27: Egois

8.4K 449 9
                                    

"Apa kita bisa mulai semuanya dari awal lagi?"

Butuh waktu beberapa saat bagi Shila untuk memahami maksud pertanyaan Devan. Berdeham untuk mengurangi rasa gugupnya, Shila menoleh ke arah lain. Yang penting tidak menatap Devan. Ia benar-benar tidak sanggup.

Setelah hening untuk beberapa saat, Shila berbalik. Karena tidak bisa berkata-kata lagi, Shila memilih untuk segera pergi. Berjalan dengan langkah sedang. Devan tentu mengikutinya, menyamai langkah Shila.

"Mau ke mana?"

"Pulang."

"Lo belum jawab gue."

Langkah keduanya terhenti. Devan menatap Shila penuh harap. Berharap Shila menjawab sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Shila menghembuskan nafas panjang. Perlahan ia memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan seseorang yang sukses membuat hatinya alih fungsi menjadi studio drum itu.

"Gue mau lo sama Aldan baikan. Rendy bakalan ngomelin gue kalo kalian masih berantem," aku Shila dengan sangat jujur sembari menundukkan kepalanya. Menatap jari-jarinya yang saling memilin untuk mengurangi gugupnya. Tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan Devan tadi.

Shila sedikit tersentak saat merasakan telapak tangan Devan mengusap kepalanya. Perlahan mendongak, Shila mendapati Devan yang sedang tersenyum tipis, tapi terlihat sangat manis. "Iya," sahut Devan sambil menepuk pelan kepala Shila beberapa kali sebelum kembali menarik tangannya.

Devan tahu ini akan terjadi. Ia berusaha ikhlas dengan keadaan. Shila tidak bisa menjadi miliknya lagi. Mencintai tidak harus memiliki, itu memang benar adanya.

Detik selanjutnya Devan menarik tubuh Shila pada dekapan hangatnya. Shila masih bungkam, butuh waktu beberapa saat untuk Shila perlahan melingkarkan lengannya pada pinggang Devan.

Saling mendekap untuk melepas rasa rindu yang selama ini hanya bisa terpendam di dada. Diiringi semilir angin sore yang menggugurkan daun-daun yang sedikit menerpa keduanya.

Sungguh, Shila ingin waktu berhenti sekarang juga. Rasanya sangat nyaman berada dalam pelukan Devan seperti ini. Untuk sesaat Shila sedikit meneteskan air mata. Terselip rasa perih di hatinya. Mengingat, mungkin ini menjadi pelukan terakhir mereka sebelum akhirnya menjalani hidup masing-masing?

***

Derap langkah seseorang menuruni tangga membuat Fanya yang sedang asik maskeran sambil selonjoran di sofa itu seketika menoleh. Menatap penuh selidik ke arah putranya yang sedang berjalan menuju kulkas lalu mengambil sebotol minuman dan langsung dihabiskan di tempat.

Ini adalah kali pertama Aldan keluar kamar setelah seharian ini hanya berkutat dengan game. Keluar untuk makanpun tidak. Biasanya, saat liburan, Aldan akan menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk nongkrong-nongkrong tidak jelas. Atau minimal mengajak Devan untuk bermain game bersama.

Tapi, entah sudah berapa lama Fanya tidak melihat anak laki-laki tampan itu menginjakkan kaki di rumahnya. Itu yang membuat Fanya terheran-heran. Pasti ada yang tidak beres.

"Aldan!!"

Aldan yang hendak kembali menaiki tangga itu menghentikan langkahnya. Menatap sang Mama dengan tatapan seolah tidak ingin diganggu. "Hm?" jawab Aldan malas.

"Nggak sopan banget jawabnya. Sini kamu!" bentak Fanya sedikit kesusahan membuka mulut karena masker greentea yang membalut wajahnya.

Meskipun sangat malas, Aldan tetap berbalik menuruti perintah Mamanya. "Kenapa, Ma?"

"Kenapa, kenapa! Kamu tuh yang kenapa. Lesu banget kayak orang mau mati besok. Ada masalah apa?!" tanya Fanya sambil mengelus Tarjo di pangkuannya. Tidak mengalihkan tatapan tajamnya sedikitpun dari Aldan.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang