26. Parisha

1.9K 297 3
                                    

Bahkan setelah kembali ke kediaman Panglima, Menno dan Panglima Artunis tidak langsung beristirahat, melainkan menghabiskan waktu meminum teh kahalu sambil berbicara soal Mazares.

"Jadi sekarang, apa yang akan Panglima lakukan?" tanya Menno sambil menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyerahkannya kepada Panglima.

Panglima duduk bertopang dagu, sementara tangannya yang satu lagi memainkan cangkir teh yang diberikan Menno.

"Tidak ada," jawabnya akhirnya.

Menno tersenyum mengerti. Meskipun mereka sudah punya beberapa petunjuk bahwa Mazares bekerja sama dengan Hallstein dan berupaya meracuni Panglima dengan racun daun kahalu, tapi mereka belum punya bukti fisik yang kuat. Tidak ada bukti, jadi tidak ada yang bisa mereka lakukan kepada Duta Besar Mazares.

Setidaknya untuk saat ini.

"Aku akan menyusupkan mata-mata ke kediaman Mazares, tapi selain itu, sepertinya belum ada yang bisa kita lakukan," tambah Panglima, menyodorkan cangkir teh yang sudah kosong kepada Menno. Menno tanpa banyak komentar mengisinya kembali.

"Lalu soal hubungannya dengan Hallstein, apa Panglima tidak khawatir?"

Artunis menggeleng.

"Duta Besar Mazares tidak memiliki akses ke informasi militer. Semuanya aku sendiri yang pegang. Yang dia miliki adalah informasi tentang kota ini - itu pun bukan informasi rahasia. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Menno mengernyitkan dahinya. Entah kenapa dia punya firasat buruk mengenai hal ini. Hallstein tidak mungkin berhubungan begitu erat dengan Mazares kalau dia tidak benar-benar bermanfaat. Jadi, apa sebenarnya yang diinginkan Hallstein dari Mazares?

Panglima mengambil beberapa lembar kertas dari mejanya dan mulai menulis, merapikan informasi yang sudah dia dapatkan mengenai Mazares agar lebih mudah dicari nantinya. Tentu saja sambil menanyakan beberapa hal kepada Menno, terutama berkaitan dengan investigasi Menno malam barusan.

Sesaat setelah Panglima menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan kertas itu, suatu hal muncul dalam pikirannya.

"Kenapa dia tidak mencoba lagi?" tanyanya lebih kepada diri sendiri daripada kepada Menno.

Menno melirik Panglima, memintanya mengulang pertanyaannya kembali.

"Kenapa setelah gagal meracuniku sekali, dia tidak mencoba lagi?"

Menno mengangkat bahu.

"Tergantung. Menurut Panglima, apa motif Mazares bekerja sama dengan Hallstein dan meracuni Panglima? Apa keuntungannya?"

Panglima kembali duduk dan menikmati teh miliknya. Ia berpikir dalam hati, apa sebenarnya yang diinginkan oleh Duta Besar. Duta Besar tidak punya kekuatan militer ataupun kemampuan untuk menjadi panglima, jadi bukan Pasukan Fajar alasannya. Rasanya, dia juga tidak punya dendam pribadi dengan Artunis secara langsung.

"Mungkin dia punya masalah dengan Sang Agung," gumam Artunis.

"Tidak menjelaskan kenapa dia tidak lagi mencoba meracuni Panglima."

Benar juga. Apa mungkin Estahr alasannya? Mazares sudah tinggal di Estahr sebelum Artunis ditugaskan ke sana. Sebelumnya memang sempat ada pembicaraan bahwa Mazares akan menjadi Walikota Estahr, namun itu semua berubah ketika Artunis datang dan mengambil alih administrasi Estahr dan Pasukan Fajar sekaligus dari Panglima sebelumnya.

Saat itu Estahr bukanlah kota yang maju. Menjadi Walikota Estahr tidak ada untungnya bagi siapapun. Tapi sekarang, Estahr adalah kota perdagangan yang sangat besar, mungki lebih besar dari kota perdagangan mana pun di Surpara. Pendapatan Walikota yang didapatkan dari persentase pajak saja sudah cukup untuk membuat seseorang kaya raya. Itu belum termasuk gaji yang merupakan hak Walikota, dan kedudukan serta kekuasaan yang bisa diperoleh dengan jabatan itu.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang