33: Dunia Memang Sempit

12K 741 97
                                    

Mantan, satu kata berjuta makna (?)


Ada yang mengatakan mantan itu sampah, dan harus di buang ke tempatnya. Tapi ada juga yang mengatakan mantan itu sesuatu yang bersejarah, dan harus diletakkan di museum agar selalu bisa di kenang.

Itu tergantung bagaimana pengalaman masing-masing manusia. Seseorang tidak bisa memukul rata dan menganggap semua mantan itu sama jahatnya hanya karena pengalaman buruknya sendiri. Karena belum tentu orang lain merasakan yang sama, kan?

Bagi Shila sendiri, ia tidak tahu harus menyimpulkan bahwa Devan memberinya kenangan manis atau malah sebaliknya. Yang jelas, ini semua hanya karena satu kesalah pahaman kecil dan akibat dari rasa keras kepalanya.

Beberapa hari lalu Aldan menemuinya, dan dengan gamblang dia mengatakan semuanya pada Shila. Tanpa disuruh dan dipaksa. Laki-laki itu juga terus mengucapkan maaf. Padahal semua sudah berlalu. Memang apa yang harus disesali? Sesal diakhir tiada gunanya.

Shila mencoba membuka lembaran baru, semoga saja ia bisa. Dengan satu kunci, yaitu merelakan. Ia sadar, selama ini tidak bisa merelakan Devan pergi dari sisinya, menyebabkan hal yang biasa disebut susah move on.

Padahal jika memang niat merelakan, pasti bisa.

Tak terasa ujian kenaikan kelas sebentar lagi akan diselenggarakan. Rendy saja sudah sibuk mempersiapkan ujian kelulusannya, begitupun Shila yang mencoba berdamai pada salah satu mata pelajaran yang selalu saja mendapat nilai jelek di rapornya.

Gadis itu mencoba berbuat baik pada Bu Siska dan tak mau mengungkit fakta bahwa beliau adalah mantan Ayahnya. Masa lalu biarlah berlalu.

Ririn berlari menghampirinya dengan membawa selembar kertas yang menginfokan jadwal ujian. "Makasih Ririn aku." Shila tersenyum tulus, namun itu malah mendapat balasan jijik dari sahabat laknatnya ini.

Shila tertawa dan tanpa sengaja matanya menatap seseorang dengan gaya santainya melewati tempat dimana Ririn dan Shila duduk. Laki-laki itu menatap Shila dan tersenyum tipis, tapi terlihat sangat manis. Shila segera menundukkan kepalanya dan kembali melihat jadwal pelajaran.

Ngomong-ngomong soal Devan, Shila merasa bahwa ini sudahlah akhir dari segala kisah rumit mereka selama satu tahun terakhir. Saat dulu Devan selalu mengiriminya pesan iseng atau memaksa untuk pulang bersama, kini laki-laki itu mulai bersifat biasa saja. Entah karena Devan yang sibuk belajar atau bagaimana.

Padahal waktu itu, setelah acara makan malam dengan keluarga Devan, mereka sempat dekat lagi meskipun hanya sebatas teman. Namun sekali lagi, inilah akhirnya.

Devan dan Shila sudah memiliki jalan masing-masing.

"Sisul pulang sekolah main ke rumah gue yookk. Gue di rumah sendiri."

"Emang ada makanan apa di rumah lo, hah? Gue nggak mau ya kalau nggak disuguhi makanan enak."

Kesal, Ririn menoyor kepala Shila yang isinya hanya makanan itu. "Iye bacot entar gue beliin jajanan sekresek."

Jawaban Ririn itu langsung mendapat sorakan kecil dari Shila.

***

Sebenarnya Gavin tidak pernah mengizinkan putrinya itu untuk membawa kendaraan sendiri dikarenakan sifat asli Shila yang sangat ceroboh dan diluar dugaan. Ia terlalu mengkhawatirkan Shila, takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Dan sebaiknya, Shila tidak membantah dan mau menuruti perkataan Papanya itu.

Perempuan itu memaksa membawa mobil ke rumah Ririn dan akhirnya saat pulang mobil yang dikendarainya tiba-tiba mogok padahal biasanya jika Rendy yang memakai juga baik-baik saja.

Dear My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang