Putra Agung berjalan tegap di koridor sambil mengelap peluhnya. Seperti biasa, meskipun saat ini bukan saat perang, tapi Putra Agung selalu berlatih dengan para prajuritnya setiap pagi. Dia tentu saja tidak ingin tubuhnya lemah saat harus digunakan.
Di belakangnya, Askar mengikuti sambil memberi laporan kegiatannya hari ini.
"Tidak ada yang punya?" tanya Panglima saat Askar memberitahu hasil penggeledahannya. "Mana mungkin?"
"Kami sudah menggeledah setiap karavan yang masuk dan yang berada di dalam kota. Tidak ada kahalu, baik bunga maupun daun. Semua toko obat bilang, kahalu sudah lama menjadi barang langka di kota ini."
Putra Agung mengerutkan dahi.
"Soal pria berbaju putih itu?"
"Namanya Menno. Dia masuk bersama karavan dagang Eurig dari Mirchad. Informasi yang saya dapatkan, dia kerabat Tuan Eurig dan putranya Liam."
Jadi mereka orang Mirchad.
"Dan di karavan Eurig tidak ada kahalu?" tanya Panglima lagi.
"Tidak, Panglima."
Mereka kini sudah berada di dalam ruangan kerja Panglima. Askar berdiri tegap di hadapan meja Panglima sambil menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Seolah mencari inspirasi, Panglima bertanya sambil memandangi sebuah lukisan di dinding - lukisan seorang penari muda di bawah bulan purnama, dikelilingi ribuan kunang-kunang.
"Oh, iya. Satu lagi," ujar sang Panglima.
Askar, yang sedari tadi berwajah serius, kini tersenyum.
"Sudah saya serahkan, Panglima."
Panglima mengangguk, memberinya isyarat agar keluar ruangan. Baru selangkah ia beranjak, Neria menyeruak masuk tanpa permisi. Ia melipat tangan di dadanya, dan menatap Panglima dengan wajah kesal. Askar, yang tidak mau ikut campur, buru-buru keluar dan menutup rapat pintu di belakangnya.
"Kamu keterlaluan."
Panglima tidak mengacuhkan Neria. Ia malah mulai membaca laporan-laporan yang ada di hadapannya. Melihat reaksi Panglima, Neria semakin kesal.
"Ada apa antara kamu dan Nona Parisha?"
"Kalau terdengar ke luar, orang akan mengira kamu selir rahasiaku lagi," jawab Panglima itu, menirukan gaya bicara Neria kemarin.
"Panglima, aku serius. Aku cuma keluar rumah sebentar membeli bahan obat, tapi sudah bermacam-macam jenis berita yang kudengar.
"'Putra Agung jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Nona Parisha menari.'
"'Oh, aku juga dengar itu. Kabarnya dia bahkan menyuruh pengawalnya mengirimkan surat cinta.'
"'Bercanda. Putra Agung ternyata romantis ya. Beruntung sekali Nona Parisha.'
"'Pria setampan Putra Agung dan gadis secantik Nona Parisha bersanding, membayangkannya pun aku sudah berdebar-debar.'
"Apa-apaan itu semua?"
Neria dari tadi mondar-mandir sambil menirukan pembicaraan orang-orang di jalan. Mau tidak mau Panglima tersenyum melihat tingkahnya.
"Bajuku ketumpahan anggur kemarin. Aku bersihkan dengan sapu tangan miliknya. Tadi pagi aku minta Askar mengembalikan sapu tangan itu," ujarnya memberi penjelasan.
Panglima sengaja tidak menyertakan detil-detil "romantis" agar Neria tidak terkena serangan panik. Tapi tanpa detil apapun, mata Neria sudah membesar.
"Sapu tangan macam apa? Apa sapu tangan bersulam?"
Panglima mengangguk kecil.
"Panglima! Itu pernyataan cinta namanya." Neria menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menggelengkan kepala. Memang sudah menjadi tradisi seorang wanita memberikan sapu tangan yang disulam dengan tangannya sendiri kepada pria yang ia sukai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantezie"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...