Agung Artunis dan bicara empat mata. 

Langit semakin gelap dan akihirnya ia menghentikan kudanya, lalu duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Tubuhnya kelelahan. Menno memutuskan beristirahat sejenak sebelum ia menyalakan api. Ia hanya ingin duduk tenang sebentar saja.

Srak.

Sebuah suara membuat Menno waspada. Mata Menno di malam hari memang tidak berguna, tapi telinganya masih berfungsi dengan baik. Ia memasang telinga baik-baik, lalu mengeluarkan belati yang ia simpan di dekatnya, berjaga-jaga seandainya bunyi itu ditimbulkan oleh binatang buas. 

"Siapa yang berkeliaran di hutan malam-malam begini?" sebuah suara bertanya dari belakang pohon tempatnya bersandar, hampir berbisik. Apa pun itu, Menno tahu bahwa yang berada di dekatnya bukan seekor binatang buas, tapi manusia. 

Entah itu kabar baik atau buruk.

Menno terdiam sejenak, berpikir apa yang akan ia katakan sebagai jawaban. Namun sebelum ia sempat membuka mulutnya, sebuah suara lain menimpali.

"Bukan kuda atau serigala, hanya seorang pengelana," jawab suara itu. 

Menno dengan senyap menghela nafas lega. Untung dia belum menyahut. Ternyata orang yang pertama bukan sedang berbicara padanya. Menno memutuskan diam mematung tanpa suara di tempatnya. Tangannya menggenggam erat belati yang ia miliki.

"Ada berita apa?" tanya orang yang pertama.

"Artunis akan menyerang Vasa 3 hari lagi."

Artunis? pikir Menno. Berani benar mereka memanggil nama Panglima seenaknya.

Kedua orang itu jelas bukan orang Surpara. Mata-mata?

Menno masih diam mematung lama setelah kedua orang itu menghilang. Jangankan lapar, dingin pun tidak dia rasakan.

Besok, aku akan bertemu dengannya.

***

Orang yang belum pernah melihat Panglima adalah baju zirahnya, belum tahu siapa itu Panglima Agung.

Pagi ini dengan baju zirah lengkap ia berlatih sejak matahari barut terbit hingga meninggi. Senyap, nyaris tanpa suara, Panglima mengayunkan pedangnya, menebas angin. Cukup suara sabetan pedangnya bisa membuat pasukannya gentar sekaligus kagum. Setelah sekian lama, Panglima memanggil beberapa prajurit terpilih untuk ikut berlatih bersamanya.

Jatuh bangun mereka berusaha mengimbangi Panglima. Tersungkur, lalu bangkit, dan menyerang lagi - sementara Panglima berdiri kokoh seperti gunung yang mereka tempati.

Lututnya tak kenal tanah, lengannya tak kenal kalah.

Dari jauh, pemandangan itulah yang Menno lihat. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya, membuatnya nyaris lupa tujuan utama dia datang ke perkemahan Pasukan Fajar.

Atau mungkin sejak awal tujuan utama dia datang adalah...

...bertemu Panglima.

Menno menarik nafas dalam-dalam. Menno bisa memilih berbalik, kembali ke Creig dan melupakan semua ini. Vasa maupun Panglima sebenarnya bukan urusannya. Ia sudah meninggalkan semua urusan negara bertahun-tahun lalu, hidup bebas sebagai Menno Karan tanpa memedulikan semua ini.

Lalu?

Kenapa dia memacu kudanya kencang-kencang, menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk sampai ke sini?

Hanya beberapa langkah lagi, Menno bisa mencapai tujuannya, namun kini ia malah ragu.  Sambil menghela nafas, Menno menarik kekang kudanya dan berbalik.

"Sedang apa kamu di sini?!" sebuah suara lantang mengejutkannya. Dua orang tidak dikenal dengan seragam Pasukan Fajar datang menghampirinya. "Turun dan ikut kami sekarang!"

Sial! Apa lagi yang akan terjadi sekarang?

***

Di dalam tenda Panglima, ia dan beberapa orang kepercayaannya sedang membicarakan rencana penyerangan ke Vasa. 

"Panglima, dengan jumlah Pasukan yang kita miliki sekarang, kita bisa menyerang Vasa langsung dari depan, tanpa perlu strategi macam-macam," Raj, salah seorang dari mereka angkat bicara.

Yang lainnya mengangguk setuju. 

Panglima mengerutkan alisnya. Menyerang langsung memang adalah pilihan paling mudah bagi mereka. Hallstein telah kehilangan lebih dari setengah pasukannya dalam pertempuran beberapa minggu terakhir. Tapi Artunis masih merasa tidak yakin. Hallstein terkenal brutal dan rela menghalalkan segala cara untuk menang. Entah rencana apa yang dia pikirkan kali ini. 

"Lapor Panglima!" seorang prajurit memasuki tendanya sambil memberi hormat. "Kami menemukan seorang mata-mata sedang mengamati perkemahan."

Beberapa saat kemudian, mereka menyeret seorang pria berambut hitam panjang ke dalam tenda. Amarah membara di kedua mata Panglima, membuat orang-orang di sekitarnya terdiam. Tangannya terkepal kuat-kuat melihat pria berambut hitam yang baru saja mereka seret masuk. 

Menno Karan di sisi lain, hanya menyeringai dan mengedipkan sebelah matanya. Hidupnya kembali bergantung pada suasana hati dan belas kasihan Panglima. Namun kata-kata Panglima berikutnya membuat tubuhnya gemetar. Sedikit.

"Masukkan dia ke dalam tahanan!" 

Meskipun sampai akhir Menno menatap Panglima, berharap menemukan maksud tersembunyi di balik perintah Panglima, Menno tidak menemukan apapun. Panglima bahkan tidak berkedip ketika dua prajurit menyeret Menno keluar tenda dan menjebloskannya ke dalam jeruji tahanan. 

***

Sudah lewat tengah malam ketika Panglima datang menemui Menno. Jika Panglima berharap bahwa Menno sedang duduk termenung memikirkan nasib atau menyesali perbuatannya, Panglima salah besar. Yang Panglima lihat adalah seorang pria yang tidur lelap dengan lengan terlipat di atas dadanya. Panglima hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat wajah Menno yang damai dan dadanya yang naik turun teratur. 

Tiga bulan lewat. 

Tiga bulan terakhir ini, entah berapa kali Panglima memikirkan apa yang sedang dilakukan pria itu, di mana dia berada, bahkan apakah dia masih hidup, dan akankah dia kembali. 

Tiga bulan terakhir ini, entah berapa kali pria bodoh ini mampir dalam mimpinya, mengganggunya dengan lelucon-lelucon konyol. Pada akhirnya Panglima bangun dan menyesal sudah tidur. 

Tiga bulan terakhir ini, entah berapa banyak anggur yang sudah diminumnya saat ia melihat lukisan Menno yang terpajang di rumahnya, di tendanya, di kamarnya. 

Malam ini, dia ingin bicara dengan Menno dan membuat pria itu menyesal. 

Panglima memukul jeruji penjara dengan gagang pedangnya, membuat Menno terbangun kaget dan langsung duduk tegap. 

"Apa Surpara menghukum mati orang dengan serangan jantung?" tanyanya kesal saat melihat Panglima.

"Sudah nyaris mati, masih juga bercanda?!" gertak Panglima. "Apa kamu pikir aku tidak akan membunuhmu?"

Menno meregangkan tubuhnya sambil tersenyum.

"Panglima tidak punya alasan untuk membunuhku."

Dengan satu gerakan Panglima memukul jeruji penjara dengan gagang pedangnya, membuat pintu penjara bergetar. Semua prajurit yang mendengar seketika menunduk, namun Menno masih menatapnya sambil tersenyum. 

Panglima mengepalkan kedua tangannya dan berbalik meninggalkan Menno tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 

Menno merebahkan diri lega ketika Panglima pergi. Meskipun tampak berani, telapak tangan dan kaki Menno rasanya sudah beku akibat kelakuan Panglima tadi. Menno sudah berkali-kali bertemu dengan berbagai pria berkedudukan tinggi, namun tidak ada yang se-menakutkan Panglima Artunis. 

Apa yang kukatakan barusan? pikirnya. Sepertinya aku sudah mulai kehilangan akal sehat. 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang