12: Salah Sangka?

12.4K 652 35
                                    

[Flashback Devan pas anterin Shila pulang]

Suara ponselnya yang bukan hanya berdering satu kali, benar-benar mengganggu fokus Devan dalam menyetir. Ia baru saja mengantar Shila pulang setelah setengah hari tadi perempuan itu tidur di kamarnya. Suasana hatinya jauh lebih baik sekarang.

Berusaha tidak mengurangi fokusnya sedikit pun, tangannya meraih benda yang sangat berisik itu. Melirik sebentar, lalu mematikan daya agar tidak diganggu lagi.

Hanya nomor orang asing yang ia tidak peduli itu siapa. Malam-malam menelpon berkali-kali, sangat mengganggu.

Di ponselnya, memang hanya terdapat satu nomor yang kontaknya ia simpan. Iya, Ashila. Alasannya karena dulu Devan terlalu excited ketika mendapatkan nomor perempuan itu hingga cepat-cepat ingin menyimpannya.

Sedangkan nomor orang lain? Jujur, rata-rata Devan sudah menghafal nomor mereka. Seperti nomor Aldan, teman-temannya yang lain, atau pun keluarganya. Tidak ada niatan menghafal tapi hafal sendiri. Jadi ya sudah, Devan tidak perlu lagi repot-repot menyimpan nomor mereka semua.

Seorang Devanno Alfian hanya menggunakan benda yang menurut orang-orang adalah hal paling penting dibanding apa pun itu untuk membaca artikel saja. Tentang pelajaran, atau apapun yang menurutnya menarik.

Mobil yang ia kendarai akhirnya sampai di garasi rumahnya— bukan, sepertinya Devan sudah tidak menganggap lagi tempat ia pulang setiap harinya ini adalah rumahnya. Tapi.. hanya tempat singgah sebentar. Karena kalau Devan mau saat ini juga bisa meninggalkan tempat yang menurutnya bagai tempat asing.

Memang tidak ada kehangatan keluarga lagi bagi Devan sejak ibunya meninggal lima tahun yang lalu. Merubah total segala hidup Devan yang awalnya hangat, kini berubah menjadi sangat dingin. Yang awalnya tertawa adalah hal yang sangat mudah, kini menjadi hal paling sulit untuk ia lakukan.

"Dev, kamu udah makan tadi?"

Langkahnya terhenti. Tanpa menoleh menjawab, "Udah sama Shila tadi." Setelah mengatakan itu Devan segera memasuki kamar.

Bukannya Devan membenci Ayahnya sendiri, tapi ada begitu banyak alasan yang membuat ia muak.

Setelah Sandra —Ibunya meninggal, Fian sama sekali tidak mempedulikan Devan sehingga kepribadiannya berubah total sekarang. Hanya mengurusi pekerjaannya dari pagi sampai pagi lagi.

"Ayah kenapa nggak ada waktu buat aku? Ayah nggak sayang ya sama Dev?"

"Nggak sayang katamu? Terus siapa yang ngasih kamu uang selama ini kalo Ayah nggak sayang? Ayah udah ngasih uang setiap bulannya. Fasilitas terlengkap buat menunjang hidup kamu. Itu kamu bilang nggak sayang?"

Dan pada kenyataannya, kasih sayang orangtua, bukan hanya sekedar materi. Setelah hari itu, Devan sudah tidak perhah lagi berbicara dengan Ayahnya. Ia mencoba tidak pernah peduli lagi.

***

Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari muncul sepenuhnya, Devan sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Alasannya selalu berangkat pagi adalah karena Devan malas bertatap muka dengan Ayahnya, atau wanita siapalah itu. Sebelum mereka bangun kalau bisa Devan sudah pergi dari rumah ini.

Sebelum menjalankan mobil Devan menyempatkan diri untuk menghidupkan ponsel yang semalam ia matikan. Ada banyak pesan yang masuk setelah benda itu hidup sepenuhnya.

Dari nomor yang sama. Nomor yang menelponnya berkali-kali kemarin.

Baiklah untuk kali ini Devan penasaran dan membuka pesan terakhir yang dikirimkan.

[+628xxx]
Devan.. plis tolong..

Mengernyit heran, Devan sudah bisa menebak ini adalah salah satu modus penipuan. Tapi karena masih penasaran, ia mencoba mendengarkan pesan suara yang dikirimkan oleh nomor itu.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang