"Paman!"
Seorang gadis kecil,berusia kurang lebih 15 tahun berlari kencang ke arah Menno bahkan sebelum ia sempat turun dari kudanya. Gadis kecil itu berambut dan bermata coklat, mirip sekali dengan Liam - seperti kakak adik. Wajahnya yang cerah dan ceria seolah menunjukkan betapa polosnya gadis itu - masih terlalu muda untuk tahu seperti apa dunia luar itu. Tidak akan ada yang menyangka bahwa gadis kecil ini sudah bepergian ke berbagai tempat, lebih dari sebagian besar orang yang tinggal di Stellegrim.
"Ida," jawab Menno sambil tersenyum.
Menno bergegas turun dari kudanya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar,siap memeluk dan menggendong gadis itu, membuat Arya memicingkan matanya.
"Sudah berapa kali kubilang, Menno, jangan panggil nama anakku sembarangan." Seorang wanita yang tampak lebih tua menegur Menno sambil menyandarkan tubuhnya di gerbang rumah kediaman Eurig. Di sebelahnya berdiri seorang pria tua yang tersenyum lebar menyambut kedatangan temannya.
"Elma! Eurig! Sedang apa kalian semua di sini?"
"Tentu saja menunggumu datang," ujar Eurig sambil menepuk bahu kawannya itu dan membawanya masuk ke rumah.
Menno tergelak mendengar jawaban kawannya itu.
"Bukannya biasanya kamu bahkan tidak ada di rumah saat aku datang?"
"Aku menunggu di gerbang bukan untuk menyambutmu," jawabnya sambil menggeleng, lalu melirik Arya yang berjalan di belakang mereka, mengikuti langkah Menno tanpa sepatah kata pun.
"Oh!" Menno menurunkan Ida dari gendongannya dan memperkenalkan teman-temannya pada Arya. "Arya, ini Eurig, ayah Liam, Elma, kakak perempuan Liam, dan Ida, ponakan Liam."
"Hilda! Nama anakku itu Hilda. Jangan suka memanggil nama orang sembarangan," protes wanita yang dipanggil Elma. Seperti Liam, dia berambut dan bermata coklat, namun ekspresi wajahnya jauh berbeda dengan pemuda yang sudah Arya kenal sebelumnya itu. Elma berwajah lebih keras dan tegas. Dia juga terlihat lebih matang, bisa jadi karena usianya.
"Salam kenal," sapa Arya sambil mengangguk.
Hilda mengitari Arya dengan mata berbinar seperti melihat keajaiban dunia. Setelah puas, dia kembali pada Menno dan menarik-narik lengannya."Sejak kapan Paman punya teman tampan seperti ini?"
"Hilda!" bentak kakek gadis itu. "Jangan bicara sembarangan!"
Menno memberi isyarat agar Hilda membawa Arya pergi.
"Paman Arya, ayo sini aku tunjukkan kamarmu," ujarnya ceria sambil membawa Arya yang pasrah pergi. "Aku juga punya kue-kue kecil untuk kita makan sambil mengobrol."
"Hey, jangan dihabiskan ya! Paman juga mau makan!"
Eurig menggelengkan kepala dan mengajak sahabatnya pergi ke taman untuk bicara empat mata.
"Jadi pria itu adalah Panglima yang pernah kau sebut Malaikat Maut?" bisik Eurig.
Menno mengangguk. Tidak ada gunanya berbohong kepada Eurig soal identitas Arya sebagai Artunis. Sahabatnya itu pasti sudah bisa menyimpulkan dari pesan-pesan burung merpati yang saling mereka kirimkan.
"Siapa yang menyangka?" gumam Eurig.
"Kenapa? Tampangnya tidak sesuai dugaanmu?"
Artunis tanpa topeng memang tidak semengerikan dirinya dengan topeng. Wajar kalau Eurig tidak bisa membayangkan betapa menakutkannya melihat Panglima dengan pedang terhunus di atas kudanya.
Eurig tergelak.
"Bukan cuma itu," jawabnya. "Siapa sangka seorang Menno Karan rela mondar-mandir Mirchad-Surpara, nyaris mati dan luka-luka, dan menghadapi lawan bebuyutannya demi Putra Agung negeri tetangga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantasía"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...