4 hari berlalu, namun Kale masih belum juga mendapatkan kabar dari istrinya yang sampai saat ini masih berada di bagian bumi yang lainnya. Ingin rasanya untuk sekedar menanyakan kabar, tapi kata-kata terakhir Tania membuatnya mengurungkan niat.
Tania masih marah. Jelas.
Mungkin Kale memang keterlaluan. Tapi sungguh, Kale tidak pernah bermaksud pamer atau apapun itu yang Tania pikirkan. Ia hanya ingin membuat istrinya nyaman di London, mengingat hambatan yang tengah melanda pekerjaan wanita itu. Paling tidak, ia bisa membantu sedikit walau hanya sekedar meningkatkan kualitas kenyamanan untuk Tania beristirahat.
Memang pada dasarnya, Kale sekali lagi sangat payah dalam urusan menghadapi wanita kecuali ibu dan adik-adiknya. Dan kini ia harus menghadapi Tania yang jalan pikirannya bisa sangat tidak wajar dan terlalu complex.
Kale masih berkutat dengan bolak-balik mengecek telepon genggamnya dengan harapan Tania mau mengabarinya atau bahkan sekedar menyapanya. Entah kapan ini dimulai, tapi Kale menjadi sangat posesif dan protektif jika memikirkan Tania. Apalagi yang paling menyiksanya saat ini adalah kenyataan bahwa ia harus menahan perasaannya tersebut agar Tania tidak mencurigai atau bahkan mempertanyakan apapun, karena ia sendiri tidak mampu menemukan jawabannya. Yang jelas, Kale mulai tidak dapat membayangkan jika di masa depan nanti ia harus berpisah dari wanita tersebut.
Sekali lagi ia menyalakan ponselnya dengan harapan yang masih sama dan hasil yang sama pula. Ah! Bagaimana ini? Haruskah ia nekat menelpon Tania? Atau mungkin lewat pesan singkat? Atau.... Argh! Otaknya terasa beku memikirkan ini. Mengapa menyelesaikan masalah dengan Tania lebih berat dibandingkan menyelesaikan rumus-rumus fisika yang selalu ia telan setiap malam sebelum tidur? Ia harus mencari bantuan.
Kale kemudian berinisiatif untuk menghubungi adiknya Keira yang mungkin dapat memberinya saran sedikit. Ia yakin adiknya yang satu ini lebih bijak jika di bandingkan ibunya.
"Halo? Keira?" Ujarnya saat ia tak lagi mendengar nada dering dari sambungan telepon mereka. Keira yang sebenarnya telah terlelap terpaksa membuka matanya ketika melihat nama kakaknya lah yang muncul di layar ponselnya. "Umh... halo.." jawabnya ngantuk-ngantuk.
"Kei? Maaf mengganggu tidurmu, but i really need your help,"
*****
"Sumpah ya, kenapa sih mereka tetep kekeuh buat ngebatalin kontrak? Padahal mereka sendiri juga gak bisa mempertanggung jawabkan pembatalan ini. Orang ternyata manajemennya bubar. Mereka udah bangkrut. Kenapa gak terima aja sih? Toh kan yang untung mereka-mereka juga," tutur Diana sebal sebelum kemudian membanting tubuhnya ke atas sofa. Saat ini 3 wanita yang Tania bawa tengah berada di kamarnya. Duduk-duduk bersampingan di sofa yang mengitari meja penuh kertas-kertas berserakan setelah sebelumnya mereka mendatangi manajemen Incognito.
Jane, Tania dan Kay hanya dapat memandang kosong ke arah yang berbeda-beda. Mereka semua pusing. Keputusan Incognito yang secara sepihak dan mendadak membuat mereka berada di dead circle. If they moves even just a little, they'll die.
Keempatnya kini tak bersuara. Pikirannya kemana-mana mencari jalan keluar yang lain.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam di London. Sudah waktunya mereka untuk istirahat. Bagaimanapun, kesehatan disaat seperti ini tetap yang paling utama.
"Sudah, sekarang kalian balik ke kamar aja. Besok pagi kesini lagi dan kita pikirin jalan lainnya ya. Pasti ada jalan. Kita masih ada 3 hari lagi kok disini. Tenang aja," usir Tania halus. Ya, ia juga sangat lelah. Dan mendengarkan dumelan dari anak-anak buahnya justru semakin membuat kepalanya pening.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shed Your Tears Away
Romance[BAHASA INDONESIA] [THIS STORY REALLY IS MY OWN CREATION AND IS PROTECTED BY LAWS! NO COPYCATS ALLOWED! RESPECT!] Bagi Tania, menikah itu munafik dan cinta hanyalah nafsu belaka. Jangan salahkan dirinya karena tidak mempercayai cinta dan meremehkan...