PART 17

3K 123 5
                                    

"Jadi gimana mbak? Kita udah ditolak mentah-mentah sama Tony. I think, it is best for us to give up. Sebelum terlalu berlarut-larut dan akhirnya kita malah gak bisa ngedapetin siapapun buat jadi guest star kita," ujar Jane bijak.

Sedari kemarin Jane memang tidak berkomentar apapun dan hanya melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Ia mengerti betapa Tania sangat berambisi untuk mendapatkan Incognito, dan ia pun mempercayai bahwa hal itu akan terjadi. Namun sayangnya, takdir berkata lain. Hari ini akhirnya mereka mendapatkan kejelasan dari pihak menajemen tentang keputusan pembatalan kontrak kerjasama yang sudah sebelumnya mereka tandatangani.

Tania tahu, kini saatnya untuk berhenti. Ia harus gagal sekali ini. Ia merasa bersalah karena sudah memaki-maki Diana selama beberapa bulan terakhir. Bersalah dengan semua rekan-rekan kerjanya karena powernya tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Malu karena dirinya tidak berhasil merealisasikan ucapan-ucapan serta janji-janji yang pernah ia ikrarkan sebelumnya.

Ia harus menyerah sekarang.
Ia gagal. Dan ternyata kegagalan ini terasa amat menyakitkan.

"Saya dengan berat hati harus memutuskan untuk menyudahi perjuangan kita disini. Seperti yang Jane bilang barusan, kita tidak boleh berlarut-larut dan memaksakan kehendak. Bagaimanapun juga, masih banyak hal lain di jakarta yang harus kita kejar," Tania menyampaikan dengan tenang.

"Mbak? Mbak yakin mau give up Incognito gitu aja? Biaya yang kita keluarkan gak sedikit lho mbak," ujar Diana mengajukan pendapatnya.

"Saya tahu bahwa kita sudah mengorbankan banyak hal demi mendapatkan mereka. Tapi ya mau gimana lagi? Gak ada yang bisa kita lakuin buat mengubah keputusan mereka, Di. Tony mengundurkan diri dari band dan Incognito gak bisa play tanpa Tony. Kalaupun bisa, mereka gak punya cukup waktu untuk mempersiapkan semuanya. Sekarang, biarkan urusan pembatalan kontrak incognito di ambil alih sama tim legal. Saya akan meminta satu dari mereka untuk segera kesini,"

Mereka semua menghela kecewa. Ternyata itu yang jadi masalah selama ini. Tony Momrelle, sang vokalis legendaris yang mengundurkan diri memberikan luka teramat dalam bagi Incognito itu sendiri dan Tania sebagai orang luar tidak dapat mengganggu gugat hal tersebut. Pihak manajemen selama ini menutup-nutupi kepergian Tony karena mereka pun kecewa dengan keputusan ini. Jadi apalagi yang bisa Tania lakukan? Membujuk Tony? Tidak mungkin. Pihak manajemen itu sendiri tidak mengetahui dimana keberadaan Tony saat ini. Apalagi Tania?

"Sekarang, kalian bisa langsung packing dan istirahat. Saya sudah menyiapkan tiket pulang untuk kalian bertiga. Penerbangan kalian akan berangkat pukul 8 esok pagi," lanjutnya lagi.

"Lho? Mbak gak ikut pulang?" tanya Kay.

"Saya masih harus mengurus beberapa hal disini sembari menunggu tim legal datang. Setelah itu, baru saya pulang. Selama saya gak ada, tolong jangan bikin masalah lagi. Okay?"

Ketiganya mengangguk sebelum kemudian pamit undur diri menuju kamar mereka.

"Mbak.." panggil Diana pelan sebelum ia menyusul dua rekannya yang sudah terlebih dahulu keluar dari ruangan.

"Ada apa, Diana?"

"Maafin saya ya, gara-gara saya yang kurang kompeten semuanya jadi berantakan," tuturnya lirih. Ia menunduk sembari memainkan jemarinya, takut untuk menatap langsung kedua mata Tania.

Tania tersenyum lembut, "Bukan salah kamu, Di. Kita gak ada yang tau kalo ternyata masalahnya adalah ini. Saya yang malah merasa bersalah karena beberapa bulan kemarin selalu menjadikan kamu sasaran kemarahan saya. Maafin saya ya,"

"Iya sih mbak. Tapi tetep aja Diana merasa bersalah. Sekali lagi maaf ya,"

"Sudah gak perlu dipikirkan, sana packing. Kalo kamu sama anak-anak belum ngantuk, jalan-jalan aja dulu keliling London. Jangan lupa beliin oleh-oleh buat Deva ya. Kasian dari kemarin terpaksa dipisahin melulu sama mamanya gara-gara masalah ini,"

"Iya mbak, kalo gitu saya balik ke kamar dulu ya. Makasih banyak sekali lagi," ucapnya terakhir sebelum kemudian benar-benar pergi meninggalkan Tania kembali di kamar ini.

Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa. Menatap langit-langit diatasnya dengan hampa. Astaga, ternyata ini rasanya gagal? Selama ini Tania tidak pernah mengecewakan dirinya sendiri, dan hari ini akhirnya Tania mendapatkan perasaan itu. Ingin rasanya ia marah dan memaki semua orang. Tapi untuk apa? Tidak ada yang bisa ia salahkan disini kecuali dirinya sendiri yang ternyata tidak dapat banyak membantu anak-anak buahnya.

Ia kembali berjalan menuju balkon, memantik rokoknya lalu dihisapnya perlahan-lahan. Pahit namun menenangkan. Entah siapa yang pertama kali menemukan rokok, namun sosok tersebut berhasil membuat sesuatu yang selalu Tania jadikan tujuan akhir dari pelarian.

"Kamu ngapain, Princess?" Suara Kale yang tiba-tiba membuatnya kaget, namun Tania tidak memiliki tenaga untuk mengekspresikan rasa terkejutnya. Ia hanya menoleh ke arah pria tersebut, memberikan senyum tipisnya.

"Aku baru tahu kalau kamu merokok," Kale berjalan mendekat.

"Cuma kalau lagi pengen aja," jawabnya sambil terus menghisap batang rokok yang ada di bibirnya. Kale tidak suka dengan Tania yang begini. Ia kemudian secara spontan merebut batang rokok tersebut dan mematahkannya sebelum kemudian ia injak hingga tak lagi berbentuk.

"Apa-apaan sih kamu!?" Sentak Tania marah melihat kelakuan Kale yang lancang. Tapi laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Tania dengan.... Oh my god, this is bad! Dengan tatapan yang dulu laki-laki itu berikan saat pertemuan pertama mereka. Tatapan dingin yang menakutkan.

"K-kale?"

"Aku gak suka kamu merokok," suaranya yang rendah pun saat ini terdengar berbeda. Seolah memberikan efek lebih dalam pada hawa dingin yang mengitarinya.

"T-tapi..."

"Gak ada tapi-tapian,"

"Ini... ini bukan urusanmu, Aku memiliki hak penuh atas pilihanku," Tania mencoba memberanikan diri melawan Kale. Walaupun ia takut, ia harus melawannya. Kale tidak berhak mengatur hidupnya. Sama sekali.

Sekali lagi Kale tidak menjawab, ia hanya menatap bungkus rokok diatas meja, yang kemudian ia ambil dan ia lemparkan kebawah.

"What the!?" Tania membelalak tidak percaya. Apa-apaan pria ini!?

"Masuk!" Kale menarik pergelangan tangan Tania, memaksa wanita itu untuk masuk kedalam kamar.

"Apa-apaan sih kamu tuh!? Lepasin gak?" Bentak Tania sembari berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman Kale terlalu kuat. Tubuh mungilnya sudah pasti tidak akan mampu melawan Kale.

"Sakit tau! Lepasin!!" Kale masih tidak menghiraukannya. Ia masih menggenggam lengan wanita itu sampai mereka akhirnya tiba di dalam kamar.

"Sakit kale! Lepasin!" Suara Tania kini semakin meninggi, namun mulai terdengar serak. Kale pun berbalik menghadap wanita itu yang kini ia dapati tengah berlinang air mata.

Melihat Tania yang seperti itu membuat Kale sadar dan melepaskan genggamannya. Kaki Tania rasanya tidak memiliki kekuatan lagi untuk menopang tubuhnya hingga akhirnya ia pun terduduk di lantai. Ia menunduk sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menghentikan airmatanya yang kini mengalir dengan deras.

"Ap-apa apaan s-sih kamu tuh..." ucapnya sesunggukan. Kale yang merasa bersalah menurunkan badannya mendekat pada wanita itu.

"A-aku tuh c-capek. A-aku cuma mau m-melepas bebanku aja sebentar," Ucap wanita itu lagi.

"Kamu gak tau apa yang lagi aku hadapi. Aku gak p-pernah sekecewa ini sama diri aku sendiri. Aku cuma mau cari ketenangan s-sedikit. Dan kamu malah buang rokoknya. Apa-apaan sih kamu tuh..."

Melihat Tania yang menangis seperti ini mengiris hatinya. Ya, dia salah karena seenaknya saja memarahi Tania tanpa tahu apa yang menyebabkannya melakukan hal tersebut. Kale kemudian menarik Tania lembut kedalam dekapannya. Membuat tangis Tania semakin menjadi-jadi. Tak segan pula, ia memukul dada bidang suaminya itu demi melampiaskan amarahnya. Ia marah sekali dengan suaminya hari ini.

"Maaf," ujar laki-laki tersebut lirih. Ia hanya dapat menepuk-nepuk punggung Tania, berharap tangisnya akan berkurang sedikit.

*****

Shed Your Tears AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang