25: Pengakuan (2)

8.2K 459 10
                                    

Lonceng yang terpasang di sebuah pintu cafe berbunyi, memunculkan laki-laki berpakaian casual dengan setelan kaus hitam polos. Sontak beberapa orang yang ada di sana menoleh untuk sekedar mengangumi wajah tampan si lelaki yang memang pandang-eble itu.

Tidak mempedulikan pandangan orang-orang, matanya mulai menjelajah ke seisi cafe untuk menemukan satu orang yang membawanya ke tempat ini. Sebuah lambaian tangan dari orang tersebut membuat Devan langsung menghampirinya.

"Hai," sapanya dan Devan hanya membalas dengan anggukan.

Seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan. Hanya memesan segelas kopi, lalu Devan langsung menatap ke arah Naya yang terus memamerkan senyumnya.

"Jadi mau ngomongin apa?" tanya Devan to the point.

Naya tertawa samar. Devan sangat tidak suka basa-basi membuatnya hanya bisa memainkan ujung bajunya gugup.

Tak lama pelayan kembali datang. Naya semakin gugup dan kata-kata yang sudah ia siapkan semalaman buyar seketika.

Naya akan mengaku sekarang.

Ya, itu harus. Daripada setiap malam tidurnya selalu tidak nyenyak lebih baik sekarang Naya mengungkapkan agar perasaannya jauh lebih lega. Naya sudah berusaha mengikhlaskan apa yang tidak bisa ia miliki.

Hubungannya dengan Devan sekarang sebagai seorang teman, jauh lebih baik daripada dulu yang tidak pernah menganggapnya ada.

"Mm.. Devan, gue mau jujur. Terserah kalau lo nggak mau temenan sama gue lagi."

"Kenapa?"

"Lo sadar nggak sih, kalau selama ini gue itu sukaaa banget sama lo?"

Kedua alis Devan terangkat begitu mendengar pengakuan Naya, tapi sedetik kemudia ia berusaha kembali menetralkan ekspresinya. Tentu saja selama ini Devan terlampau peka dengan sikap Naya yang super terang-terangan itu.

"Gue nggak butuh jawaban lo, kok!" sela Naya cepat saat Devan hampir buka suara. Mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa sangat sakit. "Nggak usah dijawab perasaan lo ke gue gimana..."

" ... gue udah tau kok hati lo milik siapa. Yang jelas bukan gue, kan? Iya gue sadar diri. Tapi gue udah lega banget bisa jujur ke lo, Van. Gue cuma berharap lo mau jadi temen gue."

Naya tersenyum. Tapi dengan jelas Devan bisa melihat bahwa perempuan itu menahan air matanya. Devan jadi merasa bersalah tanpa alasan.

Laki-laki itu kemudian meraih tangan Naya yang sedari tadi sibuk memainkan gelas. Membuat Naya melebarkan matanya tak percaya. Terlebih saat Devan mengacak rambutnya pelan.

"Iya, gue temen lo."

Kedua orang itu saling melempar senyum penuh kelegaan. Setelah menarik tangannya kembali, Devan berdeham dan mulai menyeruput kopi pesanannya.

"Sekarang lo udah nggak tinggal sendirian, kan?"

"Enggak. Mama di rumah sekarang. Baru kali ini gue ngerasain punya keluarga."

Devan tersenyum tipis melihat raut bahagia Naya. Meskipun keadaan keluarganya sendiripun tidak jelas bagaimana.

"Oh iya. Gue tunggu ya, Van, kabar baik lo sama Shila."

Karena disebut oleh Naya, Devan jadi teringat pada si pemilik nama. Setelah pergi ke pantai beberapa hari yang lalu, Devan tidak pernah bertatap muka lagi dengan Shila. Karena sedang libur semester, selain di sekolah memangnya Devan bisa bertemu Shila di mana?

Devan juga jadi teringat saat Aldan menyatakan perasaannya pada Shila. Rasanya masih tidak terima.

"Gue sama Shila udah punya jalan masing-masing."

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang