46. Urusan Militer

1.7K 293 2
                                    

Malam semakin larut. Panglima masih belum mengizinkan Menno beristirahat. 

Yang seharian ini berlatih dengan baju zirah, mengatur pasukan, dan mengadakan rapat militer adalah Panglima, tapi yang terlebih dahulu lelah adalah Menno yang malah sudah sempat tidur di jeruji tahanan. 

Stamina Panglima memang luar biasa. 

Menno mengangkat gelasnya - entah yang keberapa - dan menyeruput isinya. Panglima masih duduk di hadapannya, bertopang dagu, duduk seperti seorang dewa perang dalam legenda-legenda lama. 

Jemari Menno gemas ingin mengambil kanvas dan melukisnya sekarang. Tapi kalau dia melukis Artunis dalam kondisinya sekarang, besok lukisan tersebut akan kembali dengan komentar pedas lagi. 

Saat ini Menno tidka yakin indera-inderanya bisa dipercaya. 

"Panglima!"

Suara seorang prajurit terdengar diikuti bunyi penutup tenda tersibak.

Tanpa sempat berpikir, Menno refleks memukul meja di hadapannya keras-keras untuk membantu tubuhnya berdiri tegak. Di hadapannya Panglima juga memalingkan wajah, lalu mengambil serta memasang topeng emasnya.

"Ada apa?" tanyanya dingin.

"Surat, Panglima," jawab prajurit itu singkat. 

Menno duduk kembali setelah Panglima memakai topengnya. Prajurit itu mengikuti isyarat Panglima dan masuk serta menyerahkan surat tersebut langsung ke tangannya. 

"Kali pertama mendapat giliran jaga?" tanya Panglima sambil membuka surat, seolah acuh-tak-acuh.

Prajurit itu mengangguk mengiyakan. 

Panglima melipat kembali suratnya, lalu meletakkannya di atas meja. Sedetik kemudian, tanpa aba-aba ia menyikut punggung prajurit malang itu hingga tersungkur di karpet yang mengalasi kemahnya. 

"Ampun Panglima!" seru prajurit itu di sela-sela erangannya. Menno meringis mendengar bunyi pukulan Panglima. Dari suaranya saja, ia bisa membayangkan bagaimana rasanya. 

Panglima mengangguk dan menyuruhnya keluar. "Lain kali, tunggu hingga aku menyuruhmu masuk."

Prajurit itu kembali memohon maaf dan buru-buru keluar. Panglima kembali duduk di hadapan Menno. Pria berambut hitam itu kembali berwajah santai, seolah ekspresi tegangnya barusan sama sekali tidak ada. Khas Menno Karan.

"Panglima, surat apa itu?"

Nada suara Menno tidak menunjukkan maksud apa pun. Meski demikian, Panglima tidak berniat menjawab?

"Urusan militer. Bukan urusanmu."

Menno mengingat tujuannya datang ke sana. Ia harus menghentikan Panglima mengambil alih Vasa. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk bicara.

Menno meneguk habis isi gelasnya sebelum memulai.

"Kalau isi surat itu berhubungan dengan Vasa, itu urusanku juga."

Panglima Artunis mengernyitkan dahinya. Apa urusannya Vasa dan Menno Karan?

Tapi ia tidak berniat bicara sekarang. Saat ini, mereka berdua butuh istirahat.

Panglima memanggil dua prajurit di depan kemahnya tanpa menjawab pertanyaan Menno, lalu menyuruh mereka membawa Menno ke kemah Neria.

"Jangan sampai dia kabur," ucap Panglima tegas. 

"Panglima," protes Menno. "Kita belum selesai bicara."

"Kita lanjutkan besok."

"Panglima!" 

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang