08. Tarian Pedang

2.9K 373 19
                                    

Bunyi lonceng memenuhi jalan-jalan di Nisaya, ibukota Surpara. Semua orang memasang hiasan merah dan emas di alun-alun kota, di gapura, di pintu rumah, dan di mana pun mereka mau. Surpara berbahagia atas kelahiran seorang Putra Agung.

Artunis memandang kota dari Benteng istana. Ia memiliki seorang adik. Bukan cuma itu, adik laki-laki. Kehidupannya mungkin - bukan, pasti - akan berubah.

Setelah seminggu berada di Nisaya, akhirnya Ayahanda memanggilnya ke istana. Ia tidak dipanggil ke balai utama, tapi ke ruang kerja Ayahandanya, tempat Sang Agung biasa merenung sendirian.

"Ananda memberi hormat pada Ayahanda."

Sang Agung mendongak dan tersenyum.

"Duduklah. Apa kamu sudah menengok adikmu?"

"Ananda belum sempat. Seminggu ini, Ananda tidak diperbolehkan masuk istana. Baru hari ini Ananda bisa memberi salam pada Ahayanda."

"Dasar para penjaga istana. Ayah hanya bilang tidak boleh ada orang keluar masuk istana untuk keamanan, tapi mereka malah tidak mengizinkan kamu masuk."

Artunis memilih diam. Hubungan Artunis dengan ayahnya, lebih mirip Raja dengan panglimanya, daripada ayah dan anak.

"Sekarang kamu punya adik laki-laki. Kamu pasti tahu apa artinya itu," ucap Sang Agung, memecah keheningan.

Artunis mengangguk.

"Ananda mengerti."

Selama ini, Artunis adalah Putra Agung karena Surpara tidak punya ahli waris laki-laki. Ia hanya menjadi Putra Agung agar para bangsawan tidak gelisah, agar orang-orang tidak memanfaatkan kekosongan posisi 'ahli waris' untuk memberontak. Tapi kini ia punya adik laki-laki, hak sebagai ahli waris tentu saja jatuh ke tangan adiknya.

Soal nasibnya sendiri, ia sama sekali belum tahu.

"Artunis," panggil Ayahandanya lembut. "Kamu sudah 60 tahun lebih menjadi seorang Putra Agung. Bukan hanya itu, kamu juga adalah Panglima pasukan yang paling ditakuti dan dikagumi di Surpara. Ayah bangga padamu, bukan hanya sebagai Kaisar, tapi juga sebagai orang tua.

"Ayah bukan orang yang tidak tahu berterima kasih. Ayah tidak akan mengambil gelarmu, pasukanmu, dan semua yang sudah kamu bangun dalam satu malam."

Artunis bersyukur topengnya menyembunyikan ekspresi wajahnya, karena ia pun tidak tahu emosi apa yang sedang ia rasakan. Ia hanya mengepalkan tangannya dan menahan diri - seperti yang biasa ia lakukan.

"Sepuluh tahun," ujar Sang Agung. "Ayah beri kamu waktu sepuluh tahun untuk berpikir, apa yang kamu inginkan. Setelah sepuluh tahun, beritahu Ayah keputusanmu, dan Ayah akan pertimbangkan."

Ia bahkan tidak bilang akan mengabulkan permintaan Artunis, hanya akan 'mempertimbangkan' permintaannya.

"Terima kasih Ayahanda." Artunis kembali membungkuk.

***

Di kediaman Putra Agung di Nisaya, Neira menatap khawatir sang Panglima yang baru pulang dari istana.

"Panglima, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Neria.

Panglima melepas mantelnya dan menyerahkannya ke Neria sambil mengangguk.

"Bantu aku memakai baju zirahku."

Tidak lama kemudian, suara hunusan dan tebasan pedang terdengar dari arena latihan di kediaman Putra Agung. Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali Panglima berambut merah itu dan Neria, yang menonton dari kejauhan. Semua orang lain sedapat mungkin menyingkir jauh-jauh, tidak sanggup mendekati aura pekat di sekeliling Panglima, penuh dengan berbagai emosi yang tidak mudah dijelaskan.

Panglima memainkan tarian pedang miliknya. Tapi kali ini tarian pedangnya tidak seperti biasa. Terkadang tebasan pedangnya begitu cepat, seperti petir yang menyembar, tapi kemudian tiba-tiba lemah gemulai, seperti kehabisan tenaga. Neria mengutuki topeng yang menutupi wajah Panglima. Gara-gara topeng itu, selain bibir Panglima yang terkatup rapat, ia tidak dapat melihat apa-apa lagi. Bagaimana dia bisa menghibur Panglima kalau Neria tidak paham apa yang ada di kepalanya?

"Putra Agung!" suatu suara yang Neria kenal baik memanggil Panglima. Pemilik suara itu melaju ke arah Putra Agung sambil menghunus pedangnya, lalu menyerang Putra Agung tanpa ampun.

Pria yang menyerang Putra Agung tadi juga bukan pria sembarangan. Tebasan pedangnya, tusukan tusukannya, semua menunjukkan tingkat kemahiran yang tinggi. Dengan cepat ia melancarkan serangan demi serangan, berupaya memojokkan Putra Agung.

Walaupun musuhnya memiliki tenaga yang besar, dia tidak bisa mengalahkan kecepatan Putra Agung. Bukan itu saja, Putra Agung ahli memanfaatkan kekuatan otot lawan untuk menjadi senjatanya. Dengan satu gerakan Putra Agung menangkis pukulan pedang lawannya, lalu menjatuhkan diri dan meluncurkan tubuhnya sendiri melalui kedua kaki lawan. Ia pun bangkit, melompat, dan menendang punggung lawannya keras-keras, menjatuhkan pria itu dengan satu pukulan saja.

Sebelum lawannya berhasil bangkit, pedang Putra Agung sudah berada di bawah dagunya.

"Emiran," ujar Putra Agung. "Apa kamu sudah tidak sayang nyawa?"

Pria yang baru saja ditendang sampai jatuh itu bangkit, menjatuhkan pedangnya, lalu mendekap Putra Agung dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Putra Agung, lama tidak berjumpa."

Neria buru-buru menghampiri sambil memberikan lirikan terima kasih kepada tamu tak diundang itu.

"Salam, Panglima Emiran. Silakan masuk, saya akan bawakan minuman untuk kalian berdua."

Putra Agung tidak keberatan. Meskipun ia tidak bicara apa-apa, Neria tahu kedatangan Emiran membuat moodnya membaik, walau hanya sedikit. Neria meninggalkan mereka berdua berjalan santai sambil mengobrol.

"Putra Agung, sejak kapan kamu suka berlatih dengan tarian pedang?" tanya Emiran.

"Sejak tidak ada lagi orang yang berani berlatih bersungguh-sungguh denganku," jawabnya.

"Dari dulu pun, tidak ada orang yang berani bersungguh-sungguh berlatih denganmu. Mereka takut kalau kamu sampai terluka, nyawa mereka bisa melayang."

Putra Agung menghentikan langkahnya.

"Tapi dulu ada kamu."

Emiran membungkuk. Emiran adalah putra penglima kepercayaan Ayahandanya. Sejak kecil, Emiran-lah yang melatih Putra Agung semua kemampuan bela dirinya. Setelah Putra Agung diberi wewenang atas Pasukan Fajar, Emiran diminta langsung oleh Sang Agung untuk membantu ayahnya mengurus Pasukan Senja di perbatasan barat laut. Mereka sudah bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa.

"Aku dulu melatihmu dengan keras supaya kamu bisa berdiri sendiri, melindungi diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Tapi sekarang tampaknya kemampuan sang murid sudah melebihi gurunya."

Putra Agung tersenyum tipis dan menepuk bahu Emiran.

Seiring dengan larutnya malam, pembicaraan kedua kawan lama itu makin bergeser dari urusan masa lalu ke urusan masa depan.

"Aku mendengar gosip dari Estahr," ucap Emiran sambil menunjuk lukisan penari berambut hitam yang ada d dinding.

"Menno Karan?" tanya Putra Agung balik.

Putra Agung memang selalu membawa beberapa lukisan Menno bersamanya ke mana pun dia pergi. Lukisan yang sebelumnya berada di ruang kerjanya di Estahr, kini ada di ruang jamuannya di Nisaya.

"Tentu bukan," jawab Emiran sambil menggelengkan kepala. "Soal putri Duta Besar Mazares yang termahsyur."

Putra Agung meneguk anggur panasnya. Gosip tidak bermutu seperti itu bahkan sampai ke telinga Pasukan Senja yang letaknya beratus-ratus kilometer jauhnya?

"Dia gadis yang luar biasa," jawab Putra Agung. "Kamu belum menikah. Bagaimana kalau suatu hari nanti kamu aku kenalkan dengannya?"

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang