6: Sunday

18K 1.1K 16
                                    

"KECELAKAAN?!"

"Iya, Mba. Harap segera ke rumah sakit karena di kontak ponsel pasien hanya ada nomer anda."

Shila yang panik segera menyetop taksi yang untung saja melewatinya disaat yang tepat. Otaknya sudah membayangkan hal yang tidak tidak membuat perempuan itu duduk tak tenang dan ingin menangis.

Butuh waktu sepuluh menit hingga akhirnya sampai di rumah sakit yang dituju. Shila sampai larian-larian di lorong rumah sakit menuju ruang di mana Devan ditangani. Seketika melupakan niat awalnya keluar rumah hari ini.

"DEVAN!!"

Seorang suster dan Devan sendiri menoleh terkejut dengan teriakan cempreng Shila yang datang dengan nafas terengah-engah.

Shila akhirnya bisa sedikit bernafas lega. Ia pikir kondisi Devan parah hingga tak sadarkan diri atau patah tulang atau semacamnya. Ternyata lelaki itu masih sadar. Dan sedang ditangani.

Lengan yang terluka, pipi kirinya juga diplaster. Celana di bagian lututnya bahkan robek. Shila meringis melihatnya.

"KOK BISA KECELAKAAN SIH?!" tanya Shila ngegas setelah suster yang menangani Devan pergi.

Laki-laki itu hanya menghela nafas panjang, "Nggak sengaja keserempet."

Shila tambah panik. "Terus mana orangnya sekarang?! Dia harus tanggung jawab dong! Kalau perlu lapor poli-"

Cklek

Atensi Shila teralih pada seorang pria paruh baya yang memasuki ruangan. Ditangannya sudah memegang sekantung obat untuk diberikan pada Devan.

"Sekali lagi maaf ya Mas. Saya yang salah. Tapi saya sudah bayar semua biaya rumah sakit dan membawa motor Mas ke bengkel. Ini obatnya—"

"Wah nggak bisa Pak. Devan sampai lecet-lecet gini loh. Nih pipinya sampai diperban! Kalau gantengnya ilang Bapak mau biayain oprasi plastik?!"

Devan mengangkat sebelah alisnya mendengar perkataan Shila barusan.

"Maaf Mbak—"

"Iya Pak, nggak apa-apa. Makasih." Devan menerima obatnya sehingga Bapak tadi langsung pergi.

"NGGAK BISA GITU DONG, DEV!!" Shila merasa tidak terima.

"Kok lo bisa disini?" tanya Devan santai, tak memperdulikan raut wajah Shila yang terlihat kesal nan khawatir.

Shila mengalah. Tak mau memperpanjangnya lagi.

"Susternya nelfon gue," jawab perempuan itu sambil memandangi luka yang ada di tangan Devan. Meringis, "pasti sakit ya?"

"Nggak seberapa."

Tak lupa Shila juga memandangi luka yang ada di pipi Devan. Spontan jari-jarinya menyentuh perban yang membalutnya dengan pelan. "Kok bisa sih? Kejadiannya gimana?!"

Devan merenung sambil menatap intens Shila yang masih menatap ngeri luka-luka di tubuhnya. Ia teringat kejadian tiga puluh menit yang lalu, yang mengakibatkan tubuhnya terhempas ke aspal dengan sangat mengenaskan.

Jika dipikir-pikir, tak sepenuhnya salah Bapak tadi. Devan juga salah karena dia mengendarai motornya sambil melamun, karena masih terngiang-ngiang kalimat yang Aldan katakan padanya.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang