30: Makan Malam

8.1K 473 35
                                    

"Cowok juga boleh nangis kok."

Langkah Aldan terhenti. Matanya mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

Berusaha menetralkan ekspresinya, Aldan terkekeh. "Siapa yang mau nangis? Lo juga ngapain di sini?"

Perempuan itu menggeleng pelan. Ia tahu Aldan tidak benar-benar tertawa. "Ini tempat umum. Nggak boleh gue ke sini?"

"Ya nggak gitu. Emang lo ke sini ngapain?" tanya Aldan sekali lagi.

Naya melirik ke arah makam yang baru saja didatanginya. Tak jauh dari makam Alya.

"Jengukin Kakek, tadi bareng Mama sebenernya."

Aldan menoleh kanan-kiri untuk mencari seseorang yang Naya maksud, tapi tidak ada. "Mana nyokap lo?"

"Mama udah pulang duluan. Harus buru-buru balik ke kantor."

Mengangguk samar, Aldan kembali mendongak. Langit semakin gelap, sebaiknya segera pergi sebelum hujan benar-benar turun dan pada akhirnya ia akan basah kuyup.

"Gue duluan ya."

Menjawab dengan anggukan, Naya juga segera berlari untuk mencari taksi yang akan mengantarnya pulang.

Tapi tetap saja kalah cepat dengan jutaan tetes air langit yang sudah membasahi bumi.

Berteduh di salah satu warung yang berada di pintu masuk area pemakaman, Naya sedikit mengusap-ngusap bajunya yang sudah keburu basah.

Tak lama ada motor menepi, lalu si pengendara berlari untuk ikut berteduh bersama orang-orang yang lain.

Aldan.

"Lah? Ketemu lo lagi," ujar Aldan begitu melihat Naya yang terlihat kedinginan.

Aldan duduk di salah satu bangku, menarik baju bagian belakang Naya agar perempuan itu ikut duduk dari pada berdiri tidak jelas seperti itu.

"Gue boleh pinjem hape lo nggak? Mau pesen taksi online."

"Hape lo kenapa emang?"

"Gue nggak punya aplikasinya, Dan. Pinjem dong. Pelit banget!"

"Lo pikir gue punya?" jawab Aldan membuat Naya berdecak.

Ingin meng-install dulu tapi di tempat ini tidak ada sinyal. Dan juga sekarang sedang hujan membuat Naya takut untuk membuka ponsel.

Naya pasrah. Lebih baik menunggu taksi melintas.

"Gue kira tadi gue salah liat, ternyata beneran lo," kata Naya sembari melirik Aldan sekilas. Daripada diam lebih baik membuka obrolan. "Tadi itu siapa?"

"Yang jelas, dia orang yang istimewa di hati gue."

Naya mengangguk. Tidak ingin bertanya lebih jauh lagi karena tidak mau mencampuri urusan orang lain. Naya sedang berusaha mengubah hidupnya untuk menjadi lebih baik lagi.

***

Biasanya, saat awal masuk sekolah setelah libur, malas akan mengusai diri Shila hingga membuatnya malas-malasan bangun pagi. Tapi entah mengapa kali ini ia merasa sangat semangat dan tidak sabar untuk menerima laporan nilainya selama satu semester ini.

Shila bertaruh dengan Rendy, kalau nilai fisikanya diatas 85, Rendy akan menuruti semua kemauan Shila selama tiga hari. Sebenarnya Rendy melakukan itu juga karena paksaan Shila sendiri.

Melepas helm, Shila terlebih dahulu merapikan rambutnya sebelum melangkah meninggalkan parkiran. Rendy mengikutinya di belakang untuk sama-sama ke kantin karena tadi pagi Mamanya belum sempat memasak sarapan.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang