33. Dua Orang

1.6K 289 11
                                    

Kalau ditanya sekarang, Panglima juga tidak terlalu paham mengapa dia akhirnya harus mengantar Parisha pulang. Menno dan Emiran membawa Liam pergi dengan kereta kuda, dan berkeras bahwa Panglima dan Parisha sebaiknya tidak terlalu dekat dengan penderita wabah.

Mengapa bukan Menno yang mengantar Parisha?

Karena dia harus membawa Liam dan mengobati anak itu.

Lagipula, mana mungkin Panglima membiarkan Menno mengantar Parisha berdua saja?

Mengapa bukan Emiran yang mengantar Parisha?

Entahlah.

Panglima tidak sampai hati membiarkan Parisha pulang sendiri. Jadi di sinilah dia sekarang, berjalan berdampingan menuju kediaman Mazares hanya untuk mengantar anak perempuannya pulang.

"Putra Agung, terima kasih sudah bersedia mengantar saya pulang," ujar Parisha memulai percakapan.

Panglima menggeleng dan dengan sopan mengatakan bahwa sudah sepantasnya dia melakukan hal tersebut. Panglima bukan tipe orang yang membiarkan anak perempuan pulang sendirian.

Walau Panglima merasa memang sebaiknya bukan dirinya yang mengantar gadis ini pulang, mengingat apa yang terjadi setahun yang lalu, sepulangnya dia dan Menno dari kediaman keluarga Mazares.

Waktu itu Parisha memberinya sebuah hadiah, kotak kayu berukir yang tampak berharga dan indah. Panglima yang disodori hadiah tersebut di depan Duta Besar tidak mau menolak dan mempermalukan Parisha. Namun hari berikutnya, Panglima mengirim balik kotak tersebut tanpa dibuka.

Bukan itu saja, kotak tersebut kembali dengan secarik kertas bertuliskan:

Ia yang tidak bisa memberi, tidak berani menerima.

Yang Panglima tidak tahu adalah Parisha menangis bermalam-malam karena kalimat singkat itu. Separuh hatinya ingin menyerah saja, namun separuhnya lagi tidak bisa menghapus bayangan Putra Agung dari pikirannya.

"Sejak bertahun-tahun lalu, saya selalu mengagumi Putra Agung," lanjut gadis itu. Tubuh Putra Agung menegang. Ia memiliki firasat bahwa pembicaraan ini bukan sekadar obrolan ringan. "Saat ini pun, perasaan saya belum berubah."

"Nona Parisha-"

"Saat Putra Agung mengembalikan pemberian saya, disertai dengan pesan tersebut, sejujurnya saya tidak tahu harus berkata apa. Tapi saya tahu pasti saya tidak akan menyalahkan ataupun membenci Putra Agung.

"Putra Agung bilang tidak bisa memberi saya apa yang saya inginkan. Saya tahu bahwa masa depan Putra Agung - termasuk pendamping Putra Agung - akan ditentukan oleh Sang Agung, saya tidak berani berharap banyak. Seandainya saya bisa mendapat sebagian kecil saja hati Putra Agung, itu sudah cukup bagi saya."

Mendengar itu semua, perasaan Artunis tidak karuan. Apa Parisha baru saja mengatakan dia tidak keberatan menjadi selir Putra Agung, asalkan bisa mendapatkan sebagian hatinya? Pembicaraan macam apa ini? Siapa yang memberi ide semacam ini kepada gadis semanis Parisha?

Setiap kali mereka bertemu, Artunis hanya bersikap seperti bagaimana pria pada umumnya - sopan namun tetap menjaga jarak. Dia juga tidak pernah menerima pemberian dari Mazares agar ayah dan anak itu tidak mendapat pesan yang salah.

Soal catatan kecil yang ia berikan kepada Parisha, bukankah sudah jelas bahwa Artunis tidak punya perasaan apapun pada gadis itu? Atau mungkin kali ini, ia harus menjelaskan isinya dengan lebih gamblang.

Mereka sudah berada di depan gerbang kediaman Mazares ketika Putra Agung mengeluarkan suaranya.

"Nona Parisha, ada banyak sekali hal yang perlu saya jelaskan kepada Nona, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi biarkan saya mulai dari satu hal ini. Ia yang tidak bisa memberi, tidak berani menerima. Yang tidak bisa saya berikan, Nona, adalah hati saya."

***

Ketika Menno membuka pintu ruangan Panglima malam itu, wangi anggur merebak menusuk indra penciumannya. Pemandangan di hadapannya adalah seorang panglima dengan rambut merah yang terurai menopang dagu dengan satu tangannya dan menegak anggur dengan tangan lainnya.

Agak mengkhawatirkan, tapi tetap, seindah lukisan. 

Tersenyum mungkin bukanlah reaksi seorang teman yang baik, tapi selain itu, Menno tidak bisa memikirkan hal lain yang bisa ia perbuat. 

Lagipula, ia tidak yakin saat ini statusnya di mata Panglima adalah seorang 'teman'.

"Mau menemaniku minum?" ujar Artunis sambil mengacungkan botol anggurnya. 

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Menno sambil mengambil tempat di hadapan Panglima dan menerima botol yang ia sodorkan. Menno dengan refleks menarik kembali tangannya ketika jemarinya tanpa sengaja bersentuhan dengan punggung tangan Panglima.

Panglima menaikkan alisnya.

"Botolnya panas," jawab Menno beralasan sebelum kembali menerima botol tersebut. Bukan alasan yang salah, tapi Menno tidak yakin Panglima akan percaya.

"Kamu tidak biasanya takut benda panas," komentar Panglima, mengingat bagaimana Menno terbiasa meramu obat di atas api tanpa terlihat kesulitan sedikitpun.

"Kamu tidak biasanya minum anggur panas saat udara sehangat ini," balas Menno tidak mau kalah. Ia tahu Panglima minum hanya karena dia sedang ada masalah.

Panglima mendesah, tidak yakin harus membalas apa. Menno, walaupun curiga hal ini berhubungan dengan Parisha, menahan diri. Selain karena urusan hati Panglima bukan urusannya, Menno juga memiliki hal-hal lain untuk dikhawatirkan.

"Bagaimana keadaan Liam?" tanya Panglima, entah karena tulus mengkhawatirkan Liam, atua karena ingin mengalihkan pembicaraan.

"Nyawanya tidak terancam," jawab Menno. "Terima kasih sudah mengabulkan permintaanku dan mengizinkannya dirawat di barak."

Panglima menggeleng, lalu kembali menegak anggurnya.

"Setidaknya permintaanmu bisa kukabulkan," jawabnya lirih.

Menno melirik Panglima dan sekarang mulai merasa khawatir. Orang dengan status dan tanggung jawab seperti Panglima, tidak boleh minum terlalu banyak.

"Panglima, kalau pekerjaanmu sudah selesai, mungkin sebaiknya kamu tidur sekarang."

Panglima mengangguk, lalu kembali meneguk anggurnya.

"Aku sedang berusaha."

Menno menyipitkan matanya. Terakhir kali ia melihat Panglima seperti ini, Panglima juga tampaknya sedang banyak pikiran.

Apa jangan-jangan...

"Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Parisha?" tanya Menno tiba-tiba.

Panglima menjawabnya dengan lirikan tajam. Menno semakin curiga.

"Jangan-jangan kalian...menghabiskan malam bersama?"

Panglima kontan menyiram Menno dengan anggur di tangannya. Matanya penuh amarah, dan wajahnya merah padam karena emosi, dan karena minuman keras.

"Kamu pikir aku orang macam apa?!" bentaknya.

Menno, yang baru pertama kali dibentak Panglima seperti ini, bahkan tidak bisa menemukan kata-kata untuk meminta maaf.

"Kalian berdua sama saja - punya tampang, tapi tidak punya akal sehat!"

Menno masih diam - bukan karena syok, tapi karena tidak ingin menambahkan minyak ke dalam api dan menyulut amarah Panglima lebih dari ini.

Namun secepat kemarahan Panglima naik, secepat itu pula kemarahannya turun. Dia kembali bertopang dagu dan meminum anggurnya.

Melihat Panglima kembali tenang,  Menno ragu-ragu memuaskan rasa ingin tahunya.

"Panglima ditolak oleh Nona Parisha?" tanyanya pelan.

Tidak ada reaksi dari sang rambut merah.

"Ah!" katanya, seperti baru tersambar ide. "Panglima menolak Nona Parisha?"

Yang ditanya hanya menjawab dengan lirikan. Lalu ia kembali minum.

"Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng," gumamnya lirih.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang