Boleh lah gue dikatakan bersikap seperti anak kecil yang membabi buta karena terbakar rasa cemburu. Dan itu wajar menurut gue, gak ada yang salah dengan itu.
Dari pada harus kembali cekcok dengan kara selama reza ada di rumah, gue memutuskan untuk keluar dan diam di salah satu café yang tidak terlalu jauh dari lokasi apartement.
“dih, ngapain lo nongkrong disini sendiri? Kara mana, gak ikut?” kedatangan devina berhasil mengusik gue. anggaplah untuk part ini, siapapun yang berani mengusik gue pasti akan terkena api kekesalan yang gue rasa.
“gue lagi suntuk di rumah. Ngapain elo disini?”
“ya gue mau beli kopi lah! Elo kira gue kesini mau beli baju” jawabnya sarkas “kemarin aja lo overprotektif sama kara, taunya sekarang ditinggal nongkrong sendiri. Suami gak bertanggung jawab banget sih lo nat!”
sialan! Kalo aja bukan cewek, pasti udah gue ajak panco ini orang.Udah seharian gue diem di tempat ini selagi merenung. Gue gak kelewatan kan kalo minta waktu sebentar buat sendiri dulu.
Saat sore tiba, kara sepertinya mulai khawatir dengan menghubungi gue. Cih, bukannya enak ya dia ditinggal gue, biar bisa lama ngobrol berdua sama reza.
Tapi saat panggilan ketujuh dari kara yang gue hiraukan, perasaan gue mulai gak enak.
Gue berlari sekencang mungkin menuju apartement dan betapa terkejutnya gue saat mendapati kara tengah menangis memegangi perutnya dengan air jernih yang tergenang di sekitar kaki nya.
Saat gue tanya dia kenapa, kara masih menjawab disela tangisannya “aku jatuh di kamar mandi tadi”
Byar! Fikiran gue benar-benar kosong untuk sesaat. Air ketuban kara pecah, gue yakin itu. Tanpa berfikir panjang gue segera membawa kara ke rumah sakit.
Untungnya saat tiba di rumah sakit, dokter Hans ada di igd dan langsung menemani kara menjalani pemeriksaan dengan dokter spesialis kandungannya.
Selama setengah jam lamanya, gue hanya terpatung sembari memegang erat tangan kara yang gak berhenti nangis sejak masuk ruang periksa.
“bagaimana dok?” tanya gue.
"I'm so sorry mr.Nata" jawab dokter perempuan itu pasrah.
“air ketubannya sudah tidak ada, kamu pasti tau itu. Untungnya kamu tidak terlambat membawa istri kamu kesini, jika terlambat sepuluh menit lagi saja, saya tidak bisa menjamin kondisi kara dan bayi nya akan baik-baik saja” penuturan dokter hans benar-benar menampar gue.
Andai gue gak bersikap seperti anak kecil dan meninggalkan kara sendiri. Pasti semua ini gak bakal terjadi “kita akan melakukan observasi sebelum 24jam, selagi itu kara akan mendapat suntikan pematangan paru untuk bayinya” tambahnya.
“jadi perosesnya akan lebih cepat dari jadwal seharusnya dok?” tanya gue memastikan.
Dokter hans mengangguk membenarkan “bagaimana pun, bayi dalam kandungan tidak bisa bertahan tanpa air ketuban untuk melindungi nya. Jika kondisi kara bagus, kita bisa usahakan persalinan normal. Tapi jika selama kurang dari 24 jam belum ada pembukaan. Kita harus bawa kara naik op”
ini bagaikan menjawab mimpi buruk gue. Harusnya gue terus waspada terhadap kemungkinan apapun agar kara tidak mengalami hal yang selama beberapa hari ini gue takutkan.
“dokter bilang apa, yang?” tanya kara yang masih setia menangis.
“dedek harus lahir lebih cepat dari jadwal yang seharusnya sayang” jawab gue menghapus bulir air mata di pipinya.
“anak kita bakalan baik-baik aja kan? Dia bakal selamat kan?” tanya kara kembali semakin terisak.
Tuhan, hati gue benar-benar hancur melihat kara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life | Bbyu Vol.2
FanfictionSecond book of My (boy) Friend | Bbyu Vol.1 Banyak hal yang udah gue lalui bersama nata hingga sampai pada tahap ini, dan sekarang tugas gue adalah tetap berada disampingnya untuk melanjutkan apa yang gue dan nata mulai - KARA