20. Sama-sama

1.9K 317 5
                                    

Dengan cekatan, Menno menyobek bagian bawah bajunya, lalu mengikatkannya erat-erat di lengan atas Panglima, mencegah racun menyebar ke bagian tubuhnya yang lain. Ia kemudian menggunakan jemarinya untuk menyobek lengan baju Panglima, agar lebih mudah mengobati lukanya. Setelah mengamati luka Panglima, ia menyambar anak panah yang tertancap di tanah dan mengamatinya baik-baik, mencium aroma racun di mata pisaunya, mencermati warna dan kepekatannya.

Mata Panglima tentu saja, tidak lepas dari Menno selama semua ini berlangsung. Mungkin akan lebih baik kalau Panglima jujur mengatakan bahwa ia kebal terhadap banyak jenis racun, sehingga Menno tidak panik. Tapi kenapa ia harus memberitahu Menno kalau dengan diam, ia jadi bisa melihat Menno bekerja? Mata Menno yang tajam penuh konsentrasi, jemarinya yang bergerak cekatan memilih dan meracik dedaunan entah apa, rambut hitamnya terjuntai sembarang membingkai garis-garis wajahnya yang tegas dan raut mukanya yang tegang, bibir tipisnya yang biasanya mengoceh tanpa henti kini terkatup rapat, semuanya membuat Panglima merasa tenang.

Panglima menahan nafas saat Menno tiba-tiba menggenggam lengannya, lalu mendekatkan bibirnya ke luka Panglima. Tangan Panglima yang satu lagi refleks menyentuh gagang pedangnya. Belum pernah seorang pria pun berada sedekat ini dengannya, kecuali tentu saja, dalam pertarungan.

Dan dalam situasi itu, pria yang menjadi lawannya selalu berakhir tewas.

Tapi Menno tidak punya waktu untuk bermain-main. Ia menahan tangan Panglima di gagang pedangnya lalu menatap mata Panglima lekat-lekat.

"Jangan bergerak," katanya pelan.

Panglima tertegun mendengar nada suara Menno yang hampir seperti ancaman, dan melepaskan gagang pedangnya.

"Aku akan menghisap racun ini keluar dari lenganmu, lalu membalutnya dengan obat," kata Menno menjelaskan.

Panglima mengangguk. Ia menarik nafas dalam-dalam, berupaya mengatur detak jantungnya.

***
Panglima Artunis memasuki perkemahan bersama Menno seolah tidak ada apa-apa. Menno segera meminta izin beristirahat setelah mengantarkan Panglima ke kemahnya sendiri.

Neria, yang segera memasuki kemah Panglima ketika mendengar kabar, langsung heboh seperti biasa.

"Panglima, biar aku melihat lukamu," katanya buru-buru sambil memeriksa lengan Panglima.

Gadis itu kaget saat melihat luka Panglima sudah dibalut rapi dengan kain dan diobati.

"Panglima, ini.."

"Menno mengobatiku," jawabnya singkat.

Neria mengernyitkan dahi.

"Apa yang terjadi?"

Panglima menceritakan kejadian di hutan. Bagi Panglima, diserang pembunuh bayaran bukan soal besar. Hal seperti ini terjadi setiap beberapa minggu sekali. Kalau bukan karena dia berilmu bela diri tinggi dan pandai melindungi diri, pasti ia sudah mati sekarang.

"Aku akan membuatkan obat untuk mengeluarkan sisa racunnya. Meskipun Panglima kebal, racun itu tetap harus dikeluarkan dari tubuh."

Panglima menggeleng.

"Berikan obatnya pada Menno," katanya sambil menyentuh lembut balutan di lengannya. "Pria aneh itu menghisap racun dari lenganku dengan mulutnya. Bisa jadi ada sisa racun yang tertelan. Mungkin dia sedang pusing kepala sekarang."

Mata Neria membulat.

"Dia menyentuh Panglima dan masih hidup sampai sekarang?" bisiknya, walau masih terdengar oleh Panglima.

"Apa maksudmu? Dia berupaya menyelamatkanku."

Neria menggeleng. Dia mengingat kembali cara Panglima menatap Menno, dan caranya menyentuh lembut balutan di lengannya...

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang