37. Dalam Pikiran

1.6K 291 5
                                    

Sudah beberapa hari terakhir ini Panglima tidak keluar satu langkah pun dari kediamannya. Hampir seluruh waktunya dia habiskan di ruangan kerjanya, menata ulang hal-hal yang sebelumnya terbengkalai pasca wabah.

Dimulai dengan mencari penyusup yang berhasil kabur dari genggamannya. Setelah menginterogasi kawan-kawannya yang tertangkap, Panglima mendapat informasi bahwa penyusup itu adalah orang sewaan yang tidak jelas asal-usulnya, namun memiliki keahlian yang tinggi. Sampai sekarang para pengawal Panglima juga belum berhasil menemukan orang itu.

Tadinya Panglima bersikeras menutup gerbang Utara sampai penyusup itu ditemukan. Tapi setelah beberapa hari berlalu dan orang itu masih belum ditemukan juga, Panglima menyerah dan membuka gerbang Utara, mengizinkan kegiatan jual beli di Estahr berjalan normal.

Lalu soal Mazares. Pria itu masih mendekam di penjara. Dengan keras kepalanya dia menolak bicara sepatah kata pun.

"Bicara atau tidak, aku tetap akan mati," begitu katanya.

Panglima hanya bisa menghela nafas dan berkata bahwa ia sendiri akan turun tangan menginterogasi Mazares.

Belum lagi urusan Pasukan Fajar yang selama wabah dikelola oleh Askar. Panglima harus memeriksa keadaan pasukan sekaligus kabar mengenai pergerakan pasukan musuh. Laporan mengenai Pasukan Fajar saat ini menumpuk di atas mejanya. 

Lalu soal apa lagi yang belum beres?

"Cukup Panglima. Istirahat sekarang."

Suara Neria membuat Panglima menarik nafas panjang. Gadis itu masuk membawa seperangkat minum teh dan menatanya di atas meja. 

"Terima kasih Neria," kata Panglima sambil duduk.

Neria memijat punggung dan tengkuk Panglima untuk membuatnya rileks. Sesuai dugaan Neria, semua ototnya kaku di mana-mana. 

"Kenapa Panglima selalu memaksakan diri?" tanya Neria. "Tidak soal sekuat apa dirimu, Panglima tetap harus beristirahat."

Panglima tidak berkomentar. Memang benar bahwa pekerjaan Panglima saat ini menumpuk luar biasa banyak, tapi selain itu ada alasan lain Panglima menyibukkan diri dan tidak keluar dari ruang kerjanya. Dia tidak ingin terlalu memikirkan apa yang terjadi antara dia dan Menno.

Soal topeng saat itu. 

Artunis tidak tahu apa yang harus dia katakan, tidak tahu apa yang Menno pikirkan, dan tidak tahu apa yang mesti dia lakukan selanjutnya. Selama ini, dia berlagak seolah Menno melihatnya di baik topeng bukanlah masalah besar. Tapi sejujurnya, orang yang pernah melihatnya tanpa topeng dan masih hidup sampai sekarang hanyalah Neria dan kedua orang tuanya. 

Dan Menno Karan.

Ah, dan penyusup itu. Tapi penyusup itu kemungkinan hidupnya tidak akan panjang setelah Panglima memerintahkan orang untuk mencarinya. 

Sementara Menno....

"Bahkan kalaupun aku sedang tidak bekerja, aku tidak bisa istirahat, Neria," desah Panglima sambil memijat keningnya. 

Neria baru saja hendak menanyakan alasannya ketika suara derap langkah kaki bergema di koridor. Langkah kaki seorang prajurit. Selang beberapa detik, pintu ruang kerja Panglima terbuka - tamunya bahkan tidak menyempatkan diri mengetuk - dan di sana, di pintu, berdiri Panglima Emiran dari Pasukan Senja.

***

"Paman yakin tidak mau ikut makan?" tanya Liam sambil menyuapkan ayam bakar ke mulutnya. Masakan di Estahr berbeda dengan masakan yang biasa dia makan di Mirchad - makanan Surpara lebih berbumbu dan kaya cita rasa, sementara masakan Mirchad cenderung mengeluarkan rasa asli dari bahan makanannya.

Menno menggeleng. Dia duduk berhadapan dengan Liam, bertopang dagu, sambil menyeruput teh bunga krisannya. 

Teh bunga krisan selalu membuat Menno merasa lebih tenang. 

"Paman serius soal keluar dari Estahr?"

Menno mengangguk. 

"Kenapa tiba-tiba?"

Menno hanya melirik Liam tanpa bicara apa-apa, lalu kembali menyeruput teh miliknya. Mana mungkin dia memberi tahu Liam bahwa ia keluar dari Estahr karena-

"Paman irit sekali bicaranya hari ini. Paman bahkan tidak memarahiku karena memanggil Paman dengan sebutan 'Paman' dari tadi," ucap Liam masih sambil asyik makan. "Jangan-jangan Paman sakit?"

Menno menghela nafas. Akhirnya dia berbicara, walaupun masih dengan wajah malas.

"Aku tidak mengoreksi-mu karena toh sebentar lagi aku akan pergi."

"Kalau Paman tidak cerewet atau berbuat yang aneh-aneh, aku jadi khawatir lho," kata anak muda itu, membuat kepalanya dipukul oleh Menno. 

"Sembarangan!" 

Liam terkekeh.

"Daripada menggodaku seperti itu, kamu harusnya membantu memuluskan jalanku keluar dari kota ini."

Liam mengangkat bahu. 

"Bilang dulu kenapa Paman mau keluar dari Estahr."

Menno menggelengkan kepala. 

"Anggap saja karena sebentar lagi aku akan punya keponakan."

Liam menggeleng.

"Aku dengar dari Ayah bahwa Paman bukan tipe orang yang peduli soal hal-hal seperti itu. Lagipula, aku tidak pernah dengar Paman punya saudara. Paman mau punya keponakan dari mana?"

Menno semakin kesal. 

"Sudah sudah sudah. Jadi kapan kamu bisa membantuku keluar?"

Liam masih ingin menggoda Pamannya itu.

"Oh, jangan-jangan Paman bertengkar dengan Putra Agung Artunis."

"Mana mungkin aku bertengkar dengannya? Dia bisa menebas kepalaku dengan satu gerakan. Tentu saja akan berhati-hati supaya tidak membuatnya marah."

Liam menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, kenapa Paman pergi dengan Putra Agung di pagi hari, lalu mulai bicara soal pergi dari Estahr sore harinya, bahkan sebelum aku benar-benar sembuh?"

Menno berdecak kesal. 

"Sejak kapan kamu ingin tahu urusan orang? Bukannya kamu biasanya suka cari aman?"

"Selama aku masih bisa tetap aman, apa salahnya mencari tahu?"

Menno menggeleng. Walaupun Liam lebih 'alim' dan 'berhati-hati' dibanding Eurig ayahnya, tetap saja bocah ini membawa darah sahabat baiknya itu. 

"Sudah. Kamu tidak perlu tanya banyak soal alasannya, yang penting, Paman mau cepat-cepat keluar dari kota ini, selagi..."

"Selagi?"

Selagi Panglima sibuk dengan Mazares, pasca-wabah, dan urusan-urusan lainnya.

"Selagi aku masih berbaik hati dan mau membuat kesepakatan denganmu. Sebutkan apa yang kamu mau, dan aku akan lakukan asal kamu membantuku keluar dari Estahr tanpa mencolok perhatian."

"Baik, baik," jawab Liam akhirnya. "Akan ada karavan yang keluar dari kota ini besok pagi-pagi sekali. Paman ikut di dalamnya saja."

Menno mengangguk.

"Nah, itu baru sahabatku."

Liam menyipitkan matanya.

"Sahabat Paman itu ayahku. Jangan suka mengaku-aku."

"Iya, iya."

"Satu lagi. Jangan lupa janji Paman."

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang