Penyihir Tanpa Trik dan Mantra

203 28 2
                                    

'Dia, seperti penyihir tanpa mantra dan trik.'

Acara syukuran di rumah Nathan berjalan lancar, Jisung juga sudah kembali. Mbah Celina Dion marah sekali kepada Jisung, sempat mau dikutuk jadi cucunya. Setelah semua itu selesai, semua penghuni komplek kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
.
.
.
.
.

Keesokan Harinya...
~~~^°~~~
K

ory pov.....

"Kory BANGUN!!BANGUN!BANGUN!"
Suara merdu yang merusak dunia menggelegar keluar dari mulut kakak gue. Suara kayak gitu cocok banget ikut audisi The Voice Kids. Do! Agnes Monica langsung mutar kursi, trus pergi ke toilet, lalu datanglah ambulans.


"Gue berangkat sekolah telat aja, nitip tas ya." Gue masih lengket banget dengan kasur, masih pengen berduaan dengan kasur.

"Telat direncanain😑, berangkatlah sebelum hiu yang menjemputmu!"

Widih, quotes banget. Gue cuma pura-pura gak denger gitu aja.

"AYO BANGUN, KORY!!" Seketika gempa berskala kecil terjadi, Ayah keluar dari kamarnya dengan wajah panik.

"AFTAGHFIRULLAH, ada apa ini?! Kok gempa?! Kory, Ryan!! Cepat berlindung di bawah meja, pakai helm kalian!"
SubhanAllah, ayah gue segera berlindung di bawah meja memakai helm, seperti bersembunyi dari bom yang akan meledak.

"Ini nih yah, Ryan."

"Tunggu sebentar, gempa tadi disebabkan karena suara Ryan?"

"Iya, suara prince Ryan cetar membahana."

"Bener itu suaramu Ryan?"

"Hehehe, ya begitulah."
Ayah berhenti panik dan ikut masuk ke kamar gue. Mereka memandangi gue yang sedang bermesraan dengan kasur.

"Kory, gue itu gak bisa diginiin, gue itu capek jadi ayam berkokok buat lo."

"Bangunlah sebelum ku kutuk jadi batu."
Ancaman legend dari ayah gue. Tunggu deh, perasaan yang bisa ngutuk orang jadi batu itu cuman ibu deh.

"Perasaan cuman ibu doang deh yang bisa ngutuk jadi batu."

"Kekuatan ibumu, diwariskan ke ayah. Udah, cepet mandi sana! Perlu dimandiin?"
Ayah mengangkat badan gue yang masih ingin tidur lagi, menarik tangan gue dan membawa gue ke kamar mandi.

Satu hal yang teringat jelas hari ini...

'Mata itu, melihat gue dengan tatapan iri.'

Akhirnya, gue dan kakak gue berhasil berangkat sekolah tidak telat kali ini. Kami berjalan beriringan di koridor, para siswi berbaris di pinggir koridor, seolah menyambut kedatangan kami. Namun, pikiran gue masih teringat dengan....

'Sepasang mata iri itu.'

"Gue masuk ke kelas duluan ya!" Ryan pamit untuk masuk ke kelasnya duluan.

"Ah, iya."
Dia melangkah pergi untuk memasuki kelas, namun saat jaraknya masih tidak jauh, gue putuskan untuk berteriak....

"Terima kasih, tanpa ayam berkokok, gue gak bakal ada disni."
Gue tersenyum tulus, merasa terharu dengan suara Ryan tadi pagi. Siapapun pasti sudah muak dengan gue, tapi Ryan tidak.

"Sama-sama, btw, nih ayam berkokok gak pernah lo kasih makan lho."

"Nanti deh, di kantin."

"Serius?!"

"Ya."
Bagi Ryan, ini jawaban yang singkat, padat dan jelas, namun sangat menyenangkan untuk di dengar. Dia tersenyum lalu masuk ke kelas, dan gue melanjutkan perjalanan untuk ke kelas gue.

Di koridor, dari sekian banyak siswi yang berbaris, hanya ada dua siswi yang tidak menghiraukan kehadiran gue. Yang satu berambut ungu, dan yang satunya lagi berambut merah.

Gue tidak penasaran dengan siswi berambut merah itu, gue penasaran dengan siswi yang berambut ungu dengan warna kulit sawo matang. Entah kenapa, kaki gue berjalan ke arahnya.

Gue mendekat...

Lebih dekat....

Semakin dekat.....

Hingga...

"Hai mantan babu!"
Gue menoleh ke arah sumber suara, gue sungguh terkejut. Itu! MANTAN MAJIKAN GUE!

"Kak Asher?!"

Tunggu, kalau kak Asher pindah sekolah kesini, berarti siswi berambut ungu itu...
LAYLA!
Gue menepuk jidat gue, bener sih, kemarin kan ketemu sama Layla, kok gue bisa lupa.
Tanpa gue sadari, kak Asher merangkul pundak gue.

"Hai mantan babu, gimana kabar lo?" Yap, gue dulu pernah taruhan sama kak Asher, yang kalah bermain bola akan menjadi babu. Yah, dan gue kalah.

"Hallo mantan majikan, gue baik."

"Gak pengen ngerti kabar majikan lo?"

"Gak pengen, udah ah jangan rangkul-rangkulan, entar dikira homo."
Gue melepas rangkulannya dengan sedikit kasar dan segera mengakhiri pembicaraan.

"Gue masuk ke kelas dulu."

Bruuuk...

"AAAWW!!"
Saat melangkah memasuki kelas, gue tertabrak dengan Layla.

"Maaf, maaf, lo gpp?"
Gue panik karena daritadi kak Asher yang merupakan kakaknya Layla melototi gue mulu.

"Ya, gpp."
Gak, bohong! Jidatnya merah gitu bilangnya gak pa-pa. Gue segera pergi ke UKS, mengambil kotak obat. Tapi, gue bingung, obat buat nyembuhin jidat yang merah itu apa?! Untung ada Dylan di UKS.

"Dyl, obat buat nyembuhin jidat yang merah gara-gara kebentur, yang mana?"
Sebelum menjawab pertanyaan gue, dia berpikir dahulu seraya memegang dagunya.

"Oh! Kasih perban trus diplester, gitu aja sih."

"Oke."
Dengan terburu-buru, gue berlari ke kelas, sebentar lagi masuk.
Akhirnya, sampai juga di kelas. Gue segera mencari bangku Layla. Setelah ketemu, gue mengeluarkan perban, gunting, dan plester.

Layla memegang jidatnya, gue tahu jidatnya pasti sakit gara-gara benturan dengan kepala gue. Tanpa meminta izin, gue langsung memperbenkan jidat Layla. Layla terkejut.

"Lo ngapain?"
Dia mendongak melihat wajah gue dengan heran.

"Sst, diem."

Bersambung......

Maaf sekali bagi up sekarang.

Salam,

Si penulis

Bukan Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang