64. Hukuman yang Pantas

1.6K 279 10
                                    

"Tidak semua topeng kasat mata, Nona"

Artunis melepaskan tangannya dari bahu Menno, lalu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menyambar kembali minuman yang sudah disingkirkan Menno sebelumnya.

"Menno Karan, kalau kamu mau bilang bahwa dirimu sebenarnya seorang wanita, sudah terlambat. Aku tidak akan percaya."

Menno tergelak.

"Tentu saja tidak. Mana mungkin pria tampan sepertiku ternyata seorang wanita? Aku hanya tidak mau dirimu bernasib sama seperti Nona Parisha, jatuh hati pada sebuah ilusi dan menyesal di kemudian hari."

"Menno Karan," ujar Panglima setelah diam beberapa saat, "Aku dan Parisha tidak sama."

Panglima membuka botol baru dan kembali menegak isinya, menuai tatapan khawatir dari Menno.

"Dia menyukai Putra Agung Artunis, sebuah ilusi belaka. Aku jatuh hati pada orang yang menyelamatkanku dari racun, menyembuhkan kotaku dari wabah, mengobati luka-lukaku, dan melindungiku dari bahaya."

Mungkin karena minum anggur malam-malam, wajah Menno terasa panas, dan dadanya berdebar.

"Jawab aku Menno, apa aku jatuh hati pada sebuah topeng?"

Di bawah sinar bulan, binar mata Panglima lagi-lagi tertuju padanya. Pandangannya tidak lembut, tapi tajam menyelidik, seolah memaksa Menno mengatakan kebenaran, dan hanya kebenaran. 

"Te-tentu saja-"

Siiing!

Suara desingan seketika membuat Panglima dan Menno siaga, diikuti dengan sebilah belati yang tertancap kuat di atas meja. Sesosok bayangan hitam berlari kencang dari kejauhan menuju ke arah mereka berdua. Di belakangnya, bayangan hitam lain berdiri santai, seakan tidak terlalu peduli.

"MENNO KARAN!" seru bayangan itu, yang sosoknya kini semakin jelas. "Di mana Panglima Agung Artunis?"

Mengenali suaranya, Menno berdiri mendekat.

Askar.

***

"Di mana Panglima Agung Artunis?" serunya lagi saat Menno tidak segera menjawab. 

Askar berdiri di hadapan Menno dengan kuda-kuda, siap menyerang kapan saja. Teman yang mendampingi Askar - siapa lagi selain Bala - kini juga sudah berada di sisinya, mengangguk kecil pada Menno sebagai ucapan salam. Bala melirik orang yang masih duduk tenang di kursinya di belakang Menno, orang yang sebenarnya Askar cari-cari. Tentu saja, bagi Askar yang belum pernah melihat Panglima tanpa topeng, pria berambut hitam yang sedang duduk tersebut hanya sekadar orang tidak dikenal.

Bala menyenggol bahu Askar, lalu menunjuk Panglima. Askar tertegun sejenak sebelum akhirnya mengerti maksud Bala.

"Panglima..," gumamnya lirih.

"Ada apa Askar?" jawab Artunis dingin, tidak terkejut sedikitpun.

Askar, meskipun belum pernah melihat wajah Panglima tanpa topeng, kenal betul suaranya. Dia berjalan lurus melewati Menno, menuju Panglima dan berlutut di hadapannya. 

"Panglima," katanya dengan tangan terkepal di dada, "Saya senang Anda baik-baik saja."

Ekspresi wajah Artunis tidak berubah.

"Apa kamu berlutut di hadapanku hanya untuk memberi salam?"

Askar berlutut di hadapan Panglima karena lega - setelah mengkhawatirkan Panglima selama berminggu-minggu, dia akhirnya menemukan Panglimanya. Tapi mata tajam Panglima  memang tidak bisa dibohongi. Askar tidak berlutut hanya karena perasaan senang, tapi juga karena perasaan bersalah yang membebani hatinya.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang