01. Rambut Merah

17.8K 952 19
                                    

Di dunia ini, mungkin tidak ada kota yang bisa menyaingi kemasyuran Estahr sebagai kota perdagangan antar Negara. Hiruk pikuk para pedagang dan pembeli yang sedang melakukan transaksi bahkan sampai terdengar ke gerbang kota. Tembok-tembok tinggi berlapis dua yang megah dan memukau berfungsi ganda sebagai pelindung kokoh kota itu. Di atasnya, sekelompok prajurit setia memandang ke depan, mengawasi caravan-karavan pada pedagang yang datang dari kejauhan; di bawahnya, prajurit bersenjata lengkap bersiaga di gerbang kota, memeriksa setiap orang yang masuk dan keluar.

"Benar katamu, Liam," ujar seseorang yang baru saja diizinkan masuk oleh petugas di gerbang, "semua petualang harus menjejakkan kakinya di kota ini setidaknya satu kali."

"Tentu saja," jawab orang yang dipanggil Liam. "Coba Paman perhatikan baik-baik kota ini. Para prianya berpakaian seperti bangsawan, begitu gagah dan rupawan. Apalagi..."

Yang dipanggil Paman memukul pundak Liam dengan kepalannya.

"...gadis-gadisnya."

"Jangan bicara sembarangan Liam. Apa kamu mau kulaporkan pada ayahmu?"

"Jangan begitu lah, Paman Menno. Bukankah Paman seorang pelukis? Bukankah Paman ke sini untuk mencari inspirasi lukisan yang 'indah-indah'?"

Menno menyeringai mendengar ucapan anak muda itu.

"Aku dan ayahmu teman lama. Tentu saja aku harus melaporkan apa saja kelakuan anaknya di kota asing."

Liam langsung memasang tampang memelas.

"Baiklah, kali ini kuampuni. Tapi ada syaratnya."

Liam tersenyum senang.

"Jangan panggil aku Paman. Wajahku masih seusiamu. Panggil saja aku Menno."

"Siap laksanakan, Menno."

"Bagus. Sekarang antarkan aku ke penginapanku."

Di antara sekian banyak penginapan yang ada di Estahr, Liam memilihkan yang terbaik untuk Menno. Yang terbaik, artinya, yang terbaik menurut Liam. Di lantai atas, ada penginapan dengan kamar-kamar luas. Di lantai bawah, ada restoran pada waktu pagi, dan kedai minum pada waktu malam. Belum lagi pelayanan 24 jam tanpa henti dari pemilik penginapan dan para pekerjanya. Jaraknya pun hanya 5 menit berjalan kaki dari pusat kota.

"Aku pintar memilih tempat 'kan, Paman?"

Menno berdehem.

"Maksudku Menno," ujar Liam meralat.

"Lumayan" gumam Menno. Matanya memindai sekeliling ruangan, Penginapan ini tidak terlalu padat, tidak terlalu mewah, tapi tetap terlihat nyaman. Di lantai bawah, tempat mereka berada sekarang, para pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan, sementara para pelanggan sibuk menikmati makanannya sambil mengobrol. Semuanya terlihat biasa saja, sampai Menno melihat seorang pria berambut merah yang duduk di pojok. Pria itu duduk menghadap tembok sehingga dari sudut pandang mereka, hanya punggungnya yang terlihat.

Menno menyikut Liam sambil menunjuk pria itu dengan lirikan matanya. Liam terkesiap.

"Paman," ia buru-buru menggandeng tangan Menno dan menariknya keluar. "Kita makan di tempat lain saja yuk."

***

Menno tersenyum melihat Liam duduk sambil menundukkan kepalanya, seluruh tubuhnya tegang.

"Minum ini," katanya sambil menyodorkan secangkir teh. "Kamu masih muda, kenapa tampangmu seperti orang yang akan mati nanti malam?"

"Paman...," bisiknya. "Kenapa bersikeras makan di sini, padahal ada...." Ia melirik ke pria berambut merah yang duduk di sebelah.

Menno menyeruput tehnya dengan santai. Wajar Liam tegang seperti itu. Yang duduk di meja sebelah mereka adalah Putra Agung Artunis, satu-satunya anak Sang Agung Kaisar Surpara, penguasa kota Estahr sekaligus Panglima Tinggi Pasukan Fajar, pasukan penjaga perbatasan Surpara dan Negara tetangganya, Mirchad. Huft. Menyebut gelarnya saja butuh waktu satu menit. Itu pun kalau pikirannya bisa berfungsi setelah melihat wujud sang Putra Agung.

Di seantero Estahr, tidak seorangpun bisa mengaku tidak mengenali sang Putra Agung. Bukan karena topeng emas yang menutupi mata dan hidungnya, bukan juga karena kaftan panjang pakaian kebesarannya, atau pedang berukiran yang berada dalam genggaman tangannya. Rambut merahnyalah yang menjadi tanda pengenalnya sebagai anggota keluarga kerajaan. Di seantero negeri, hanya dua orang yang memiliki rambut semerah darah seperti yang ia miliki - Putra Agung Artunis, dan ayahnya, Sang Agung Kaisar.

"Paman, kalau Paman sudah selesai makan, lebih baik kita segera keluar, atau naik ke kamar Paman di atas."

Menno sebenarnya merasa agak kasihan melihat Liam. Anak itu usianya belum 20 tahun, tapi sudah harus duduk di dekat seorang Panglima dengan aura yang luar biasa menyesakkan. Pantas saja semua meja di sekeliling sang Putra Agung kosong tidak diduduki. Menno hanya bisa menghela nafas membayangkan reaksi Liam kalau dia tahu bahwa sebenarnya di sekeliling mereka ada lebih dari 10 pengawal dengan pakaian sipil yang dari tadi menatap ke arah mereka berdua dengan pandangan curiga. Sayangnya, aura Putra Agung maupun para pengawalnya tidak cukup kuat untuk mengalahkan rasa ingin tahu dan haus petualangan Menno.

"Apa kamu tidak pernah belajar, Liam?" kata Menno menenangkan. "Pantang seorang pria membuang-buang kesempatan di hadapannya. Kapan lagi kita bisa duduk di sebelah anggota keluarga kerajaan? Mulai besok, kamu bisa pamerkan ini pada semua temanmu seumur hidup."

"Itu tergantung seberapalama hidupku," gerutu Liam.

Liam baru saja hendak mengambil cangkir tehnya ketika Menno mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Pelayan, saya mau pe-"

Prang!

Mata Liam terbelalak. Tangan Menno yang teracung baru saja menyambar sebuah nampan yang dibawa seorang pelayan untuk pelanggan di sebelah mereka - sang Putra Agung. Pelayan itu sedang berjalan di antara meja mereka ketika Menno dengan cerobohnya mengangkat tangan untuk memesan. Seluruh minuman di nampan itu tumpah ke rambut dan pakaian Putra Agung, sementara teko dan cangkirnya pecah berkeping-keping di lantai. Pelayan malang itu langsung sujud dengan tubuh gemetaran.

"Maafkan hamba, Putra Agung, hamba tidak bermaksud..."

Namun sang Putra Agung tidak tertarik. Ia hanya melirik sekilas pria malang itu dan malah menatap Menno curiga.

Melihat Menno yang hanya diam bagai tersihir topeng emas di hadapannya, Liam langsung membungkuk memohon ampun.

"Ampuni kawan hamba, Putra Agung. Ampuni tindakan cerobohnya barusan."

Tidak ada jawaban. Liam menendang pelan kaki Menno untuk menyadarkannya. Ia segera membungkuk meminta maaf.

"Maaf, Putra Agung, saya sungguh tidak bermaksud mencelakai Anda."

Sang Putra Agung tidak bicara sepatah kata pun. Ia hanya mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat pada para pengawalnya yang mengepung meja itu untuk tidak bertindak, lalu berdiri dan pergi meninggalkan restoran.

"Kuharap ini kali pertama dan terakhir aku harus bicara di hadapan Putra Agung," kata Liam lama setelah Panglima itu meninggalkan restoran.

Menno hanya membalasnya dengan senyum tipis.

Kali pertama...

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang