29: Missing You

8.5K 435 4
                                    

Kedai kopi yang terletak di dekat sekolah memang selalu ramai setiap harinya. Apalagi sekarang sedang libur semester. Banyak muda-mudi yang nongkrong di tempat ini. Ada yang benar-benar datang untuk menikmati kopi, ada juga yang hanya numpang duduk untuk menggunakan wifi gratis yang disediakan di sini.

Saat mengedarkan pandangan ke dalam Cafe, Aldan bersyukur para pengunjung malam ini bukanlah para murid dari SMA-nya. Karena banyak sekali orang iseng yang hobi sekali menguping pembicaraan orang lain.

Terlebih, tujuan ia datang malam ini adalah untuk bertemu dengan Devan. Untuk pertama kalinya setelah waktu itu —dengan bodohnya ia sempat memukul wajah Devan.

Mata Aldan langsung bisa menangkap seorang laki-laki yang tengah duduk diam di sudut ruangan. Menatap meja di depannya dengan tatapan kosong. Bahkan kopi yang ada di hadapannyapun terlihat belum tersentuh.

Kakinya melangkah ringan. Begitu sampai di meja tersebut, Aldan berdeham. Membuat orang yang duduk di sana menoleh.

Sampai Aldan duduk di hadapan Devan, belum ada satu patah katapun yang keluar dari mulut keduanya.

"Udah lama kita nggak nongkrong bareng."

Kalimat pertama yang berasal dari Devan itu membuat Aldan mengangguk samar. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, laki-laki itu berdeham pelan. "Sorry," ujarnya. Ada jeda untuk beberapa saat sebelum Aldan kembali melanjutkan kalimatnya. "Sorry karena kelakuan gue selama ini childish banget."

Devan tersenyum tipis. Bagaimanapun, marah dengan sahabat tidak akan bisa bertahan lama, bukan? Emosi itu hanya sesaat. Dan mungkin bisa berefek selamanya jika kita tidak bisa mengatasi masalah yang tercipta karena ego.

"Gue juga minta maaf karena.. gue sempet emosi."

Aldan berusaha tertawa lalu menepuk bahu Devan beberapa kali.

"Lu mah sabar banget sama gue. Gue yang egois, Dev. Bayang-bayang Alya kadang muncul di kepala gue. Gue emosi tanpa sebab dan, melampiaskan semuanya ke elo." Aldan mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas. Rasa bersalah begitu kentara di sorot matanya.

Devan meringis dalam hati. Tentu saja ia sangat tahu bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang paling dicintai.

"Mau sampai kapan, Dan?"

"Apanya?"

"Lo harus relain Alya pergi."

Aldan terdiam. Ya, selama ini ia hanya terus terfokus pada rasa marahnya karena kepergian Alya yang tiba-tiba. Lari dari masalah dan akhirnya bertemu dengan Shila yang malah menyukai sahabatnya sendiri.

Dan emosi yang terpendam selama ini dengan bodohnya malah dilampiaskan pada Devan.

Aldan meringis. Mengingat perilakunya yang—

Ah, jika Mamanya tahu bagaimana kelakuan anaknya ini, bisa dipastikan Aldan akan mendapat ceramah tujuh hari tujuh malam.

"Gue akan mencoba," jawab Aldan setelah terdiam cukup lama.

Meraih segelas kopi yang belum sempat disentuh oleh Devan, Aldan langsung meneguknya sampai tinggal setengah gelas.

Sontak Devan melebarkan matanya. "Itu punya gue."

"Elah pesen lagi sono," sahut Aldan sambil melirik Devan yang kini juga sedang tertawa.

Aldan masih memikirkan pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Bertanya sekarang, atau tidak sama sekali. Lebih baik semuanya diselesaikan sekarang juga.

"Lo sendiri .. gimana sama Shila?"

Devan mengangkat sebelah alisnya. Aldan berdecak. "Lo udah ajak dia balikan belum?"

"Letting go is the best choice."

Aldan tiba-tiba tersedak padahal dia tidak sedang minum. Aldan memang tidak terlalu tahu bahasa Inggris. Tapi ia bisa mengerti apa maksud perkataan Devan barusan.

"Maksud lo? Kenapa? Bukan karena gue, kan? Dev kan gue udah nggak papa. Gue yang bakal ngerelain Shila. Lo tetep maju." Demi apapun Aldan kembali merasa bersalah. Untuk yang kesekian kalinya.

"Bukan karena lo. Pertemuan dan perpisahan itu karena takdir."

"Devan apaan dah jangan jadi sok bijak gini. Perjuangin rasa lo buat Shila."

Gelengan pelan Devan membuat Aldan menghela nafas panjang. Kalau begini akhirnya, apa Aldan masih bisa bernafas dengan tenang?

***

Lima belas menit setelah sampai di tempat ini, Aldan masih setia termenung tanpa berniat beranjak sedikitpun. Kembali menatap sebucket bunga yang mulai layu disampingnya, Aldan menghela nafas.

Aldan tidak tahu Alya suka bunga apa. Jadi ia memutuskan untuk membeli bunga mawar saja karena rata-rata perempuan menyukai bunga itu, kan?

Setelah memakirkan motornya, Aldan perlahan melangkah masuk ke tempat dimana Alya-nya selama ini beristirahat. Entah perempuan itu beristirahat dengan tenang atau malah sebaliknya, Aldan juga tidak tahu pasti. Sebab, Alya pergi meninggalkan sejuta pertanyaan yang sampai saat ini masih belum terungkap jawabannya.

Aldan juga sempat berpapasan dengan beberapa orang yang pulang dengan mata sembab. Dan semoga saja ketika sudah bertemu Alya nanti, Aldan bisa menunjukkan bahwa dia adalah lelaki yang kuat.

"Hai, Alya. Kangen gue, nggak?" sapa Aldan ketika sudah berdiri tepat di samping makam yang masih dipenuhi oleh bunga-bunga.

Alya adalah orang baik. Aldan yakin, pasti banyak orang yang sering berkunjung ke sini agar Alya tidak merasa kesepian. Pasti banyak orang yang merasa kehilangan saat Alya pergi dengan tiba-tiba.

Sedangkan Aldan? Sibuk lari dari kenyataan dan melupakan Alya yang mungkin saja ... merindukannya?

Perlahan tangannya meletakkan bunga yang ia bawa tadi di dekat batu nisan yang bertuliskan nama lengkap Alya beserta hari lahir, dan hari kepergiaannya.

Dua tahun yang lalu.

Kepalanya menunduk dalam. Setelah memanjatkan do'a untuk Alya, Aldan mendongak. Bibirnya tersenyum getir.

"Lo ada masalah apa sih sampai pergi ninggalin gue kayak gini, Al?"

"Kenapa nggak cerita sama gue? Gue pasti bisa bantu."

"Harusnya kalo lo sedih, lo tinggal liat muka gue aja. Secara gue kan ganteng. Bisa jadi moodbooster lo. Harusnya jangan pendam semua sendirian."

Mungkin jika sekarang Alya masih ada dan mendengar Aldan mengatakan hal narsis seperti tadi, perempuan itu pasti akan tertawa lepas sambil sesekali menepuk sesuatu disampingnya.

Aldan menggigit bibir bawahnya. Sekuat-kuatnya seorang lelaki, jika sedang berada dalam saat terapuh, menangis bukan hal yang salah, kan?

Tapi tidak untuk saat ini. Aldan tidak mau Alya mengejeknya karena menangis.

Melamun untuk beberapa saat, Aldan menatap sekitar. Langit terlihat mendung dan bersiap meneteskan rintik-rintik air hujan.

Berusaha menarik kedua sudut bibirnya, Aldan berdiri. "Gue balik ya. Gue janji bakal sering ke sini."

Kakinya mulai melangkah meninggalkan makam Alya, namun matanya sesekali masih terus menatap ke sana. Berharap ia kembali melihat Alya meskipun itu hanya ilusi sementara. Tapi detik selanjutnya Aldan menggeleng pelan. "Maafin gue, Al. Lo istirahat yang tenang, ya."

Setelah bergumam pelan, Aldan kembali berbalik. Dan matanya langsung menangkap seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri dengan tatapan tak terbaca.

"Cowok juga boleh nangis kok," ujarnya tersenyum tipis.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang