29. Wabah

1.7K 294 3
                                    

Wabah?

Adanya wabah di musim panas yang seperti ini adalah hal terakhir yang diharapkan Menno. Lagipula, ada wabah bagaimana? Bukannya kemarin semua aman tanpa ada masalah?

"Coba ceritakan pelan-pelan," perintah Menno sambil menyuruh Liam duduk. Menno meraih gelas dan memberinya air untuk diminum. Liam langsung menyambarnya dan menegaknya sampai habis.

"Pagi ini saat sarapan, aku sadar bahwa banyak orang tidak ada di restoran, termasuk orang-orang yang menginap bersamaan denganku. Aku bertanya kepada seorang pelayan di sana, katanya banyak yang sarapan di kamar karena sedang sakit. Aku juga tidak berpikir banyak, sampai aku melihat salah seorang pelayan tiba-tiba pingsan saat sedang membawa pesanan. Lalu pelayan-pelayan lain di sekitarnya berbisik-bisik, mengatakan bahwa mungkin dia tertular orang-orang yang sakit di atas."

Menno mengernyitkan dahinya, mencerna kata-kata Liam dengan teliti.

"Ada penyakit yang menular, tidak selalu berati wabah."

Liam menggenggam lengan Menno lalu menatapnya lekat-lekat.

"Setengah tamu penginapan mengalami sakit yang sama di saat bersamaan, dalam satu hari, Paman," katanya bersungguh-sungguh.

"Bagaimana gejalanya?"

Liam menarik nafas sambil berupaya mengingat-ingat apa saja yang terjadi di penginapan.

"Pelayan yang aku lihat itu tiba-tiba jatuh pingsan lalu tidak sadar. Wajahnya merah seperti sedang demam. Aku tidak berani masuk ke kamar tamu yang lain sama sekali, yang jelas, aku mendengar seperti suara-suara lirih keluar dari kamar-kamar itu."

Menno membuang nafasnya kasar. Gejala yang disebutkan Liam memang mencurigakan, apalagi kalau banyak orang sekaligus mengalami hal yang serupa.

"Baiklah kalau begitu," kata Menno sambil bangkit berdiri. "Temani aku ke sana memeriksa mereka."

***

Panglima memacu kudanya kencang-kencang hingga sampai ke gerbang kota. Dia langsung mengatur pasukan dan meninggalkan perkemahan begitu mendapat kabar bahwa terjadi wabah di Estahr. Di pintu gerbang, Askar membungkuk memberi salam, lalu segera menyampaikan laporannya.

Kemarin, setelah Liam mendatangi Menno dan memintanya memeriksa orang-orang di penginapan, Menno segera bertindak cepat. Seperti kata Liam, semua orang di penginapan mengalami gejala yang sama pada waktu yang bersamaan. Menno tidak menghabiskan banyak waktu, dan segera menghubungi Askar. Dia menjelaskan situasinya kepada Askar dan mengatur agar tindakan pencegahan segera dilakukan, dan agar Panglima segera diberitahu.

"Tuan Askar, walaupun kita belum tahu pasti, ada kemungkinan terjadi wabah di kota ini. Tolong karantina penginapan - jangan biarkan seorang pun masuk dan keluar. Saya akan memeriksa tempat-tempat lain juga."

Askar, walaupun tidak suka diperintah oleh orang yang bukan Panglimanya - apalagi bukan warga negaranya - mengerti bahwa solusi Tuan Menno Karan masuk akal, dan melaksanakannya.

Menno segera memeriksa beberapa tempat umum lainnya - tempat yang biasanya menjadi lokasi rawan penyebaran penyakit. Benar saja, di penginapan, restoran, pasar, dan bahkan beberapa tempat tinggal penduduk, orang-orang mendadak jatuh sakit. Menno bahkan melihat beberapa orang yang sedang berjalan tiba-tiba pingsan. Cuaca yang luar biasa panas membuat keadaan menjadi lebih sulit bagi penduduk Estahr yang terkena gejala sakit kepala dan demam tinggi.

Para pengawal yang tidak sedang bertugas menjaga kota serta para pengawal yang bertugas patroli segera dialihkan tugasnya. Mereka mendaftar orang-orang yang sakit, lalu menutup tempat-tempat yang dicurigai menjadi pusat penyebaran.

Menno segera mendatangi toko-toko obat, memastikan bahwa bukan saja tanaman obat tersedia dalam jumlah cukup, tapi juga memastikan bahwa tidak ada orang yang sengaja membeli banyak untuk kepentingannya sendiri.

Dalam satu hari kota Estahr yang biasanya ramai dengan kegiatan para penduduknya, tiba-tiba dicekam kecemasan.

"Terima kasih Askar, aku tahu kamu selalu bisa diandalkan," ujar Panglima saat Askar selesai menyampaikan laporannya.

"Panglima, walaupun saya tidak suka mengakuinya, Tuan Menno Karan-lah yang mengatur ini semua," jawab Askar. "Saya hanya mengikuti petunjuknya."

"Kalau begitu terima kasih sudah mengikuti petunjuk Menno walaupun dia menyebalkan."

Askar menunduk memberi hormat, lalu mengikuti Panglima memasuki kota.

"Taruh semua laporan-laporan yang berkaitan dengan wabah di meja kerjaku," perintah Panglima.

"Lapor Panglima, semua laporan berkaitan dengan hal ini ada di tangan Tuan Menno Karan.

"Kalau begitu tunjukkan di mana dia sekarang."

***
Di Vasa, Hallstein tersenyum penuh kemenangan saat kabar tentang merebaknya wabah di Estahr mencapai telinganya. Kalau Putra Agung Artunis bermain-main dengan stok ransumnya, dan mengakibatkan Pasukan Mirchad harus mundur selama lebih dari satu tahun, kali ini dia menemukan cara untuk membalas Putra Agung dengan cara yang lebih efektif. Kejam mungkin, tapi efektif.

Dan balas dendam itu memang manis.

"Bagaimana keadaan Estahr sekarang?" tanyanya pada prajurit yang memberikan laporan.

"Walaupun Putra Agung sedang tidak berada di tempat tapi Askar segera mengendalikan situasi."

"Askar?"

"Dia adalah ajudan Putra Agung," jawab prajurit itu. "Saya juga tidak menyangka dia sesigap itu."

Hallstein tidak terlalu ambil pusing. Yang dia inginkan hanya wabah yang cukup besar untuk membuat penduduk kota Estahr resah. Ketika penduduk resah, mereka akan membuat keributan, atau bahkan mengosongkan kota. Setelah kota Estahr lemah, baru dia akan bergerak menyerang.

Soal bagaimana dia bisa membuat setengah penduduk kota sakit, yah, sepertinya Putra Agung Artunis tidak akan menemukan jawabannya bahkan di liang kubur. Kalaupun Putra Agung menemukan jawabannya, apa yang bisa dia perbuat? Tidak ada. Pada akhirnya, Estahr akan jatuh - ke tangan Hallstein.

"Ada kabar dari Mazares?" tanyanya lagi.

"Belum ada, Panglima. Tapi dia melaksanakan perintah Panglima sesuai perjanjian."

Hallstein mengangguk. Memiliki Mazares di Estahr bisa dibilang menguntungkan sekaligus merepotkan. Menguntungkan karena dia punya uang dan kedudukan, serta ambisi yang membuatnya bermanfaat. Merepotkan karena orang seperti dia susah diatur.

Seperti ketika dia menolak mencoba membunuh Panglima dan malah mengajukan memanfaatkan putrinya untuk mendapatkan kedudukan.

Hallstein tidak peduli dengan proyek jangka panjang seperti itu. Kenapa harus menunggu hingga Artunis menjadi penguasa Surpara jika dia bisa mendapatkan Estahr secepatnya?

"Tetap awasi Mazares. Jangan sampai dia macam-macam."

Prajurit itu membungkuk cepat.

"Siap Panglima!"

Hallstein menarik nafas sambil membaca laporan yang lebih detil tentang Estahr. Laporan soal bagaimana mereka berupaya menjaga ekonomi kota tetap stabil selama setahun terakhir serta bagaimana mereka menghadapi wabah sekarang. Ada sesuatu di laporan itu yang membuat Hallstein tidak tenang, tapi dia sendiri tidak yakin apa.

Hallstein memang tidak pernah peduli tentang soal administrasi ataupun soal pemeliharaan. Dia adalah seorang prajurit - penakluk. Dia tahu caranya menyerang dan menghancurkan, caranya mengancam dan menaklukkan. Mengurus sesuatu yang sudah berada di tangannya adalah hal yang membosankan.

Mungkin perasaan mengganjal yang ada di hatinya ini hanya karena Artunis mengatur Estahr dengan cara yang mirip seperti orang itu mengelola Stellegrim bertahun-tahun lalu.

Sampai Hallstein menyingkirkannya.

Seperti Hallstein akan menyingkirkan Artunis sekarang.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang