BAB 2 : Tunduk Terhadap Takdir

355K 21.1K 832
                                    

Anak cantik, anak ganteng, anak baik jangan lupa follow ya :))

******

Kedua perempuan berbeda generasi itu kini telah duduk di bangku taman. Semilir angin dan bau bekas hujan yang menyentuh tanah tercium sangat khas. Tidak ada matahari maupun pelangi yang menghiasi langit mendung itu. Hanya ada gumpalan awan hitam yang sepertinya siap menjatuhkan kembali air hujan.
   
“Bunda mau jelasin apa sekarang?” Lea menatap Bunda yang duduk di sampingnya. Mereka berbicara ditemani pemandangan indah kota Bandung dari atap gedung yang tinggi. Rasa sejuk tiba-tiba menerpa wajah dan tubuh.
   
“Dengerin Bunda. Kamu harus diem gak boleh motong apalagi ngebantah omongan Bunda. Setuju?”
   
“Emang apa sih?” tanya Lea kembali kesal. Bunda selalu bertele-tele. Kayaknya hobby Bunda yaitu menggoda Lea sampai kesal.
   
“Setuju gak?”
   
Akhirnya Lea menyerah dan mengangguk sebagai pertanda bahwa dia menyetujui syarat yang diajukan Bunda.
   
“Kamu tau kita kesini mau apa?” tanya Bunda yang kali ini terdengar serius.
   
Lea diam tidak menjawab.
   
“Kenapa diem? Jawab ih.” Bunda kesal. Katanya tadi Lea ingin tahu tapi ketika ditanya malah diam.
   
“Tadi kata Bunda aku harus diem gimana sih, anak selalu salah,” gerutu Lea, kalau dipikir-pikir ada benarnya juga.
   
Bunda memutarkan kedua bola matanya. Anak siapa ini astaga bikin kesal saja, lemotnya minta ampun. Sepertinya Lea tertukar ketika di rumah sakit atau ada obat yang salah disuntikan ketika imunisasi pikir Bunda.
   
“Kalo Bunda nanya ya harus dijawab dong. Kamu ini pantes gak pernah jadi anggota OSIS.” Nyinyir Bunda ketika teringat kembali akan track record Lea selama sekolah tidak pernah sekalipun menjadi anggota OSIS.
   
“Ish iya, yang jelas dong biar akunya gak salah lagi.” Dengus Lea, dirinya selalu malas kalau sudah membahas OSIS dengan segala kesibukannya. Karena dia masih dendam dengan perlakuan anggota OSIS yang semena-mena ketika dirinya MOS atau sekarang disebut MPLS, baik itu semasa SMP atau SMA keduanya sama saja memperlakukan calon siswa dengan tidak baik. Lea masih ingat ketika dirinya MOS SMP disuruh memakan permen bekas teman di sebelahnya sontak saja Lea langsung menolak bahkan sampai menangis karena tidak mau makan permen itu, tapi untungnya sekarang tindakan perpeloncoan sudah dilarang.
   
Bunda menulikan pendengarannya dia memilih diam, jika mereka terus berdebat seperti ini hingga upin-ipin tumbuh rambut juga tidak akan selesai-selesai.
   
“Kita di sini bukan cuma mau jenguk sahabat Bunda, tante Irene. Tapi juga sekalian mau nikahin kamu sama anaknya.”
   
Lea melebarkan matanya, ternyata dugaannya benar. Lantas dia berdiri sambil terkekeh meskipun hatinya ketar ketir, sudah cukup semua ini tidak lucu sama sekali.
   
“Udah Lea duga, maaf Bunda kali ini aku mau jadi anak durhaka aja gak mau nurut sama ucapan Bunda.” Ujar Lea seraya membuang muka karena tidak mau melihat ekspresi yang Bunda berikan.
   
“Bunda serius Lea!” ujar Bunda dengan penuh penekanan untuk menegaskan jika dirinya kali ini tidak sedang bercanda.
   
Lea membalikan badannya menatap Bunda. “Maksud Bunda apa? Lea mau dijodohin gitu? Gak, Lea gak mau! Lea tadi udah bilangkan kalo gak suka drama yang kayak gini?” tolaknya dengan suara yang terdengar nyaring tanpa memperdulikan beberapa orang yang tengah memandang penasaran ke arahnya.
   
Lea tidak bermaksud berbicara keras kepada Bunda. Dia hanya refleks melakukannya. Ah bayangkan siapa yang tidak kaget jika tiba-tiba kalian akan dinikahkan hari ini. Coba dicatat dengan baik-baik hari ini dirinya akan menikah hanya menggunakan seragam sekolah, tanpa riasan, dan juga wajah yang sedikit kucel.
   
“Dengerin dulu, Bunda punya alesan buat itu.” Bujuk Bunda, sudah dia duga sebelumnya jika Lea akan menentang dengan keras pernikahan dadakan ini.
   
“Percuma Bunda jelasin. Lea tetep gak mau titik! Pemikiran yang kuno banget pake jodoh-jodohin anak.” Dengus Lea.
   
“Tante Irene kritis, Kak! Dia mau di operasi asal nyaksiin dulu kamu nikah sama anaknya. Dia takut anaknya sendirian kalo operasinya gagal.” Jeda Bunda kemudian menarik nafas dalam-dalam karena capek sudah berteriak.
   
“Tante Irene gagal jantung kronis. Dia single mother. Kemungkinan berhasil atau nggak operasi jantungnya cuma lima puluh banding lima puluh. Dia gak mau ninggalin anaknya sendirian. Anaknya udah cukup menderita pas tante Irene cerai. Kamu harusnya ngerti itu. Gimana kalo kamu ada diposisi dia? Gimana kalo Bunda sama Ayah cerai terus Bunda di vonis dokter umurnya gak bakal lama lagi? Apa yang mau kamu lakuin? Pasti nangis, sedih, terpuruk. Bunda gak sama kayak Ayah begitupun sebaliknya.” Jelas Bunda dengan panjang lebar tapi kali ini terdengar pelan tidak lagi berteriak setelah melihat Lea kembali duduk.
   
“Tapi kenapa harus aku? Kenapa harus anak Bunda? Kayak tante Irene gak punya temen lain aja buat dijodohin sama anaknya.” Tanya Lea yang masih heran dengan pemikiran para orang tua. Jujur saja dirinya belum siap jika harus menikah diusia yang masih muda. Bahkan dirinya masih berusia 16 tahun. Lea juga masih ingin menikmati masa mudanya.
   
“Kalo gak kamu terus siapa lagi? Septhi? Dia masih kecil banget Lea. Umurnya juga baru 13 tahun. Tolong, kali ini kamu berkorban ya? Please, buat orang seneng. Anaknya juga ganteng kok, blasteran. Katanya dia satu sekolah sama kamu. Kalo kamu tadi liat ada cowok yang duduk di sebelah tante Sasa, itu anak Tante Irene. Kali ini kamu percaya sama Bunda ya? Tante Irene juga udah percaya makanya mau jodohin anaknya sama kamu.” Ujar Bunda selembut mungkin supaya Lea luluh.
   
Sebenarnya Bunda juga tidak ingin merenggut kebahagiaan putrinya. Tapi dirinya bisa apa? Menolakpun dia tak kuasa. Semua yang terjadi mungkin suda kehendak Tuhan.
   
Lea yakin pasti Leo orangnya.
  
“Tapi aku gak bahagia, Bun.” Tangis yang Lea tahan kini telah pecah. Kalau diizinkan, Lea ingin menjerit tapi dia juga malu takut kena teguran orang.
   
“Aku juga belum kenal banget sama anaknya tante Irene, gimana kalo dia udah punya pacar? Emang Bunda mau anaknya diselingkuhin?” tanya Lea seraya mengelap ingusnya sambil sesenggukan.
   
Lea akui dari segi wajah Leo termasuk tipenya akan tetapi Lea belum tahu sifat Leo seperti apa, yang dia takutkan sifat Leo jauh dari kriterianya, seperti tukang selingkuh, ringan tangan dan pembohong.
   
“Mungkin ini jalan yang udah Allah takdirin buat kamu, ikutin aja, Kak. Inget Allah ngasih apa yang kamu butuhkan bukan apa yang kamu inginkan.” Nasehat Bunda, semoga saja Lea tersadar akan adanya takdir yang telah Tuhan tuliskan untuk dirinya.
   
Ada untungnya juga Bunda membaca kata-kata bijak di instagram jadi dia punya stok untuk menasihati Lea supaya mau menerima perjodohan ini tidak lupa ditambah dengan sedikit drama. Dan yang pastinya Bunda akan memiliki menantu bule yang bisa dipamerkan ke teman-temannya. Tanpa Lea ketahui Bunda sudah menyunggingkan bibirnya tipis sekali.
   
Lea terdiam mencerna perkataan dari Bunda. Benarkah ini adalah takdir Tuhan? Tapi kenapa harus seperti ini. Haruskah dia menerimanya? Percuma saja dia menentang jika takdirnya tetap harus menikah. Lagi pula tidak ada salahnya untuk mencoba.
   
“Ya udah.” Lea menunduk, mengambil nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, “Lea mau nikah.” Imbuhnya dengan lesu.
   
Dengan berat hati Lea menerima pernikahan itu. Semoga saja dirinya kelak tidak akan menyesal dengan pilihannya. Karena dia percaya bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatnya.
   
Bunda tersenyum bahagia lantas memeluk putrinya dengan sayang. Dia sangat berterimakasih, semoga pengorbanan putrinya tidak sia-sia untuk membuat semua orang bahagia.
   
“Semoga ini yang terbaik. Ikuti alurnya.” Nasehat Bunda.
  
Lea mengangguk. Semoga yang disemogakan dapat tercapai.

THE SECRET RELATIONSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang