35. Pembunuh Bayaran

1.6K 297 10
                                    

Suasana di kediaman Mazares, walaupun tidak ada yang terkena wabah, lebih mencekam daripada tempat-tempat lain di kota Estahr. Duta Besar mondar-mandir di ruang kerjanya tanpa henti, seperti orang kebingungan.

Beberapa hal akhir-akhir ini membuat Mazares semakin merasa tidak suka kepada Putra Agung. Selama ini Mazares sudah merasa kesal karena Putra Agung 'merebut' kedudukan yang di cita-cita kannya sebagai penguasa kota. Tapi kemudian, Putra Agung tampak menaruh perhatian pada Parisha, membuat Mazares melihat kesempatan baru - menjadi mertua calon Sang Agung, penguasa Surpara.

Kemarin malam, harapannya musnah begitu saja. Sewaktu Putra Agung dan Parisha mengobrol di luar rumah, Mazares mencuri dengar percakapan mereka.

"Yang tidak bisa saya berikan, Nona, adalah hati saya," kata Putra Agung waktu itu.

"Saya tahu saya kurang pantas menjadi pendamping Putra Agung," jawab Parisha saat itu, nada sedih terdengar jelas di suaranya,  "tapi-."

"Bukan, Nona," potong Putra Agung. "Saya-lah yang kurang pantas."

Mazares mendengarkan baik-baik dari balik tembok, berharap Parisha berhasil membujuk Putra Agung untuk setidaknya mengambil Parisha sebagai selir. Tapi harapannya tidak terwujud.

"Nona Parisha adalah gadis yang baik. Serahkanlah hati Nona pada orang yang bisa memberikan seluruh hatinya untuk Nona - bukan kepada saya yang tidak bisa memberi bahkan sebagian kecil saja dari milik saya."

Malam itu, rasa bencinya terhadap Putra Agung bangkit berkali-kali lipat dari yang sebelumnya. Putra Agung tidak menerima hadiah pemberiannya, tidak juga menerima putrinya, ditambah dengan kedudukan Putra Agung yang seharusnya adalah miliknya, Mazares tidak punya alasan untuk berbaik hati lagi kepada bocah berambut merah itu.

Namun kemarahannya tidak berlangsung lama.

Pagi harinya, beberapa petugas datang untuk mengambil contoh air di rumahnya. Apa mungkin mereka sudah tahu penyebab wabah di kota ini? Sewaktu Hallstein menyuruhnya mencemari pintu air kota, Hallstein begitu yakin bahwa taktiknya tidak mungkin ketahuan. Orang akan berpikir bahwa ini penyakit menular pada umumnya - bukan hasil kerja kotor mereka. Tapi sekarang, mereka memeriksa air dari berbagai tempat. Kalau ketahuan bahwa Mazares memakai penawar racun untuk air di rumahnya, dan bahwa dia adalah sumber racun pencemar air, kepalanya bisa melayang.

Rasa marah dan benci dalam dirinya berganti menjadi rasa takut. Putra Agung harus disingkirkan.

Langkah berikut yang dia ambil memang berisiko tinggi, tapi dalam situasi gawat, solusi yang bisa digunakan sangat terbatas.

Mazares memutuskan untuk menggunakan orang-orang yang Hallstein berikan untuk membantunya.

Mencoba lebih baik dari pasrah menunggu nasib.

***

"Panglima sepertinya bekerja keras hari ini," ujar Menno sambil meregangkan otot-otot di tubuhnya.

Sore ini Panglima datang ke barak untuk mengatur macam-macam hal terkait temuan mereka tadi pagi, dan kemudian menunggu Menno menyelesaikan pekerjaannya (dan senda guraunya dengan Liam) sebelum akhirnya pulang bersama.

Malam ini begitu cerah - malam yang baik untuk berjalan kaki sambil menghirup udara segar. Lagipula, jarak dari barak ke toko obat tidak begitu jauh.

Walaupun Panglima lelah, rasanya dia masih kuat kalau hanya berjalan pulang.

"Kamu juga tampaknya bekerja keras," sindir Panglima.

"Tentu saja," balas pria itu tanpa malu-malu. "Pokoknya begitu urusan ini selesai, aku minta cuti."

Panglima mengangguk.

"Aku beri kamu cuti di perkemahan Pasukan Fajar," jawabnya, menyeringai. "Satu bulan."

Menno langsung menghela nafas panjang. Walaupun dia tidak ada pekerjaan di perkemahan, tetap saja suasana di sana bukan suasana liburan. Yang terjadi waktu-waktu lalu, Menno malah ikut membantu Neria mencari tanaman obat atau meramu obat di perkemahan. Daripada cuti di perkemahan, lebih baik tidak cuti sama sekali.

"Setelah dipikir-pikir, aku tidak perlu cuti," jawab Menno. "Aku 'kan pekerja keras."

Panglima menggelengkan kepalanya. Pria ini memang anehnya bukan main.

"Kamu memang-."

Panglima tiba-tiba berhenti bicara dan memberi isyarat agar Menno juga diam. Menno memasang telinga, berupaya mendengar suara yang membuat Panglima waspada, tapi dia tidak bisa mendengar apa-apa.

"Ada apa?"

Baru saja Menno bicara, telinganya menangkap suara gerakan. Mereka berdua berpandangan dan mengangguk. Mereka sedang diikuti, dan sepertinya oleh cukup banyak orang. Berdasarkan pengalaman, orang yang mengikuti Panglima malam-malam begini biasanya adalah pembunuh bayaran.

"Aku sedang tidak ingin bertarung," desah Panglima.

"Jadi? Kita kabur?"

Dalam hitungan ketiga, Panglima dan Menno berlari cepat. Para pembunuh bayaran yang mengintai mereka seketika keluar dari persembunyian masing-masing dan berlari mengejar.

Menno setengah mati menyamakan kecepatan dengan Panglima yang berlari seperti macan kumbang dalam kegelapan. Panglima menoleh, melihat Menno melambat karena kelelahan, lalu menggenggam lengannya dan setengah menyeretnya berlari. Sesekali ia memukul pengejar yang paling depan dengab gagang pedangnya, melumpuhkan beberapa dari mereka hanya dengan sekali pukul.

Panglima berlari dan berlari. Ia tengah berpikir keras bagaimana caranya menghindari orang-orang itu ketika sebuah celah kecil di dinding memberinya ide.

Ia menarik tubuh Menno dan memasukkannya ke celah tersebut, lalu menutupi tubuh Menno dengan tubuhnya sendiri. Mata Panglima melirik ke belakang punggungnya, ketika orang-orang itu di jalan besar melewati mereka dan kehilangan jejak.

Panglima baru kembali menengok ke arah Menno ketika pria itu berdehem.

Entah apa yang berada di pikiran Panglima ketika mata mereka bertemu. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter dari satu sama lain. Panglima menatap mata Menno tanpa rasa takut sedikitpun dengan senyum tipis di bibirnya. Seperti patung, ia tidak bergerak, tidak sadar bahwa kedua tangannya menekan bahu Menno ke dinding seolah akan menancapkannya ke sana.

"Panglima," kata Menno ketika ia merasa Panglima sudah menatapnya terlalu dekat dan terlalu lama. Pikirannya kembali terbang kepada kata-kata Liam soal gosip yang beredar di Estahr tentang dirinya dan Panglima. "Mungkin sebaiknya aku bilang bahwa aku tidak berminat terhadap laki-laki."

Panglima tersenyum. Ia tahu Menno berusaha menutupi ketidaknyamanannya dengan cara bercanda. Seperti biasanya.

"Bagus kalau begitu," bisiknya di telinga Menno sebelum berbalik meninggalkan pria itu.

Menno mengatur nafasnya sambil memijat-mijat bahunya yang nyeri. Dadanya sesak mendengar nada suara Panglima yang menyimpan begitu banyak misteri.

Aku mungkin sudah gila, pikirnya sembari menyusul langkah Panglima.

Yang dia tidak tahu, Panglima kemungkinan lebih gila daripada dirinya. 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang