"Panglima, Nona Parisha," panggil pria itu.
Detik yang sama ketika Menno bersuara, semua bayangan Panglima tentang Menno buyar entah ke mana. Seperti lukisan, Menno memang lebih indah dilihat dalam senyap.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Panglima seakan tidak tahu. Bukan - Panglima memang tidak tahu. Dia hanya tahu Menno akan bertemu lagi dengannya, tapi tidak tahu kenapa harus di bawah pohon di dekat kamar Parisha.
"Emmm, itu..," jawab Menno sambil menggaruk kepala, membuat Panglima berpikir buat apa menyuruh orang membantu menata rambut Menno. "Saya tersesat waktu mau pergi ke toilet, dan kehilangan jejak kalian. Lalu entah bagaimana caranya tahu-tahu ada di sini."
Kalau bukan karena tahu kemana Menno sebenarnya, Panglima pasti sudah akan menghela nafas panjang sambil memohon kesabaran. Tapi kali ini, Panglima berbaik sangka dan menganggap itu semua alasan Menno yang paling masuk akal agar tidak dicurigai.
"Nona Parisha, tolong maafkan ketidaksopanan teman saya."
Parisha menggeleng.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Putra Agung," jawabnya sopan. Dalam hati mungkin Parisha juga sedikit bersyukur bahwa Putra Agung menghentikannya sebelum berbicara, atau dia mungkin akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Ah, saya tidak ingin mengganggu Panglima dan Nona Parisha," kata Menno saat melihat kecanggungan di antara mereka, "Silakan lanjutkan pembicaraan kalian."
Menno merasakan mata Panglima menatapnya tajam dari balik topeng emasnya, seolah ingin membunuh Menno hanya dengan tatapan mata. Dia berpaling dan kembali melihat-lihat pohon berbunga putih di taman itu, mengamati ranting, daun, dan bunganya.
Dasar, pikir Panglima dalam hati. Sudah melempar batu, pura-pura tidak tahu.
"Jangan bicara sembarangan," kata Panglima.
Parisha langsung turun tangan mencairkan suasana.
"Saya hanya memperlihatkan taman-taman di rumah ini kepada Putra Agung."
"Nona Parisha ternyata tahu banyak soal tanaman," tambah Putra Agung.
Menno tersenyum.
"Waaah, hebat sekali. Nona bisa ajari saya? Saya tidak begitu tahu soal tanaman di sini."
Parisha melirik Putra Agung sebentar, lalu mengangguk.
"Pohon yang dari tadi Tuan perhatikan adalah favorit saya. Pohonnya indah, dan bunganya putih kecil dan wangi," gadis itu menjelaskan sambil menunjuk pohon tersebut.
"Ooh... Namanya apa ya?" tanya Menno sambil melirik Panglima, memberinya kode agar memperhatikan.
"Ini pohon mali."
***
"Aaaaaaaahhh, akhirnya kita bisa keluar dari rumah itu..."
Menno meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Malam sudah begitu larut, dan akhirnya mereka bisa pergi dari rumah Duta Besar Mazares setelah 'prosesi' berpamitan yang memakan banyak waktu. Duta Besar kelihatannya agak berat hati melepas Putra Agung pulang. Tapi tidak mungkin dia berharap Panglima menginap di rumahnya 'kan?
Kalau Duta Besar berkeberatan, terlebih lagi Nona Parisha. Raut wajah gadis itu langsung berubah ketika Panglima berpamitan. Walau demikian, sebelum Panglima keluar dari gerbang rumahnya, gadis itu menyodorkan sebuah kotak kayu kepada Panglima, mengatakan bahwa itu tanda mata kecil darinya.
Mudah-mudahan cuma tanda mata. Bukan tanda lainnya.
Mata Menno dari tadi melirik kotak kayu itu, penasaran dengan isinya. Panglima sadar akan hal itu, tapi memilih tidak membicarakannya. Lagipula, bukan itu alasan utama mereka menerima undangan Duta Besar hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantasy"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...