42. Tidak Sempat

1.6K 287 3
                                    

"Terimakasih banyak Menno, aku tidak menyangka bisa melihat wajahnya lagi."

Seorang nenek-nenek berambut putih duduk di sebelah seorang pria berambut hitam lebat sambil memandangi sebuah lukisan di dinding. Dari penampilannya usia nenek itu tidak mungkin kurang dari 70 tahun. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Menno - kalau ada orang yang melihat, mereka berdua tampak seperti ibu dan anak yang sedang mengenang masa lalu.

"Sudah lama sekali aku tidak melihat Rou," ujar Menno sambil menghela nafas. "Siapa sangka sama sekali tidak sempat bertemu lagi."

Nenek itu memukul pundak Menno keras-keras hingga Menno mengaduh dan mengusap-usap bekas pukulannya.

"Kamu suka lupa kami berdua Putrabumi. Kalau kamu tidak berkunjung sekarang, mungkin kamu tidak akan melihatku lagi juga."

Menno cuma menyeringai.

"Sudah tua, tetap saja tenaganya seperti kuda," gerutunya.

Sebuah pukulan lain mendarat di punggungnya.

"Siapa yang kamu sebut kuda, hah?!"

"Jangan cuma menyalahkanku, Mara. Siapa suruh kamu tinggal di gunung begini? Mana aku tahu mau mencarimu di mana?" Menno gantian mengomel. "Baru tahun lalu aku datang ke Creig. Kalau aku tahu kamu tinggal di dekat sini, aku pasti mengunjungimu."

Nenek yang dipanggil Mara itu memukul Menno sekali lagi, lalu mendesah dan menyandarkan kepalanya di bahu Menno.

"Dulu, sewaktu kami mendengar Hallstein mendapat tugas di perbatasan barat Mirchad, kami segera pindah ke gunung. Aku dan Rou malas berurusan dengannya."

Menno mengangguk.

"Syukurlah kalian menyingkir."

"Tentu saja. Kamu pikir kami berdua bodoh? Tidak lama setelah dia berada di sini, bencana demi bencana terjadi."

Menno mengangguk lagi.

"Aku belum memaafkan apa yang dia lakukan di Stellegrim dulu," kata Mara melanjutkan. "Gara-gara dia, kamu sekarang luntang-lantung seperti ini."

Menno mengelus-elus kepala nenek yang bernama Mara itu. 

"Jangan buang waktu mendendam. Waktu itu kamu bahkan belum lahir."

"Meskipun aku hanya mendengar ceritanya dari orangtuaku, tetap saja Menno, aku tidak mengerti."

Menno tersenyum getir. 

Lebih dari seratus tahun yang lalu, sewaktu usianya masih lebih muda dari Putra Agung, ia diberi kedudukan sebagai walikota Stellegrim. Dalam waktu hanya beberapa tahun, Stellegrim yang sebelumnya adalah kota yang penuh dengan kriminalitas dan korupsi, berubah menjadi kota dagang yang termahsyur. 

Seperti Estahr.

Sebelum Hallstein mengganggu kehidupannya.

"Di mana ada bangkai, di situ juga binatang buas akan berkumpul," kata Menno tenang. 

"Eh, maksudmu Stellegrim itu sejenis bangkai?"

Menno tergelak.

"Mara, Mara. Kamu sudah tua tapi tetap saja tidak makin bijak ya. Selama ini, apa saja yang Rou ajarkan?"

Mara menyeringai. 

"Suamiku satu itu memang unik setengah mati. Gara-gara keunikannya, aku tidak bisa jatuh cinta pada orang lain setelah dia tiada."

Mara kembali memandangi lukisan yang Menno buat. 

"Aku merindukannya Menno, setengah mati. Padahal sudah bertahun-tahun berlalu, tapi aku masih merindukannya. Rasanya, walaupun hanya dengan hantunya atau hanya dengan halusinasiku, aku ingin bertemu."

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang