10. Panglima Hallstein

2.8K 358 4
                                    

"Aku bosan sampai mau mati rasanya," Menno mengeluh sambil berjalan-jalan di tengah Estahr. Sudah beberapa minggu berlalu dan Panglima Agung belum juga kembali ke Estahr. Liam mendapatkan informasi bahwa Panglima kemungkinan punya banyak kegiatan di Nisaya, dan belum pasti kapan kembalinya.

"Eh, Liam," panggil Menno sambil menyikut Liam, "Bagaimana kalau kita susul saja Panglima ke Nisaya?"

Liam memukul Menno tanpa pikir panjang.

"Paman sudah gila!" Menno menatapnya tajam. "Maksudnya, Menno, tidak ada orang asing yang boleh menjejakkan kaki di tanah Surpara. Apa kamu tidak tahu itu?"

Menno mengerutkan wajah. Dia lupa, bahwa Surpara adalah kerajaan yang luar biasa tertutup. Kota Estahr adalah batas terakhir mereka bisa tinggal. Di balik Estahr, tidak ada satu orang asing di Surpara - kecuali duta besar yang dikirim untuk tujuan diplomasi.

Alasan kenapa kota Estahr bisa menampung orang asing adalah sistem dua gerbang yang dimilikinya. Gerbang pertama di Utara adalah gerbang yang menuju Mirchad. Dari situlah semua karavan pedagang datang dan pergi. Gerbang kedua adalah gerbang Selatan yang berada tidak jauh dari kediaman Panglima. Gerbang itu menuju Surpara, dan selalu dijaga siang dan malam. Jangankan orang, kucing pun tidak bisa masuk tanpa izin.

"Jadi aku hanya bisa pasrah menunggu dia pulang?" tanya Menno putus asa.

"Kan ada aku," hibur Liam. "Kita bisa jalan-jalan begini, melihat-lihat kota, sambil kamu mencari inspirasi. Bukankah itu menguntungkan buat kita berdua?"

"Aku sudah hafal seantero kota ini. Kalau kita belok ke kiri, nanti akan ada toko obat paling lengkap di kota ini. Di kanan, ada toko alat lukis. Kalau kita jalan terus, ada rumah Duta Besar Mazares dan Nona Parisha yang cantik itu kan?"

Liam sudah tidak tahu mau berkata apa lagi. Kalau mereka berjalan terus sekarang, memang mereka akan melewati kediaman Duta Besar Mazares. Ia tinggal di Estahr agar lebih mudah bila ditugasi pergi ke negeri tetangga untuk tugas kenegaraan. Meski begitu, baik Duta Besar maupun putrinya jarang terlihat di kota itu. Memang orang-orang dengan kedudukan seperti mereka tidak perlu keluar rumah untuk melakukan apapun - semuanya dilakukan oleh pelayan. Tapi karena Putra Agung begitu sering berada di luar kediamannya, dan sering terlihat di berbagai tempat di kota, Duta Besar dan putrinya terasa tidak benar-benar ada di kota itu.

Liam menyenggol Menno.

"Eh, kok ada kereta kuda di depan rumah mereka?"

"Mana aku tahu?" jawab Menno acuh tak acuh.

"Eh, eh, sepertinya itu bukan orang Surpara."

Menno mendongak. Memang benar, orang yang keluar dari kereta tersebut dan masuk ke dalam kediaman duta besar tidak terlihat seperti orang Surpara. Ketika orang terakhir keluar, Menno melihat sekilas dan langsung membalikkan badannya.

"Mudah-mudahan tidak kelihataaaaaann..," ujarnya seperti merapal mantra sambil berjalan menjauh ke arah berlawanan.

"Kenapa sih Paman tiba-tiba?" bisik Liam setelah ia menyusul.

Menno membekap mulut Liam sampai ia meronta karena sesak.

"Aku serius. Jangan panggil 'Paman, Paman'."

Liam terengah-engah setelah 'dibebaskan'.

"Siapa memangnya itu? Kamu kenal?"

Menno meringis.

"Kalau mataku tidak salah, itu Panglima Hallstein dari Mirchad."

Panglima Hallstein adalah orang penting di Mirchad - mungkin orang kedua setelah Raja Mirchad sendiri. Dia bukan hanya Panglima dari pasukan paling kuat di Mirchad, tapi juga adalah kakak ipar sang Raja - adik perempuannya adalah Ratu di negeri tersebut.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang