Won Woo memaksa empat roda mobilnya untuk melaju dengan kecepatan di ambang batas normal. Ia tidak begitu mempedulikan jalanan yang dilindas roda-roda itu karena pikirannya sudah lebih dulu sampai di tempat tujuan. Dalam waktu yang bersamaan jantungnya berpacu kencang dengan alasan tertentu. Namun kekacauan itu tak tergambar sedikit pun di wajahnya yang teramat sangat datar.
Berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang tenang, kedua tangannya justru tengah mencengkram kuat kemudi di depannya. Walau fokusnya melarikan diri, ia masih bisa mengendalikan kendaraan yang ditumpanginya itu agar tetap melaju cepat dan mengikuti lekuk jalan. Berdoa saja semoga ia tidak terlibat kecelakaan.
Ia diburu waktu yang ditentukannya sendiri. Dan di kepalanya hanya ada satu perintah, ia harus cepat sampai tujuan bagaimana pun caranyaㅡtermasuk dengan cara mengorbankan keselamatannya.
Beruntung, ia tidak harus melakukan sejauh itu karena perjalanan berakhir begitu kakinya menginjak pedal untuk menghentikan laju mobil. Ia sampai di sebuah rumah yang tak asing lagi. Saat itu juga ia melepas sabuk pengaman dan langsung keluar meninggalkan mobil hitamnya yang tidak diparkirkan dengan benar.
Tidak seperti perasaannya, langkahnya bebas dari rasa ketegangan. Sejauh ini emosinya terlihat stabil dan didukung wajah datar yang melekat seperti topeng. Ia pun memasuki rumah dan disambut orang yang telah memintanya datang.
"Won Woo." Lucy yang menunggu di ruang tengah langsung berdiri menghampiri. "Aku hanya meninggalkannya sebentar dan saat aku kembali pintunya terkunci." Wanita itu menjelaskan tanpa dipinta. Sayangnya Won Woo tidak berminat menanggapi, bahkan menolehkan wajah datarnya saja tidak. Lelaki itu memilih langsung menaiki tangga yang menghubungkan dua lantai.
Kini ia berhadapan dengan pintu yang dibicarakan Lucy. Ia kemudian menarik pegangannya tapi pintu itu enggan terbuka. Lucy benar, pintunya terkunci.
"Min Hee." Suara rendah Won Woo mengharapkan balasan dari balik sana. "Kau baik-baik saja?" tanyanya mulai khawatir karena tidak ada sahutan.
"Min Hee-ya." Untuk yang kedua kali ia mencoba lagi memanggil nama wanita yang dikhawatirkannya itu. Namun kali ini ia memilih menunggu beberapa detik lewat begitu saja, memberi kesempatan agar panggilannya itu terjawab.
"Aku sudah mencobanya. Dari tadi juga tidak ada respons." Lucy memberi tahu.
Won Woo menyoroti wanita yang mengekorinya dengan tatapan tajam. "SEBENARNYA APA SAJA YANG KAU LAKUKAN?" Suaranya meninggi. Emosi lelaki itu akhirnya melebihi batas juga. Ia kesal karena asistennya tidak becus menjaga Min Hee.
"A-Aku... Hanya sebentar." Lucy terintimidasi bentakan Won Woo. "Aku membereskan rumah sebentar. Itu saja." Pandangan Lucy turun ke bawah karena tidak berani melihat sorotan mata tajam Won Woo. "Tapi saat aku meninggalkannya dia baik-baik saja," tambahnya tidak ingin disalahpahami.
Rahang Won Woo mengeras. Ia berusaha memenjarakan kembali emosinya yang semakin tidak terkendali. Tapi jangan harap kekesalannya itu mereda dengan cepat. Bagaimana pun kobaran api selalu menyisakan kabut asap.
"Minggir!" perintahnya mutlak harus dituruti.
Lucy langsung menyingkirkan diri dengan menjauh beberapa meter. Lagi pula ia tidak seberani itu untuk menentang. Terlebih jika orang yang ditentangnya itu dalam keadaan gusar.
"Won Woo." Lucy terkejut saat melihat Won Woo menghantamkan tubuhnya ke pintu yang jelas-jelas tidak selunak tempat tidur. Ia kembali mendekat dan mengunci pergerakan lelaki itu dengan lingkaran tangan yang dibuatnya.
"Hentikan!" Ia meminta Won Woo menghentikan aksi brutal itu. Nihil, usahanya untuk menghentikan Won Woo sia-sia. Padahal ia sudah mengorbankan salah satu tangannya. Gara-gara menahan tubuh lelaki itu, tangannya harus ikut terbentur ke pintu. Tunggu saja sampai melewatkan waktu semalam ia pasti melihat bercak biru kehitaman menodai kulit putih mulusnya.
"Yoon Seon Young!" geram Won Woo karena pergerakannya ditahan.
Lucy kali ini tidak peduli bentakan Won Woo. Ia hanya tidak bisa melihat laki-laki itu menyakiti diri yang secara tidak langsung menyakitinya juga.
"Hentikan, Won Woo!" bujuknya. "Apa sampai harus merusaknya? Kuncinya Won Woo. Dimana kuncinya? Kau pasti menyimpan duplikatnya kan?" Ia mendongakkan kepala dan sengaja mempertemukan matanya dengan mata tajam milik Won Woo. "Dimana kuncinya? Biar kuambilkan." Sekali lagi suara wanita itu mengalun lembut.
Lucy menyudahi pelukannya. Perlahan ia merelakan kedua tangannya lepas dari Won Woo, dan lelaki yang dilepaskannya itu langsung melesat menuju ruang sebelah. Lagi-lagi ia hanya bisa mengekori, lalu melihat Won Woo sibuk mengacak meja kerja yang tertata rapi.
Won Woo menarik laci meja kerja dengan cara kasar. Seandainya meja itu bukan benda mati pasti sudah menjerit kesakitan. Dalam keadaan terdesak seperti ini ia memang tidak peduli dengan apapun. Ingat saja tadi, ia hampir mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi untungnya ia belum ditakdirkan bertemu dengan malaikat.
Barang-barang di dalam laci menjadi kacau akibat perbuatannya sendiri. Salahkan kedua tangannya yang malah mengakibatkan pencarian sedikit terhambat.
"Jangan panik, Won Woo!"
"Tutup mulutmu! Aku sedang tidak ingin mendengar ocehanmu." Won Woo menampar Lucy dengan kata-katanya.
Si lelaki temperamen kemudian menarik laci sampai terlepas dari meja kerja. Ia menjatuhkan semua barang di dalam laci itu tanpa berniat membereskan lagi. Matanya melebar saat menemukan kunci-kunci yang menyatu dalam satu gelang kawat. Tanpa pikir panjang ia langsung menggenggam benda itu lalu melewati tubuh wanita yang mematung di tempat.
Won Woo terburu-buru menguji coba kunci-kunci yang dibawanya. Tapi untung ia tidak perlu mencoba semuanya karena kunci yang ketiga berhasil membuka pintu kamar Min Hee. Sebelum masuk ia menetralkan dulu tempo napasnya. Barulah ia masuk dan menemukan Min Hee meringkuk di atas tempat tidur. Setelah diperhatikan seksama ia melihat Min Hee tengah membungkam mulut dengan wajah dibasahi air mata.
"Min Hee-ya?" Won Woo memimpin kaki-kaki panjangnya untuk menghampiri Min Hee.
"Jangan mendekat!" Orang yang dihampiri malah mencegahnya.
Won Woo tentu saja bingung pasalnya saat ia meninggalkan Min Hee, wanita itu baik-baik saja. Ia tidak tahu-menahu perihal sebab air mata yang menetes dalam jumlah banyak dan dibuktikan dengan lipatan mata membengkak parah.
Ia tidak mengindahkan larangan Min Hee dan kembali menghampiri lalu mendekap wanita itu yang kini tersedu-sedu.
"Jangan menyentuhku!" Min Hee menolak tautan tangannya dan mendorong tubuhnya cukup kuat. "Lepas!"
Pandangan mata mereka bertemu saling menunjukkan perasaan masing-masing, dan Won Woo terkejut saat melihat tatapan kebencian yang ditunjukan Min Hee. Tatapan itu, ia pernah melihatnya dua tahun yang lalu.
"Min-Hee?" Tangan Won Woo terulur hendak mengusap wajah Min Hee. Namun sebelum tangannya itu sampai Min Hee lebih dulu menepisnya. "Kubilang jangan menyentuhku! Kau tuli?"
Tidak. Min Hee tidak pernah berbicara sekasar ini, kecuali hari itu. Hari-hari di mana Won Woo membuatnya menderita.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Doppelganger 《Jeon Won Woo》
Fanfiction"...Sekarang kau pilih, dia atau kau yang mati?" ㅡdoppelganger: ghost of a living personㅡ ©deffcth, July 2018