14: Kesepakatan

9.7K 616 5
                                    

"Makasih ya, Al. Lain kali gue boleh kan ketemu Tarjo lagi?"

"Boleh banget." Aldan tersenyum hingga membuat matanya menghilang. Setelah melambaikan tangan dia kembali menjalankan motornya, dan bukan kembali ke rumah. Melainkan bertemu Devan.

Setelah Aldan benar-benar hilang dari pandangannya, Shila baru memasuki rumah dan sangat terkejut melihat Rendy yang berdiri di depan pintu memicingkan mata kepadanya sambil melipat kedua tangan.

"Ngapain lo?"

Rendy berdecak. "Lo sebenernya sama Aldan atau Devan? Inget, Shil. Mereka temenan loh."

Mata Shila melebar mendengar pertanyaan mendadak Rendy barusan. Apa salahnya hanya berteman?

"Emang nggak boleh gue temenan sama Aldan?"

Rendy menghela nafas kasar dan membuat gerakan tangan seolah ingin mencakar Adiknya ini. Udah cengeng, goblok lagi.

"Ashila sayang, dengerin gue. Boleh kok lo temenan sama Aldan, boleh banget. Tapi harus inget, lo mantannya Devan. Nah, Si Devan temennya siapa? Aldan kan?! Tau nggak mereka berdua udah jarang bareng lagi sekarang, gara-gara siapa menurut lo?!" jelas Rendy berapi-api.

Rendy mengatakan hal ini pada Shila bukan tanpa alasan. Karena Eza dan teman-temannya yang menyuruh. Mereka tentu bisa melihat gelagat aneh pada Aldan maupun Devan. Yang semula Aldan selalu tau segalanya tentang Devan, kini laki-laki dingin itu menjadi semakin tertutup pada siapapun.

Sedang Shila mematung ditempatnya. Jari telunjuknya bergerak pelan menunjuk dirinya sendiri. "Gara-gara.. gue?"

"Ya iyalah!!"

Shila tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Berkali-kali Rendy sudah memberitahunya tentang hal ini tapi makin hari ia malah semakin dekat dengan Aldan.

"T-terus.. gue harus—"

"Rendy, Shila, ayo masuk! Magrib gini kok malah ngobrol di luar?" Kiran merangkul Shila memasuki rumah diikuti oleh Rendy.

"Sisil ke kamar dulu ya, Ma."

Perempuan itu langsung berjalan lunglai menuju lantai dua, dan Rendy tetap mengikutinya.

"Eeh tunggu!" tahan Rendy saat Shila hendak menutup pintu, "kali aja lo butuh temen ngobrol."

Tanpa menjawab Shila membuka pintunya dan membiarkan Rendy duduk di kasurnya. Wajah Shila berubah menjadi datar tanpa ekspresi. "Gue mau mandi dulu. Awas aja kalo ngintip."

"Yakali anjer gue makan Adek sendiri!"

Dua puluh menit setelahnya, Shila keluar kamar mandi sudah lengkap menggunakan piyama barbie kebesaran miliknya. Tidak menemukan Rendy di kasurnya lagi, melainkan sedang genjrang-genjreng di balkon.

"Lo mandi apa semedi sih?! Lama banget," komen Rendy saat Shila sudah benar-benar duduk di sofa setengah lingkaran di sebelahnya.

"Ini udah yang paling cepet, tauk!"

"Serah dah. Nggak ngerti lagi gue sama cewek. Pusing gue." Rendy mengendus kesal.

Shila merebut gitar dari tangan Rendy lalu memetiknya sembarangan. Teringat dulu Devan selalu mengajarinya bermain gitar.

"Oneng?"

"Hm?"

"Lo sebenarnya masih suka sama Devan, kan? Jujur aja sama gue."

"Nggak ah, lo kan ember kayak lambe turah," jawab Shila tanpa mengalihkan pandangan dari gitarnya.

"Kagak gua mah. Janji."

Shila tersenyum tipis. "Udah enggak, kok."

"Oh jadi sukanya sama Al—"

"ENGGAK!" sela Shila cepat, "temen doang."

"Tapi gue yakin Aldan nganggep lo lebih dari itu, Shil. Keliatan banget kalo tu anak suka sama lo."

***

Dinginnya angin malam bahkan tak dapat menandingi dinginnya suasana antara kedua laki-laki yang bersahabat sejak duduk di bangku merah putih itu.

Hanya saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing selama hampir sepuluh menit. Banyak kata yang ingin disampaikan, tapi seolah membuka mulut saja rasanya enggan karena suasana benar-benar dingin dan.. canggung.

Cukup lama mereka bersahabat, tak pernah secanggung ini sebelumnya.

Laki-laki jangkung berjaket hitam yang hanya diam dipinggir lapangan, dengan mulut membisu dan otak yang sekarang sudah tidak bisa untuk berpikir apapun lagi kecuali nasib persahabatannya dengan Aldan yang duduk dengan jarak satu meter dengannya itu.

Alis tebalnya saling bertautan serius, bibir tipisnya terus terbuka, lalu mengatup kembali saking tak bisanya berkata-kata.

Suara jangkrik yang bersahut-sahutan pun menjadi satu-satunya suara yang membuat keadaan malam ini tidak terlalu sunyi.

Disisi lain Aldan tak kalah bimbangnya, ia terus memutar otak untuk menyusun kata-kata yang pas agar perasaan mengganjalnya dengan Devan selesai malam ini juga.

Menyukai perempuan yang sama dengan sahabatnya sendiri tidak pernah ada dalam bayangan Aldan selama tujuh belas tahun hidupnya. Tapi kali ini untuk mengalah lagi, Aldan juga tidak akan pernah melakukan itu.

"Kita harus punya kesepakatan, Dev. Biar semuanya jelas. Jangan diem-dieman kayak anak kecil gini."

***

Berguling kesana-kemari hampir selama satu jam, Shila tak kunjung mendapat posisi yang pas untuk dapat mengantarnya ke dunia mimpi. Matanya tak kunjung terpejam dari tadi.

Entah keberapa kali ekor matanya menoleh kearah jam berbentuk hello kitty yang terletak diatas nakas. Pukul sebelas. Kalau ia tidak tidur sekarang juga, sudah dipastikan besok akan kesiangan dan terlambat ke sekolah.

Ada perasaan mengganjal dihatinya setelah mendapat penjelasan Rendy tadi. Apalagi Kakak menyebalkannya itu memberinya sebuah pertanyaan konyol, pilih Aldan atau Devan?

Satu yang ada dipikirannya,

Gila!

Shila menggeleng keras saat otaknya malah menayangkan kenangan manis bersama Devan. Benar-benar gila!! Masih mengharapkan mantan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.

Ia mencoba untuk jujur pada dirinya sendiri. Apakah masih menyimpan rasa pada Devan, atau tidak lagi. Hatinya mengatakan 'rindu', tapi otaknya terus menyangkal dan menyerukan kata 'gengsi'.

Shila menghela nafas panjang, lalu meraih ponselnya. Membuka galeri, dan di tumpukan foto paling bawah, ia menemukan beberapa foto Devan yang masih disimpannya. Shila merinding sendiri menyadari kenyataan bahwa rasa itu memang masih ada. Buktinya ia tidak bisa menghapus foto sialan itu.

Tapi untuk mengakuinya.. itu tidak mungkin karena rasa gengsi yang menghantuinya.

— bersambung

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang