Yang benar adalah, di masa lalu, kahalu disebut sebagai tanaman dewa.
Bunga dan daun kahalu memiliki karakteristik yang bertolak belakang. Bunga kahalu beraroma sedap, bisa diseduh menjadi teh yang menyehatkan, sementara daun kahalu berbau masam, dan kalau dimakan bisa menyebabkan diare.
Itu di luarnya.
Di tangan seorang tabib yang handal, bunga kahalu bisa menjadi ramuan ajaib, dan daunnya dapat menjadi racun yang mematikan. Kubilang 'di tangan seorang tabib yang handal' karena..
"Tidak mudah membuat racun daun kahalu yang disajikan di nampan Anda," Menno menjelaskan. "Pertama, yang digunakan haruslah daun kahalu segar, tapi itu urusan mudah, karena pedagang biasanya membawa kahalu dalam keadaan utuh, bunga sekaligus daunnya.
"Yang sulit adalah bagian selanjutnya. Daun kahalu harus ditumbuk dan dicampur dengan 12 bahan lainnya - 3 di antaranya hanya ada di Surpara - lalu disimpan selama setidaknya 6 bulan untuk fermentasi. Setelah itu, ramuan yang sudah jadi harus dikeringkan di atas api kecil sambil dicampur dengan beberapa ramuan lagi.
"Bagian terakhir adalah bagian yang romantis," kata Menno sambil tersenyum. "Untuk mengaktifkan racun daun kahalu, ramuan kering tadi diseduh bersama serpihan bunga kahalu yang juga sudah dikeringkan, lalu disajikan."
"Lama tak bersua, kita tak lagi sama," gumam Putra Agung, mengutip sebuah puisi kuno.
"Mana mungkin orang yang meminum ramuan seperti itu tidak mati?" tanya Menno sambil menepuk-nepuk dadanya. "Menceritakannya pun hatiku sudah sakit."
Putra Agung menggelengkan kepalanya.
"Jadi, jangan buang waktu mencari orang yang punya daun kahalu. Kalaupun ada yang punya, bukan dia pelakunya. Selain di dunia ini cuma ada sekitar 5 orang yang bisa membuat racun itu, si pelaku juga pasti sudah menghilangkan semua jejaknya.
"Kalau Putra Agung mau mengabulkan permintaan saya, saya bisa memberi Putra Agung beberapa nasihat."
Putra Agung mengangkat sebelah tangannya. Askar yang duduk beberapa meja dari situ, langsung menghampiri dan membungkuk.
"Beri aku daftar semua karavan Mirchad yang masuk dan keluar Estahr selama satu tahun terakhir. Selain itu, beri juga daftar tabib yang masuk dan keluar Estahr dalam satu tahun terakhir beserta informasi lengkap tentang mereka. Juga, buku penjualan semua toko obat di Estahr dalam satu tahun terakhir. Lakukan diam-diam. Aku tidak mau ada gosip."
Askar melirik Menno, lalu membungkuk dan meninggalkan bar. Putra Agung menoleh pada Menno.
"Masih mau memberi nasihat?"
Tentu tidak, pikir Menno.
"Putra Agung tentu sadar bahwa dengan upaya apapun belum tentu pelakunya tertangkap?"
Putra Agung tidak menjawab. Tentu saja dia tahu. Ada terlalu banyak tangan yang terlibat. Orang yang menyuruh, orang yang menyediakan bahan, orang yang membuat ramuan, orang yang menaruhnya di dalam cangkir - semuanya bisa jadi orang yang berbeda. Kasus terburuk, bisa saja racun tersebut tidak dibuat di Estahr, tapi di luar, lalu dibawa masuk dalam keadaan jadi..
Putra Agung menghabiskan anggurnya, lalu meletakkan beberapa keping uang emas di atas meja.
"Untuk membayar minumanmu malam ini," katanya sambil berlalu meninggalkan meja.
Menno kecewa. Terus lukisanku bagaimana?
***
Panglima duduk bertopang dagu sambil memandangi lukisan kahalu di dinding kamarnya. di kedua sisi menjanya bertumpuk daftar karavan, tabib, dan semua yang dia minta Askar bawakan minggu lalu. Benar. Sudah seminggu, dan belum selesai ia periksa semuanya. Dan benar kata pria itu, kalaupun ia selesaikan, yang ia dapat hanya daftar tersangka, bukan pelaku.
Ia meninggalkan bangkunya dan berdiri di hadapan lukisan itu, lalu mengamatinya dari dekat. Lukisan itu ada di sini karena Putra Agung sendiri dulu penasaran, kenapa pelukis sehebat Menno Karan mau melukis sebuah tanaman sederhana. Neria bahkan pernah bercanda bahwa lukisan itu mirip dengan gambar-gambar yang ada di buku medisnya. Yang benar saja. Penulis buku medis mana yang sanggup membayar Menno Karan untuk menjadi ilustrator bukunya? Uang yang dikeluarkan Putra Agung untuk membeli lukisan selama bertahun-tahun, kalau dikumpulkan, sudah bisa membuat sang pelukis kaya raya.
Kalau tidak salah, nama pria yang ada di penginapan itu juga-
"Panglima." Neria masuk sambil membawa beberapa gulungan kanvas. "Ini dari Liam Eurig. Lukisan."
Melihat meja kerja sang Panglima begitu penuh, ia meletakkan semuanya di atas karpet. Panglima duduk bersila dan mulai membuka gulungan itu satu per satu.
"Dasar pedagang. Lukisan yang dibawanya makin lama makin mahal saja," oceh Neria. "Ini gara-gara Panglima selalu membeli lukisan yang dibawanya, dia jadi besar kepala."
"Seni tidak bisa dinilai dengan uang."
Melihat Panglima begitu senang membuka lukisan-lukisan itu, Neria tidak membantah.
"Oh, Neria," panggil Panglima.
"Hmm?"
"Selain daun kahalu, apa kamu tahu bahan lain yang ada di racun itu?"
"Panglima masih menyelidiki kasus itu? Bukannya pelakunya sudah ditangkap?"
"Dia hanya menyeduh. Aku perlu tahu siapa dalangnya."
"Aku pikir dalangnya orang Mirchad. Mereka kan dari dulu sering mengirim pembunuh bayaran."
Setiap kali ada percobaan pembunuhan terhadap Panglima, memang selalu Mirchad yang pertama kali dicurigai. Negeri tetangga mereka sudah lama menginginkan kota Estahr yang terletak di perbatasan. Demi mendapatkan kota itu, mereka sudah tidak terhitung berapa kali mengirimkan pasukan, menyerang kota, bahkan berupaya membunuh Panglima. Sayang sekali, mereka belum berhasil. Kali terakhir mereka mencoba menyerang kota, Panglima maju berperang dengan Pasukan Fajar dan mengalahkan mereka. Akhirnya, pasukan Mirchad menyerah dan bersedia menandatangani perjanjian damai selama 15 tahun.
Di atas kertas. Walau mereka berjanji tidak akan menyerang Estahr selama 15 tahun, tapi bukan berarti mereka akan membiarkan Panglima Agung hidup tenang. Sebaliknya mereka tahu, jika Panglima Agung terbunuh sebelum gencatan senjata berakhir, mereka punya lebih banyak kesempatan untuk merebut Estahr ketika saatnya tiba nanti. Jadi hampir setiap minggu ada saja upaya pembunuhan terhadap Panglima.
Tapi rencana pembunuhan kali ini agak berbeda. Dari sekian banyak racun di dunia ini, mereka memilih racun yang bahannya harus diimpor dari Mirchad, dan mengeksekusi rencana saat ada karavan dari Mirchad masuk. Untuk apa mereka sengaja mengarahkan kecurigaan kepada diri sendiri? Bisa jadi justru ini pekerjaan orang setempat yang mau mengkambing-hitamkan Mirchad.
"Hmm," Neria mengingat-ingat. "Aroma teh waktu itu sangat kuat, jadi yang jelas tercium di baliknya hanya daun kahalu, itu pun sudah samar. Tapi rasanya aku mencium aroma mali."
Putra Agung mengangguk.
"Oh, tadi Liam bilang ada bonus untuk Panglima, lukisan yang diberikan cuma-cuma."
Neria mengambil salah satu gulungan di karpet dan menyodorkannya kepada Panglima. Berbeda dengan gulungan-gulungan lain, gulungan itu ditandai dengan garis merah.
Putra Agung membuka gulungan itu lalu tersenyum lebar. Neria penasaran dan mengintip.
"Uwaaaah!!" serunya.
Di atas kanvas tampak lukisan seorang pria bertopeng emas mengacungkan pedangnya ke langit malam. Rambut merahnya berkibar tertiup angin, namun seluruh tubuhnya terlihat kokoh, dengan aura membunuh yang menakutkan.
"Luar biasa," ujar Neria. "Panglima, kita bisa taruh lukisan ini di ruang jamuan, supaya semua orang bisa lihat betapa gagahnya Panglima."
Panglima malah membawa lukisan itu ke mejanya, lalu menuliskan sebuah kalimat di atasnya.
"Eh, mau diapakan lukisannya?" protes Neria.
"Dikembalikan," jawabnya, masih sambil tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantasy"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...