70. Janji

3K 342 39
                                    

Seandainya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mustahil Askar percaya. Di atas lantai, Panglimanya duduk bersila, Menno duduk di bangku rendah di belakangnya, dengan lembut meratakan ramuan entah apa yang dibuatnya dengan sebuah sisir.

Askar menahan nafas. 

Sudah dua hari mereka berada di Creig - tepatnya di dekat Creig - di rumah seorang wanita tua bernama Mara. Wanita ini adalah teman baik Menno dan Eurig. Pria itu sepertinya punya teman di mana-mana. 

Satu tangan terkepal erat, Askar melirik topeng emas yang ada di tangannya, mencari waktu yang tepat untuk menyerahkannya kepada Panglima yang sedang asyik mengobrol dengan Menno. Lebih tepatnya sedang asyik mendengar ocehan Menno sambil sesekali menimpali.

"Seorang Abadi? Serius?" suara Menno terdengar dari balik pintu yang setengah terbuka. Mereka berdua sepertinya belum menyadari keberadaan Askar. 

Panglima menggumam lirih mengiyakan. 

"Sudah sekian lama aku berkelana di tiga negara, belum pernah aku bertemu dengan seorang Abadi," lanjutnya. "Apa itu artinya aku akan bertemu Laksarupa suatu hari nanti?"

Panglima mendengus geli. Laksarupa adalah makhluk-makhluk yang misteriusnya hampir sama dengan Para Abadi - mungkin lebih misterius lagi. Mereka tidak tercatat atau terdokumentasi, hanya muncul dalam cerita-cerita yang beredar tanpa bukti yang jelas. Mereka juga memiliki bentuk dan kemampuan yang berbeda, yang membuat orang makin sulit meneliti mereka. 

"Kalau kamu secerewet ini, jangankan Laksarupa, menemukan rusa di hutan pun kamu belum tentu bisa," sanggah Panglima. Putra Agung berambut merah itu kemudian melirik pintu masuk dan memanggil Askar.

"Masuk, Askar. Apa yang kamu lakukan di sana?"

Tertegun, Askar melangkah masuk dan menyerahkan topeng emas di tangannya, lalu buru-buru pamit. Daripada 'mengganggu' Panglima-nya, lebih baik dia mencari Hilda dan menemani gadis itu. Setidaknya suara Hilda lebih enak didengar daripada ocehan Menno. 

***

Menno dengan lembut mengeringkan rambut Panglima. Bagaimana caranya rambut manusia bisa semerah itu, Menno juga tidak tahu. Tapi yang jelas, rambut berwarna merah jauh lebih cocok dengan kepribadian Panglima daripada rambut hitam yang selama beberapa minggu terakhir ini menyamarkan identitasnya. 

Setelah Askar pergi, Menno menutup pintu kamar dan bicara lebih pelan. Kadang-kadang dia lupa bahwa ada orang-orang lain juga di sana. Lagipula, Menno tidak ingin ada orang yang menguping pembicaraan mereka.

Walaupun sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Mungkin..

"Menno," suara Panglima membuatnya sadar dari lamunannya. "Pembicaraan kita di Stellegrim belum selesai."

Menno membiarkan helaian-helaian rambut Panglima lolos dari sela-sela jemarinya. 

"Pembicaraan yang mana ya?" tanyanya polos, pura-pura tidak tahu apa yang Artunis maksud. Sejak dia kembali dari Castareth, Menno tanpa henti berharap bahwa Panglima tidak akan mengungkit soal 'malam itu' - malam dimana dia meloloskan diri dengan kedatangan Askar dan Bala serta keberangkatannya yang mendadak ke ibu kota. 

Sayangnya, Panglima memiliki ingatan yang tajam.

Terutama soal hal-hal yang menyangkut Menno.

Artunis membiarkan rambut merahnya jatuh berjuntai membingkai bahu dan punggungnya sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Menno, mempersempit jarak di antara mereka. Menno menelan ludah. Di bawah tatapan tajam  Panglima, dia merasa seperti kelinci atau rusa kecil yang berhadapan dengan seorang pemburu yang tidak kenal ampun tanpa jalan keluar.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang