32: Maaf [Flashback]

6.2K 395 19
                                    

Devan hanya menatap kosong ke jendela taksi yang akan membawanya menuju tempat tinggal Shila. Setidaknya dengan memeluk perempuan itu perasaannya menjadi lebih baik.

Diiringi gemuruh rasa marah yang masih memenuhi hatinya. Pasokan udara semakin terasa menipis saat kembali membayangkan kata-kata Ayahnya yang dengan enteng menyinggung perannya yang hanya memberinya uang setiap bulan.

Itu yang disebut orangtua?

Devan muak dengan semua ini. Selama ini ia mencoba sabar karena menyadari bahwa bagaimanapun Fian adalah Ayahnya. Tapi karena Ayahnya yang menikah tanpa berbicara apapun, Devan pikir itu sudah keterlaluan. Kalau Ayahnya tidak menganggapnya anak lagi, ya sudah. Devan bisa hidup sendiri.

Dulu Devan pikir hidupnya sempurna. Memiliki keluarga yang harmonis saja sudah cukup baginya. Tapi semenjak kepergian Ibunya, semua itu hancur. Devan benar-benar sudah kehilangan tujuan hidupnya yang sudah ia susun rapi-rapi.

Cukup memakan waktu lama untuk sampai, Devan segera masuk dan memencet bel. Namun yang membukakan pintu malah Kiran, dan mengatakan bahwa Shila belum pulang.

"Sisil lagi main sama Ririn, Van. Biar Tante telpon aja, ya—"

"Nggak usah, Tante. Nggak papa. Devan pamit."

"Beneran? Masuk aja dulu, tunggu Sisil di dalem."

"Devan pamit aja Tante, permisi."

Devan tidak ingin mengganggu waktu Shila bersama Ririn. Memilih untuk pergi, meskipun tidak tahu harus ke mana. Ponselnya ditinggal di rumah, karena itu adalah pemberian Ayahnya. Devan pergi dari rumah benar-benar hanya membawa uang tabungannya.

***

Aldan menghentikan motornya tepat pada halaman rumah kayu yang terlihat modern dengan pohon-pohon di sekelilingnya.

Setelah Devan tidak masuk sekolah dan tidak bisa dihubungi, tidak perlu waktu lama bagi Aldan untuk menemukan sahabatnya itu. Memangnya apa yang tidak diketahuinya tentang Devan? Tanpa diberitahupun Aldan sudah tahu apa yang terjadi padanya.

"Aldan?"

"Assalamu'alaikum, Kek."

Setelah bersalaman hormat, Kakek Devan langsung memberi isyarat di mana laki-laki itu berada. Di kamar lantai dua, Aldan bisa melihat Devan duduk melamun di sofa kamar. Bahkan tidak menyadari keberadaan Aldan di sini.

Aldan mengambil salah satu guling dan langsung memukulkannya pada Devan. Membuatnya langsung menoleh, mengerjap sebentar, mata Devan melebar begitu menyadari siapa yang ada di sampingnya.

"Kok lo tau gue di sini?"

"Aldan gituloh," sombongnya membuat Devan mengendus.

"Sebenernya ada apa, Dev?" tanya Aldan lalu duduk di karpet bulu yang ada di sana.

Devan menghela nafas. Tanpa beban ia langsung menceritakan segalanya pada Aldan. Sahabatnya, yang paling dipercayai melebihi apapun. Dibanding dengan Ayahnya, Devan merasa lebih dekat dengan Aldan.

Aldan terdiam mendengar cerita Devan. "Jadi, lo mau di sini sampai kapan?"

"Nggak tau. Lo izinin gue, ya."

"Aman sama gue mah," jawab Aldan sembari menepuk bahu Devan. "Terus, Shila gimana?"

"Oiya. Pinjem hape lo. Kemaren gue ke rumahnya, Shila nggak ada."

"Hape lu sendiri kemana jir."

"Ditinggal di rumah."

Aldan bingung harus menjawab apa. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Aldan nyengir kuda. "Gue mana punya pulsa."

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang