36. Takut

1.6K 298 5
                                    

Seantero Estahr geger. Kediaman Mazares dikepung berpuluh-puluh prajurit dan digeledah. Di depan pintu seorang kapten membacakan titah Putra Agung sebelum mendobrak gerbang dan menyuruh anak buahnya masuk.
Perintah Putra Agung sangat sederhana - tangkap semua anggota rumah tangga Mazares, laki-laki dan perempuan, lalu segel kediamannya.

Dalam satu hari, kejayaan apapun yang Mazares miliki direnggut darinya. Mazares digiring paksa - di depan mata semua orang - masuk ke penjara, menanti pengadilan dan hukumannya.

Sementara Mazares dan pelayan-pelayannya berada di bui, kediaman Mazares digeledah. Panglima sendiri datang untuk mengawasi. Mereka menemukan banyak bukti kejahatan-kejahatan Mazares selama ini. Namun yang Panglima cari bukanlah ruang rahasia berisi emas dan perak. Panglima mencari informasi dan bukti mengenai keterlibatan Hallstein di sana.

Menno tidak ingin ikut-ikutan. Ralat. Sebenarnya dia ingin ikut. Tapi ada hal lain yang ia harus lakukan siang ini - melukis.

Semuanya gara-gara apa yang terjadi pagi tadi.

***

Untuk menangkap basah Mazares dan orang-orang yang membantunya, Panglima menyusun sebuah rencana yang matang. Setelah mengetahui bahwa penyebab penyakit yang melanda kota Estahr adalah pencemaran air, Panglima secara diam-diam mengalihkan semua aliran air yang bersumber dari utara dan menggantinya dengan aliran air dari selatan - untuk sementara waktu. Orang-orang tidak tahu bahwa air yang mereka dapatkan mulai tadi pagi adalah air yang berbeda dengan yang mereka dapatkan kemarin. 

Setelah urusan persediaan air kota beres, sebelum fajar menjelang Panglima membawa Menno ikut menyertainya ke pintu air di bagian utara kota - untuk menangkap orang-orang yang mencemari air. Kalau dugaan Panglima dan Menno benar, mereka akan ke pintu air untuk mengambil air, lalu menuangkan bahan pencemar. 

Panglima dan Menno mengambil posisi beserta beberapa pengawal kepercayaan Panglima di tempat tersembunyi sambil mengawasi pintu air. Tidak lama sebelum matahari terbit, beberapa orang berpakaian hitam bergerak cepat melompati dinding-dinding yang mengelilingi pintu air dan masuk. Mereka dengan mudah melewati para penjaga yang biasanya berjaga tanpa ketahuan - Panglima sadar bahwa mereka bukan orang biasa. Seorang dari mereka menengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang di sana, sebelum mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya. Saat itulah Panglima turun tangan.

"Serang!" seru Panglima lantang.

Dalam sekejap para prajurit menyerang penyusup-penyusup berpakaian hitam itu, mengepung mereka dari berbagai arah. Tapi para penyusup tersebut berilmu tinggi dan dengan mudah dapat melumpuhkan para pengawal yang menyertai Panglima.

Panglima dengan sigap menghadapi mereka, gerakan-gerakan cepatnya mampu mengenai beberapa orang musuh dan membuat mereka tersungkur di tanah. Satu demi satu penyusup dijalankannya, menyisakan dua orang lagi, yang sepertinya mampu mengimbangi keahlian Panglima.

"Panggil bala bantuan," perintah Panglima pada salah satu pengawalnya yang terjatuh, tanpa melepaskan kedua musuh dari pandangan matanya. Pengawal itu memaksa diri berdiri dan melaksanakan perintah atasannya.

Bahkan sebelum pengawal tersebut beranjak, salah satu pria berpakaian hitam berusaha menghentikannya. Namun Panglima tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan ia memukul lengan pria itu dengan pedangnya, lalu berputar dan menghantan punggungnya dengan sarung pedang. Suara erangan mengiringi tubuhnya pria itu.

Satu orang lagi.

"Panglima, awas belakang!"

Seruan Menno membuat Panglima refleks berbalik. Tanpa dipikir tangannya menangkis lengan musuh yang mata pedangnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Panglima merunduk dan memukul betis pria itu, namu dia segera menahan tubuhnya dengan tangan agar tidak jatuh, bersalto di udara dan mendarat tanpa terluka. Panglima dan pria itu kembali beradu pedang, keduanya tidak mau mengalah. Namun pria itu lebih kuat daripada Panglima, dan berhasil mendorong Panglima ke arah pintu air. Panglima tiba-tiba merunduk dan berputar, membuat pria itu hilang keseimbangan sekejap. Biasanya cara ini cukup untuk membuatnya menang. Tapi kali ini lawannya berbeda. Pria itu mengayunkan pedangnya dan mengenai topeng emas Panglima, membuat topeng itu terlempar jauh dari pertarungan mereka berdua.

Panglima yang sadar topengnya terlepas, segera mendesak lawan dengan ayunan pedang cepat, hingga akhirnya satu pukulan singkat dengan gagang pedang mengenai ulu hati pria itu, membuatnya tersungkur.

Belum menyerah, pria itu menendang betis Panglima hingga ia mengerang dan berlutut di tanah. Penyusup tersebut mengambil kesempatan untuk kabur melompati dinding, dan menghilang tanpa jejak.

"Sial!" seru Panglima menghantam tanah di sela-sela erangannya.

Saat ia mendongak, Menno berlutut di hadapannya, topeng emas di tangannya.

Panglima bahkan sempat tidak sadar bahwa ia sedang tidak memakai topeng. Dengan wajah tanpa ekspresi dia menatap Menno, yang menatapnya balik tanpa ragu. Bertatap muka, mata mereka saling terkunci dalam pandangan masing-masing.

Bahkan seandainya mata bisa berbicara, tatapan Menno saat itu tidak berisi satu kata pun.

Bahkan seandainya Menno ingin bicara, Panglima tidak ingin mendengar apa pun.

"Panglima!"

Mendengar orang datang, Menno refleks mengangkat lengannya, menutupi wajah Panglima.

Mungkin dia tahu Panglima tidak ingin ada orang yang melihat wajahnya.

Atau mungkin...

Dia tidak ingin orang lain melihat wajah Panglima.

Demi angin, sebuah suara bergema di pikiran Menno, apa yang kupikirkan?

Panglima mengambil topeng emasnya dari tangan Menno dan mengenakannya kembali. Ia berdiri dan memberikan instruksi kepada para prajuritnya untuk memasukkan para penyusup yang pingsan ke penjara, dan mengejar yang lolos.

Posisi Menno masih belum berubah ketika Panglima memanggilnya.

"Kita pulang."

Entah sejak kapan 'pulang' berarti kembali ke kediaman Panglima.

***

Seperti dalam trans, tangan Menno bergerak cepat di atas kanvas. Sebuah sketsa terpampang di sana - Panglima dengan pedang di tangannya, tampak seperti malaikat maut yang dingin dan menakutkan.

Tanpa topeng.

Meski demikian entah mengapa, Menno tidak sanggup menggambar wajahnya. Tidak, bukan tidak sanggup. Ia tidak berani.

Jangan tanya alasannya. Menno pun tidak tahu. Dia hanya merasa Panglima akan membunuhnya dengan wajah datar bila Panglima tahu Menno melukisnya tanpa topeng.

Bukan itu yang membuatnya takut.

Lalu apa?

Menno meletakkan kuasnya dan merebahkan diri di kasur.

Apa mungkin Panglima membuatnya takut? Bukan (sekadar) takut ditebas, tapi dia takut terlalu dekat dengan Panglima.

Takut terikat.

Tadinya Menno pikir dia hanya akan tinggal di Estahr melukis Panglima sampai rasa penasarannya terobati. Tadinya dia pikir setelah itu dia bisa pergi meninggalkan Estahr seperti dia meninggalkan kota-kota lain yang pernah dia tinggali.

Tapi sekarang...

Panglima membawa Menno ke rumahnya, menghabiskan waktu dengannya, membiarkan Menno melukisnya, memberi Menno semua yang dia butuhkan - bahkan lebih.

Panglima sudah membuatnya - seorang Pangeran dari negara lawan - mengobati Panglima, mengobati pasukannya, mengobati seantero kotanya. Panglima menyerahkan sebuah kota ke tangannya. Entah apa yang rela Hallstein lakukan demi mendapatkan apa yang Menno miliki tanpa usaha.

Lalu dia baru saja melihat wajah Panglima - dan pria itu tidak memberi komentar apapun. Bahkan tidak menyuruhnya menjaga rahasia - seolah ia tahu Menno mengerti.

Takut terikat.

Menno adalah angin - bebas, tidak tergenggam, tidak tergapai. Sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, dia hanya ingin hidup seperti burung-burung di langit dan binatang-binatang di hutan, tanpa beban.

Karena itu, dia tidak bisa berdiam diri.

"Aku harus keluar dari sini," gumamnya pada diri sendiri.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang