BAB 1 : Titik Temu

433K 19.9K 362
                                    

JANGAN LUPA FOLLOW YA :')

******

Hari pertama masuk sekolah setelah libur akhir semester di SMA Kartini. Seharusnya hari ini adalah hari yang membuat Lea bahagia bagaimana tidak tepat pada hari ini dirinya telah menginjak kelas 2 SMA. Bertemu kembali dengan teman-temannya yang sudah satu bulan penuh tidak bertemu ataupun hangout bareng, karena masing-masing dari mereka memilih berlibur dan mudik ke kampung halaman. Soalnya liburan kali ini bertepatan dengan hari raya idul fitri yang di jalankan oleh semua umat muslim di seluruh dunia.
 
Namun sayang, hari yang Lea kira akan indah kini musnah sudah. Tepatnya pada jam setengah dua belas siang ketika dia mendapat telepon dari Bunda.
 

 
“Iya Bun ada apa?” jawab Lea melalui sambungan telepon yang terhubung dengan Bunda. Untung saja sekarang sedang ada jamkos karena guru yang mengajar tidak datang ke sekolah mungkin masih asik liburan.
   
“Bunda jemput sekarang ya?” tanya Bunda di sebrang sana.
   
Lea mengerutkan keningnya heran, bukankah Bundanya tahu jika sekarang masih jam pelajaran. Jam pulang masih sekitar empat jam lagi agar pas menjadi pukul 15.30 WIB.
   
“Kok jemput sekarang? Kan belum jam pulang, Bun. Bunda lupa?”
   
“Enggak, bukan gitu. Ini urgent banget. Kamu harus pulang sekarang, Bunda jemput ya, sekalian minta izin.”
   
“But why? Please tell me right now.”
   
“Muka lokal aja so Inggris kamu. Pokoknya Bunda gak mau tau, kamu harus udah nongkrong di depan sekolah!” perintah Bunda tidak terbantahkan dan langsung mematikan telepon sebelum Lea bertanya kembali.
   
Lea menjauhkan handphonenya dari telinga seraya menatap heran, tidak seperti biasanya Bunda menyuruh pulang sebelum waktunya.
   
Namun karena tidak ingin terlarut dalam pikiran, lantas saja Lea meraih tasnya di atas meja yang membuat teman-temannya mengernyitkan kening.
   
“Mau kemana lo? Bolos?” tanya Salsha teman sebangkunya.
   
Meskipun Lea terlihat angkuh dan sombong akan tetapi dia murid yang cukup teladan. Tidak pernah membolos dan kesiangan, dia cukup tahu diri jika dirinya memiliki otak yang biasa saja tidak pintar dan tidak bodoh maka dari itu dia tidak pernah membuat ulah yang berlebihan. Paling melabrak orang ketika harga dirinya merasa terluka, masalahnya memang klise banget sama kayak murid-murid yang lain.
   
“Sembarangan. Tadi Bunda nelpon nyuruh pulang.” Jawabnya sambil memasukan power bank, handphone serta make up ke dalam tas. Salah satu fakta yang menarik yaitu Lea tidak bisa hidup tanpa gincu apa pun jenisnya yang penting bibirnya harus berwarna meskipun tanpa menggunakan juga sudah berwarna pink asli tapi tetap saja Lea tidak percaya diri.
   
“Mau ngapain emang?” tanya Tania.
   
“Gak tau. Katanya sih darurat.” Jawab Lea sambil menyampirkan tas di bahunya.
   
“Awas lo jangan ngada-ngada, baru masuk udah bikin dosa.” Ujar Sandra penuh dengan tuduhan.
   
Mendengar tuduhan itu membuat Lea mendelik, “mata lo ngada-ngada, nih liat sendiri bukti telponnya kalo perlu lo tanyain aja sendiri sama Bunda gue.” Ujarnya seraya menyodorkan handphone biar Sandra lihat kalau dia tidak sedang berbohong.
   
“Iya-iya udah sana, kita percaya.” Sahut Alana yang tidak ingin mendengar keributan. Salsha Sandra dan Lea kalau sudah disatukan pasti berisiknya ngalahin ibu-ibu yang sedang bertempur ambil barang diskonan.
   
Lea menarik lagi handphonenya. “Ya udah, kalo gitu gue duluan ya. Terus kalo ada guru tolong izinin. Bye bayi bagongku.” Ujar Lea seraya melambaikan tangan kepada ke empat temannya yang sudah bersiap melempar apa pun yang berada di atas meja mereka. Sedangkan Lea sendiri sudah lari terbirit-birit keluar.

******   

Setelah menunggu sekitar 15 menit akhirnya Bunda datang. Tapi alangkah terkejutnya Lea ketika membuka pintu penumpang yang berada di depan. Bundanya tengah duduk sedangkan sang Ayah yang menyetir.
   
Lea mengernyit heran maka semakin banyaklah pertanyaan yang bercabang di otaknya semenjak Bunda memaksanya untuk pulang. Dan sekarang dia mendapati Ayahnya yang ternyata ikut menjemput. Bukankah beliau dua hari yang lalu telah kembali ke Jakarta untuk bekerja? Tapi kenapa sekarang ada di sini? Weekend masih jauh. Tidak mungkin jika kedua orangtuanya akan mengajak Lea makan siang. Mereka berdua orang sibuk, Ayahnya seorang arsitek yang bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta sedangkan Bunda seorang designer yang memiliki butik sendiri di Bandung.
   
“Kita mau kemana sih?” tanya Lea yang sudah mulai bad mood, dia duduk di belakang seraya menyedekapkan tangannya di depan dada. Sedari tadi di sepanjang perjalanan dia bertanya kenapa Ayahnya bisa berada di sini? Kenapa Bunda menculik dirinya dari sekolah? Kenapa perjalanannya sangat jauh? Dan kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaannya dengan benar? Lea sangat kesal. Mereka mengacuhkannya.
   
“Bawel banget sih.” Tegur Bunda yang tidak tahan mendengar gerutuan Lea sedangkan Ayah masih fokus menyetir. Hal seperti itu sudah biasa baginya. Bunda dan Lea memiliki sifat yang sama meskipun Lea memiliki mimik muka seperti Ayahnya kalau diam terlihat dingin.
   
“Abisnya aku nanya dijawabnya gak pernah serius.”
   
“Nanti kamu juga tau.” Sahut Ayah yang sedari tadi hanya menutup mulut. Lea mendengus.
   
Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai di rumah sakit.
   
Lea mengernyitkan keningnya. Siapa yang sakit? Pikirnya, tidak mungkin keluarganya kan? Ataukah adik perempuannya? Bisa jadi, soalnya saat ini Septhi tidak ada bersamanya.
   
“Siapa yang sakit, Bun? Septhi? Bukannya tadi sekolah ya?” tanya Lea seraya berjalan di lorong bersama Ayah dan Bundanya. Benarkah adiknya yang bawel itu sakit? Sebab ketika dia bertanya raut wajah Bunda langsung berubah sendu.
   
“Bukan.” Jawab Bunda seadanya. Kemudian mereka memasuki lift setelah mengkonfirmasi sesuatu di resepsionis.
   
“Terus siapa dong? Di rawat di tempat mewah gini, pasti dia orang kaya.” Celetuk Lea yang langsung mendapat pelototan dari Bunda. Masih aja mikirin harta orang.
   
“Temennya Bunda.” Jawab Ayah pada akhirnya. Lea mengangguk mengerti. Pantas saja, soalnya kalau dipikir-pikir keluarga Lea tidak mungkin juga dirawat di sini selain harga yang cukup mahal letaknya juga cukup jauh dari rumah.
   
Tibalah mereka di depan salah satu pintu ruangan yang berada di lantai delapan tempat ruang rawat inap kelas president suite berada. Ketika masuk, di dalam sana ada beberapa orang yang tengah duduk di sofa, Lea tidak memperhatikan siapa saja orang-orang itu fokusnya hanya ke isi ruangan yang sangat luas tidak seperti ruangan rumah sakit yang pernah dia kunjungi, disini seperti tengah tinggal di hotel atau lebih tepatnya di apartement semuanya lengkap karena di dalam ruangan ada ruangan lagi. Emang orang kaya fix pikir Lea yang takjub.
   
Ketika tengah asik mengamati tiba-tiba saja tangannya sakit seperti ada yang mencubit.
   
“Aw.” Ringis Lea yang langsung memegang tangannya yang ternyata ulah Bunda.
   
“Disuruh kenalan malah bengong, cepet salaman.” Ujar Bunda seraya menggiring Lea ke orang-orang yang dia anggap teman Bundanya.
   
“Lea tante.” Ujar Lea ketika mencium tangan Sasa.
   
Sasa tersenyum seraya sebelah tangannya mengusap rambut Lea.

THE SECRET RELATIONSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang