Plakkkk
Suara tamparan terdengar. Ayah Lisa adalah pelakunya. Lisa memegangi pipinya dan menatap ayahnya.
"Kendalikan dirimu!", bentak ayahnya.
"Enggak bisakah aku bersikap seperti ini hanya untuk apa yang aku inginkan sebenarnya?", tanya Lisa.
"Tapi bukan seperti ini caranya!", bentak ayahnya lagi.
"Aku lelah dengan semua ini, semua ini sangatlah enggak adil!", ucap Lisa dengan amarahnya yang mulai memuncak.
"Kendalikan mulutmu!"
"Apa ayah sadar? Selama ini ayah selalu menghalangi dan merebut apa yang menjadi kebahagiaanku?!"
"..."
"Apa aku harus bersabar atas semua ketidakadilan yang aku alami?!", ucap Lisa.
"Semua sudah terjadi Lisa!", ucap ayahnya.
"Lalu aku harus diam saja? Aku enggak peduli jika aku yang tersakiti. Tapi, di sini Jennie adalah korbannya. Dia mengalami penghinaan dan ketidakadilan! dia seharusnya enggak mengalami ini semua. Kalian semua jahat! Aku muak dengan semua ini!", ucap Lisa dengan penuh emosi.
"Baiklah! Baiklah! ayah minta maaf, karena enggak mendengar penjelasan Jennie. Tapi tolong jadilah god yang bijak Lisa. Aku mohon jangan pernah berada dijalan yang salah", ucap ayah Lisa berusaha untuk menenangkan anaknya.
"Baiklah... tapi ayah harus menuruti permintaanku"
"...Asal yang kau minta tidak buruk, maka aku akan mempertimbangkannya"
Lisa membuang nafasnya kasar.
"Jika aku enggak bisa bahagia, maka biarkan Jennie hidup dengan tenang dan bahagia di sana..."
.
.
.
.***
.
.
.
.5 tahun kemudian setelah Lisa pergi meninggalkan Jennie.
Semuanya telah berubah. Keluarga Jennie telah kembali. Sekarang ayahnya malah sangat menyayangi dan memanjakannya.
Sebenarnya Jennie merasa aneh dengan ini semua. Tapi beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba saja ayahnya datang kerumah dan meminta maaf sebesar-besarnya. Tentu Jennie memaafkan, karena ia juga menyayangi ayahnya.
Semenjak itu Jennie kembali bahagia, walau tidak sepenuhnya bahagia karena ia masih sering memikirkan Lisa dan termenung sendiri.
Pagi ini...
Jennie memakai pakaian kantor yang terlihat cocok melekat pada tubuhnya. Dia sekarang sudah bekerja menjadi designer pada butik ternama miliknya. Tentu saja dia adalah CEOnya.
Ponselnya berdering saat ia sedang mengancingi kancing kemejanya. Langsung saja ia menjawab panggilan dan mengaktifkan loud speakernya.
"Oh Oppa? Ada apa?"
"..."
"Aku masih dirumah kenapa?"
"..."
"Sekarang? Apa enggak bisa nanti?"
"..."
"Baiklah, aku akan ke sana"
"..."
"Hmm.. Saranghae", Jennie memutuskan panggilannya.