All about Us - Naya.

1K 75 3
                                    

☁Happy reading☁

Pernah ngerasa jenuh ga sama hidup kalian?

Pernah ngerasa hidup kalian itu biasa aja?

Atau mungkin kalian pernah ngerasa hidup kalian kurang berwarna?

Jika pernah...

Ayo, berteman.

Dulu, aku ngerasa jenuh sama hidup aku yang ya bisa di bilang engga ada apa-apanya.

Tapi ternyata Tuhan selalu baik.

Tuhan kasih aku Sean dan Quiesha untuk merwarnai hidup.

Nathania Argani Syua.
Itu aku. Singkatnya orang-orang memanggilku, Naya.
Jangan ditanya ya asal kata Naya itu dari mana, hehe.
Karna mami dan papi sudah memanggilku Naya dari dulu.

Sebelum bertemu Sean dan Quiesha, aku hanya seorang gadis yang polos.

Atau mungkin Lugu? Penyendiri? Tak ada ekspresi?

Ya begitulah. Bukan tanpa alasan, tapi Karena dulu hanya Daffa satu-satunya teman yang kupunya.

Oh bukan.

Ada satu lagi.

Cinta pertamaku yang hingga kini masih punya tempat di hatiku.



Sedari kecil, aku sudah biasa hidup dengan aturan ketat dari mami dan papi. Mereka sudah menyusun jadwal dari Senin-Minggu untukku.
Bukan, mereka bukan orang jahat yang memaksakan aku harus begini begitu.
Mereka sayang padaku, jadi mereka perlu mengawasiku sedetail itu.

Mereka khawatir kepadaku.
Iya, begitu.

Aku ingat ketika aku duduk dibangku Sekolah Dasar, teman teman sekelas mengajakku bermain bersama.
"Mam, Naya main sama temen-temen ya ke taman depan?" ucapku dengan penuh harap.

Mami memandangku lama. Aku paham mi.
"di luar panas Nay,nanti kamu sakit. Bobo siang aja ya?"

Hufft.. aku menghela napas pelan. Mami selalu aja.

"Iya mi. Panas. Naya ga usah main. Bobo aja." dan aku kembali ke kamar dengan langkah lunglai.

Bukan itu saja.

"Nay, jangan jajan sembarangan ya? Ini mama siapin bekel buat kamu."

"Nay, jangan asal temenan sama orang yang kamu ga tau asal usulnya."

"Nay, jangan pulang sendiri. Tunggu supir jemput."

Dan masih banyak Nay, Nay, Nay yang lainnya.

Tapi yang paling membekas di hatiku ketika mami berkata, "Nay, kamu ga bakal milih kuliah di luar negri kaya Sean, El, sama Quiesha kan, nak?"

Sesaat gerakanku terhenti.

Ini bukan sepenuhnya mami bertanya. Ada maksud penegasan, kamu kuliahnya di jakarta aja.

Aku berusaha menutupi rasa kecewa dengan memberikan senyum terbaikku."Aku kuliahnya di Jakarta aja kok mi. Lagian, Naya kan ga bisa jauh dari mami sama papi."
Padahal aku juga ingin merasakan hidup di negara favoritku, Budhapest.

Sejak saat itu aku berusaha mencari alasan saat Quiesha selalu memaksaku pindah ke luar negeri.

Sampai akhirnya kalimat itu muncul dengan sendirinya, biar nanti kalian inget pulang karena ada aku yang nunggu kalian buat pulang.






Tentang hubunganku dan Sean, aku sangat bersyukur dia mengenalku, dia memperjuangkanku.
Usahanya dalam membuka hatiku karna seseorang itu patut kuacungi jempol.

Dia begitu sabar menungguku bisa membuka hatiku.

Dan begitu sabar memasukkan warna kedalam hidup kelabuku.

Bukan seperti dia yang memilih menyerah dibalik ucapannya, "Naya, cukup."

"Hm.? Maksud kamu?"

"Iya cukup. Sekarang kamu boleh pulang."

Saat itu pikiranku benar-benar tak menentu.

Cukup, katanya.

Pulang? Aaaah, dia menyuruhku pulang saat itu karena aku rasa waktu kita bersama hari itu sudah cukup, dan bertemu lagi nanti.

Sesederhana itu pikiran bocah kelas satu SMA.

Dengan senyum mengembang, aku mengangguk dan berkata, "siap bos. See you!"

Baru saja hendak melangkah pergi, dia menarik lenganku dengan sedikit kencang. Karena aku begitu sulit mengungkapkan isi hatiku, kalimat tanya kamu kenapa hanya bisa menggantung di tenggorokan. dia memelukku lama. Rasanya pelukan ini berbeda. Tak sehangat biasanya. Rasa takut mulai menghampiriku beserta kawanannya.

Perlahan pelukan kami terlepas. Dengan dia yang menatap mataku sendu. Pikiranku masih tak menentu. Perasaan tak enakpun ikut berkontribusi dalam kebingungan ini. "Aku udah bilang cukup kan Nay? Aku udah suruh kamu pulang. Tapi kenapa kamu masih disini?"

Aku mengerutkan keningku saat menjawab pertanyaannya. Jujur, aku tak mengerti dengan situasi ini. "aku emang mau pulang. Tapi ga jadi karena kamu peluk aku tiba- tiba."

"itu pelukan terakhir kita."

Saat itu aku sedikit tersentak mendegar ucapannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk menetralkan raut wajahku. Aku tak ingin terlihat bodoh.

"sekarang aku minta kamu beneran pulang. Bawa hati kamu juga, karena kamu ga pantes main lama- lama di rumah aku."

"kenapa?"

Ah, Sekarang aku mengerti meskipun terdiam cukup lama. Dia menyuruhku pergi dari hidupnya. Padahal saat itu hubungan kami baik baik saja.

"Because i have no reason to let you stay in my home." Jawabnya tenang.

Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Air mataku mengalir begitu deras. Entah mengapa sulit bagiku mengeluarkan satu katapun. Aku hanya menangis. Menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Lagi, dia menarikku dalam pelukannya. Bukannya tadi dia bilang, kalo pelukan kami sebelum ini adalah yang terakhir?

"Don't cry. Just go home Nay," ucapnya lembut seraya mengusap pelan kepalaku.

"i have no reason to leaving you." ucapku pelan.

"You have." Katanya lagi.

"bahagia kamu bukan di aku. Kamu pantes dapetin orang yang bisa bikin kamu hidup, kamu pantes dapet orang yang menciptakan bahagia bersama kamu, dan itu bukan aku. Pelan-pelan, ada waktunya. Tuhan ga sejahat itu sampai kamu harus nunggu lama." Jelasnya.

Tanpa mendengar apa jawabanku, dia pergi meninggalkanku sendiri.

Dia benar.
Sekarang aku menemukan bahagiaku.
Tidak hanya satu, tapi beribu.
Jika dulu aku hanya bisa menangis mendengar ucapannya, kini jika kami di pertemukan kembali, aku ingin mengucapkan terima kasih karena dia menyerah dan aku perlu menemukan warnaku.
Ucapan terimakasih yang tulus dari lubuk hatiku, dan semoga aku sanggup.

 Ucapan terimakasih yang tulus dari lubuk hatiku, dan semoga aku sanggup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



☁To Be Continued☁

Baby,Good Night! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang