34. Bukan Wabah

1.6K 291 3
                                    

Matahari sudah meninggi ketika Panglima menemui Menno keesokan harinya. Menyelesaikan kesibukan pagi harinya agak lebih sulit, mengingat ia masih merasakan efek minum dan tidur larut malam sebelumnya. Untungnya tidak seorang pun menyadari hal itu. Dari luar, Panglima Artunis tetap seperti biasa - pria panutan semua orang.

Di ruangan tempat Menno bekerja tampak pria itu dengan begitu banyak gelas berisi air di hadapannya. Neria duduk manis di seberang Menno, seperti seorang murid yang tengah belajar dari gurunya. Dari raut wajah Menno, tampaknya pria itu sedang serius bekerja, bukan sekadar bermain air seperti yang Panglima duga sebelumnya.

"Jadi sedang apa kalian?" tanya Panglima sambil duduk bersila di sebelah Neria.

"Menno meminta orang mengambil sampel air dari berbagai tempat di Estahr, lalu membawanya ke sini. Aku membantunya memberi label di setiap gelas dan menyusunnya sesuai letak lokasi pengambilan air tersebut di Estahr."

Panglima mengangguk tanda mengerti.

"Kenapa?" tanyanya, kali ini kepada Menno.

"Aku sedang mencari tahu dari mana asal wabah di kota ini," jawab Menno tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk menyusun gelas-gelas air. Panglima, yang lebih hafal tata kota, membantu tanpa disuruh, menjadikan pekerjaan Menno lebih mudah dan lebih cepat selesai. 

"Kamu pikir air penyebabnya?"

"Hanya curiga," katanya singkat. "Panglima sadar 'kan bahwa penyebaran wabah di kota ini aneh?" 

Panglima rasa Menno sudah pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Wabah bergerak dari utara kota, karena gerbang utara memang adalah tempat orang keluar masuk dari berbagai penjuru dunia ke Estahr. Kemudian wabah menular di tempat-tempat paling padat penduduk, itu juga biasa. Tapi Panglima begitu sibuk dengan pengawasan kota, karantina, dan urusan-urusan yang melibatkan kemiliteran sehingga tidak terlalu memperhatikan. 

"Beberapa tempat-tempat yang seharusnya rawan penularan - seperti rumah sakit dan barak tentara - malah tidak tersentuh wabah sama sekali. Jadi aku mencari tahu apa yang membedakan tempat-tempat ini."

"Bagaimana hasilnya?" tanya Panglima. 

Menno tidak menjawab. Ia hanya mengambil sebuah mangkuk kecil berisi cairan pekat dan memasukkan setetes isi mangkuk tersebut ke setiap gelas di hadapannya. Warna air di masing-masing gelas berubah menjadi kekuningan, namun dengan gradasi warna yang berbeda - gelas-gelas yang berada paling dekat dengan Menno berwarna kuning muda, sementara gelas-gelas yang paling dekat dengan Neria dan Panglima berwarna kuning kecoklatan.

"Warnanya tidak sama," kata Neria sambil membungkukkan badannya agar bisa melihat lebih jelas. "Menno, kalau hasilnya begini berarti apa artinya?"

Menno menghela nafas panjang.

"Artinya air yang warnanya kecoklatan adalah air yang tercemar. Orang yang mengkonsumsinya akan sakit."

Panglima tiba-tiba tersentak, lalu berdiri. 

"Aku mengerti! Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya sebelumnya?" katanya tiba-tiba.

Menno menoleh kepada Panglima dengan wajah kesal. 

"Kenapa Panglima tidak pernah bilang bahwa ada dua sumber air di kota ini?"

***

Kota Estahr yang tersohor memiliki banyak rahasia. Sistem pengairan adalah salah satu di antaranya. Bila sebagian besar kota di Surpara memiliki satu sumber air untuk mengairi kota, Estahr punya dua.  

Sumber air pertama berasal dari pegunungan yang berada di sebelah utara kota. Di pegunungan itu juga-lah Pasukan Fajar berkemah. Sumber air dari pegunungan tersebut deras dan hampir tidak pernah kering - cukup untuk mengairi kota Estahr maupun Vasa dan desa-desa kecil di sekitarnya. Sumber air ini dipakai untuk mengairi bagian utara kota - pasar, penginapan, alun-alun, dan rumah penduduk yang terletak di sana. 

Sumber air yang kedua adalah rahasia militer yang hanya diketahui oleh segelintir orang - Panglima Artunis salah satunya. Sumber air tersebut berasal dari Surpara - di balik tembok selatan. Sumber air ini dipakai untuk mengairi bagian selatan kota - rumah Putra Agung, barak tentara, rumah sakit, dan beberapa tempat lain yang kebetulan berlokasi di bagian paling selatan kota, seperti misalnya toko obat yang Menno gunakan sebagai tempat produksi obat sekarang. 

Sejak awal, Panglima memerintahkan agar kedua saluran air ini dibuat untuk berjaga-jaga apabila semasa perang, musuh memotong jalur persediaan air mereka di utara. Kalau itu terjadi, kota Estahr bisa menggunakan sumber air dari selatan dan kota itu tetap tidak akan kekurangan air. 

Tapi kali ini, ketika wabah menyerang, Panglima sama sekali tidak menduga bahwa air-lah penyebabnya. Harus diakui, kali ini dia lengah. 

"Aku akan mengirim orang untuk memeriksa aliran sungai di utara," kata Panglima sambil menggelengkan kepalanya. "Kita harus temukan sumber pencemarannya."

"Panglima, bukankah kalau sumber pencemarannya berasal dari luar kota, sekarang kita sudah mendengar kabar banyaknya binatang yang mati gara-gara penyakit yang sama?" kata Menno tenang.

"Maksudnya pencemaran airnya dimulai di dalam kota?"

Menno mengangguk. Panglima mengernyitkan dahinya. Ia masih tidak mengerti bagaimana pencemaran air bisa terjadi di dalam kota tanpa satu pun anak buahnya yang mengetahui hal tersebut. 

"Apa kamu tahu apa pencemarnya?"

Menno menyeringai sambil menunjuk satu gelas air yang berwarna kuning muda di antara gelas-gelas berisi air kecoklatan.

"Maksud Panglima, siapa pencemarnya?"

***

"Nona Parisha, biar saya bantu." 

Emiran bergegas menghampiri Parisha yang sedang membawa tempat obat. 

"Maaf, Panglima. Rasanya tidak pantas kalau Panglima harus bersusah payah mengerjakan perkerjaan seperti ini," ujarnya menolak. Tapi Emiran berkeras.

"Ah, tidak pantas juga kalau saya membiarkan seorang gadis membawa beban berat sendirian."

Parisha menggeleng. 

"Tidak berat. Ini hanya tempat kosong."

Berat atau tidak berat, pada akhirnya tetap Emiran yang membawa wadah-wadah itu. Mereka berdua berjalan menyusuri kota hingga akhirnya Emiran melihat sebuah pohon yang cukup rindang, dan menawari Parisha untuk duduk beristirahat di bawahnya sebentar. 

"Estahr di musim panas memang bukan main-main," kata Emiran sambil mengusap peluhnya. "Nona luar biasa sekali, sampai sejauh ini membantu penduduk walau udaranya sepanas ini."

Parisha tersenyum dan menunduk.

"Tapi pada akhirnya saya tetap harus merepotkan Panglima, membawakan barang-barang sebanyak itu."

Emiran menggeleng cepat. 

"Saya di sini hanya untuk mengunjungi Putra Agung. Tapi ternyata kesibukannya lebih banyak daripada yang saya duga. Akhirnya, saya tidak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menganggur sepanjang hari. Jadi saya justru senang bisa membantu Nona Parisha."

Emiran memperhatikan Parisha beberapa saat. Gadis itu tampak lemas dan sayu. Di bawah matanya terdapat kantung mata kehitaman, dan matanya agak merah. 

"Nona Parisha, apa Anda kurang sehat?"

Parisha menggeleng.

"Ah, tidak, saya baik-baik saja. Kenapa Panglima bertanya?"

"Mata Anda tampak kemerahan. Apa Anda perlu minum?" Emiran menyodorkan temapt minumnya kepada Parisha. 

"Tidak, saya sudah bawa dari rumah." Semenjak wabah merebak di kota, Mazares mengingatkan Parisha untuk tidak makan dan minum di luar rumah. Akhirnya, Parisha hanya bisa membawa kantung air sendiri agar bisa melakukan tugasnya seharian di luar rumah.

"Nona, kalau Anda kurang sehat, saya bisa mengantar Anda ke tempat Tuan Menno untuk diperiksa."

"Tidak apa-apa," kata gadis itu sambil tersenyum. "Saya rasa kali ini, dibawa ke mana pun, keadaan saya tidak akan menjadi lebih baik."

Emiran merasakan kesedihan dalam kata-kata gadis itu, dan berusaha menghiburnya.

"Apa Nona bersedia menjelaskannya kepada saya?" 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang