Hallstein benar-benar tidak percaya. Bagaimana mungkin rencana yang sudah disusun matang seperti itu bisa gagal?
Rencana awal yang ia siapkan adalah, memperlemah Estahr dari dalam, lalu menyerang dari luar. Bagaimana mungkin Estahr baik-baik saja setelah airnya diracuni, bagaimana mungkin Pasukan Fajar tidak melemah?
Bukan cuma itu, kali ini keterlibatan Mazares terbongkar. Hallstein kehilangan sekutu di dalam Estahr. Meskipun dia bisa mengirim mata-mata ke sana, tapi mata-mata tidak punya pengaruh di Estahr - manfaatnya jelas tidak sebanding.
Rencana awalnya adalah meracuni pasokan air di kota Estahr dan memperlemah penjagaan kota itu. Setelah itu, Mazares seharusnya memastikan ada huru-hara di dalam kota karena karantina - orang akan membuat keributan agar boleh keluar. Setelah Estahr diperlemah dari dalam, ia akan menggempur Estahr dengan seluruh pasukannya. Bahkan pasukan Fajar pun tidak akan sanggup mengatasi pasukan miliknya seorang diri.
Tapi apa yang terjadi?
Estahr baik-baik saja. Keadaan terkendali. Orang-orang tidak memberontak, karena bahkan Artunis dan seluruh pasukan di dalam kota turun tangan untuk mengatasi wabah.
Harga diri Hallstein serasa dikoyak. Dia tidak bisa membiarkan Artunis membuatnya terlihat bodoh. Hallstein sudah mengurus pasukan bahkan sebelum Artunis lahir. Dia tidak mungkin kalah dari pria itu. Dia tidak boleh kalah dari pria itu.
Terutama sekarang.
Ketika adiknya sedang mengandung putra Raja Wilmar. Jika dia pulang ke Castareth dengan arak-arakan penuh kemenangan sementara istana sedang merayakan kelahiran penerus takhta Mirchad, kehormatan dan prestasi yang akan dia dapatkan sudah tentu akan luar biasa.
Kalau dia bisa mengalahkan Artunis.
"Pengawal!" seru Halstein akhirnya, setelah membulatkan tekad. "Umumkan pada Pasukan. Persiapkan semuanya. Kita akan bertempur."
***
Sebuah ruangan di sudut terdalam penjara, jauh dari hiruk pikuk dan lalu lalang orang, ditempati oleh seorang tahanan. Ruangan itu bukanlah ruangan tahanan biasa yang ditinggali Mazares, bukan juga ruang interogasi yang mengerikan. Hanya sebuah ruangan kosong biasa - sunyi senyap tanpa kehidupan, tidak jauh berbeda dengan kuburan.
Sejak dihuni, ruangan itu berubah. Ranjangnya yang dulu polos sekarang terbungkus sprei merah muda dengan selimut hangat bermotif bunga-bunga. Dindingnya yang dulu kelabu kini digantungi berbagai macam hiasan yang indah. Lantainya yang sebelumnya dingin dilapis karpet tenun khas Surpara. Jauh dari penjara - ruangan itu kini tampak seperti ruang tinggal yang layak.
Di ruangan itu kini duduk dua orang - seorang gadis berparas sebening Purnama, dan seorang pria yang memandang gadis itu sambil terpana. Yang mana yang tahanan?
Tangan gadis itu dengan cekatan bergerak di atas kain sambil tersenyum kepada pria itu. Sulaman yang ia kerjakan baru setengah jadi. Selama beberapa hari terakhir ini pria itu - Panglima Emiran - datang hanya untuk membawakan perlengkapan menyulam dan menemaninya.
"Maaf saya sudah merepotkan Tuan," kata gadis itu lirih. Jemarinya luwes membentuk bunga berwarna-warni di atas kain.
"Tidak apa-apa Nona. Daripada luntang-lantung tanpa pekerjaan, lebih baik saya berada di sini menemani Nona."
Beberapa hari lalu, ketika dia menghadap Putra Agung untuk meminta penjelasan mengenai Nona Parisha, Putra Agung memberinya izin untuk menemui Nona itu. Emiran tidak membuang waktu. Sejak saat itu, ia sering sekali menghabiskan waktunya dengan Parisha, berupaya memenuhi semua permintaan kecil dari Nona itu - apa pun yang bisa membuat hidupnya lebih nyaman.
"Berkat Tuan, saya tidak kesepian dan tidak bosan di sini. Terima kasih banyak."
Emiran mengangguk sambil tersenyum. Asalkan kamu senang.
"Apa ada hal lain yang bisa aku bawakan untuk membuat Nona lebih nyaman?" tanyanya.
Nona itu menggeleng.
"Putra Agung sudah berbaik hati memberi saya ruangan ini lengkap dengan perabot dan seorang pelayan untuk membantu saya."
Emiran tersenyum miris. Hati Parisha masih bertumpu pada Putra Agung Artunis. Memang, Putra Agung adalah pria di antara para pria. Mustahil mengimbanginya dalam hal apapun, apalagi mengalahkannya. Melihat seorang gadis jatuh cinta setengah mati pada Putra Agung bukanlah hal yang luar biasa.
Melihat seorang gadis seperti Parisha jatuh hati pada Putra Agung, Emiran tidak pernah terbiasa.
Mungkin Parisha melihat sedikit rasa pahit dalam ekspresi Emiran, sehingga gadis itu melanjutkan, "Lagipula, ada Tuan Emiran menemani saya setiap hari, mana mungkin saya merasa tidak nyaman?"
Emiran menghela nafas.
Setengah jam berikutnya berlalu dalam keheningan. Biasanya keheningan semacam ini membuat orang tidak nyaman. Tapi bagi Emiran, keheningan seperti ini menenangkan, memberinya ruang untuk merasa nyaman dan tanpa beban. Gerakan tangannya yang gemulai, sorot matanya yang teduh, semuanya membuat Emiran tidak sadar dengan sekeliling, hingga akhirnya gadis itu angkat suara.
"Tuan, boleh saya bertanya?"
Emiran terkesiap sebelum mengangguk pelan.
"Apa ada kabar mengenai ayah?"
Emiran menelan ludah.
Ada banyak kabar tentang Mazares. Yang mana yang harus dia berikan?
"Tuan, saya tahu ayah saya tidak akan selamat," katanya lirih, suaranya bergetar. "Bolehkah saya tahu bagaimana keadaannya? Dan apakah saya bisa bertemu dengannya lagi, untuk kali terakhir saja?"
Emiran mengulurkan tangannya dan mengangkat wajah gadis itu. Kedua bola mata Parisha menahan tangis, sementara mata Emiran menyimpan tanda tanya. Untuk apa? Untuk apa dia memikirkan ayah yang selama ini memandangnya hanya sebagai komoditas untuk meraih ambisinya?
"Parisha," ujarnya.
Tangan Emiran berpindah, meraih jemari Parisha, dan dengan lembut membawanya ke bibirnya, mendaratkan kecupan ringan di sana.
"Apapun yang terjadi pada ayahmu, aku ada di sini."
Parisha balik menatapnya dengan raut terkejut, namun tidak bicara apa-apa. Jawaban Emiran tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang dia ajukan, tapi bukan itu masalahnya. Apa pertanyaan Parisha tadi? Gadis itu sendiri pun tidak yakin dia ingat. Kecupan Emiran di jemarinya membuat Parisha bingung dan kehilangan fokus.
Beberapa saat kemudian, gadis itu dengan ragu-ragu menarik jemarinya dari genggaman tangan Emiran. Wajah merahnya menatap ujung sepatunya, sementara Emiran berdehem.
"Maaf Nona, barusan aku-"
"PANGLIMA EMIRAN!"
Suara lantang memanggil Emiran dari luar, membuyarkan suasana di antara kedua orang itu. Keduanya menoleh ke arah pintu, dan seorang prajurit datang terengah-engah.
"Panglima Emiran diminta segera pergi ke kediaman Panglima Agung."
Emiran baru saja hendak bertanya untuk urusan apa ketika prajurit itu meneruskan, "Kita diserang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantastik"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...