Gue pengen banget percaya sama semua penjelasan yang nata jabarkan.
"Aku kenal sama dia bahkan belum satu minggu, yang" terangnya.
"Terus gimana kamu bisa jelasin bekas noda lipstik di kemeja kamu nat?" desak gue "kenal kurang dari satu minggu aja udah main pelukan kan? Apa kabar kalo kenal satu bulan bahkan satu tahun?!" tambah gue.
"Semua gak seperti yang kamu fikir, saat itu marrie lagi kalut. Anaknya sakit"
"Dan kamu merasa empati dan nawarin dia sebuah pelukan?!"
"Yang, kamu tau jelas maksud dari apa yang terjadi kemarin itu"
"Ya aku tau!" tangkas gue "kalo berbagi beban sama dia bikin kamu merasa lebih baik, lakuin itu nat! Toh sekarang sama kan? Kita berantem lagi seperti minggu lalu. Kamu pergi ke rs dan ketemu dia sekarang, kamu cerita apa yang terjadi antara kamu sama aku, dan kalian bisa saling meringankan dengan kembali berpelukan"
Sumpah gue udah gak tahan lagi, gue gak perduli kalo suara tangis gue udah gak sadar waktu, padahal agler baru aja tidur.
Pagi buta setelah malam yang dibanjiri air mata, gue bangun dan mendapati nata meringkuk di atas sofa depan tivi.
Hari ini dia balik ke rs, dan gue. Gue pengen pulang lagi aja rasanya.
"Agler udah bangun sayang? Mama nya lagi di kamar mandi dulu, main sama papa aja ya" samar dari balik pintu gue mendengar celotehan nata dan agler.
"Agler mandi dulu yuk sayang" gue masuk dan membujuk agler agar mau berpindah dari pelukan nata.
"Pa pa" tolaknya yang malah mempererat pelukan pada nata.
"Biar agler mandi bareng aku aja" pinta nata.
"Apa yang bisa bikin kamu percaya sama aku, yang?" tanya nata "apa perlu aku bawa marrie dan anaknya kesini buat jelasin semuanya sama kamu?"
"Gak usah"
"Terus mau sampe kapan kamu gini? Kamu gak mikirin agler? Kamu tau, walaupun masih kecil, agler pasti ngerasain kalo ada yang salah dari orang tua nya"
Oh waw!! Kenapa disini seakan gue yang bersalah, apa dia gak inget siapa pemicu semua ini terjadi.
"Dan apa kamu gak mikirin agler juga saat ada perempuan lain yang bertengger di pelukan kamu?" bantah gue.
Setelah perdebatan singkat sebelum nata pergi, gue cuma bisa nangis getir membayangkan hal yang semestinya gak gue fikirkan.
Apa yang terjadi antara gue dan nata ini berlangsung sampai minggu ke tiga.
Setelah 3 hari menginap di rs, nata pulang hanya untuk bergantian menemani agler dan berbaring di kamar sebelum gue masuk kedalam kamar.
Gue gak pernah sekalipun melarang nata untuk tidur di kamar, tapi mungkin karena suasana yang masih sangat canggung. Nata selalu pergi keluar kamar saat agler mulai rewel dan membutuhkan gue.
"Kamu pucat" ungkapnya saat gue sedang menyiapkan makan malam.
"Aku gapapa"
Nata bangkit dari kursi nya dan mendekat "Kamu istirahat aja, aku bisa panasin makanan nya sendiri"
"Aku gapapa nat" tolak gue saat dia mencoba membantu.
"Yang aku mohon.. " lirihnya memeluk gue erat.
"Kamu boleh marah-marah bahkan tampar aku kalo itu bisa bikin marah kamu reda. Tapi jangan gini, jangan bersikap kayak gini" tambahnya.
Entah kapan terakhir kali gue bilang kalo gue kangen pelukan nata. Tapi kali ini, badan gue seketika lemas saat kedua tangan nata melingkar dipunggung gue sedangkan kepalanya bersembunyi di ceruk leher gue.
Nata menangis. Ya, gue cukup kaget dengan itu. Tapi hati gue masih belum terima dengan apa yang terjadi kemarin. Fikiran dan hati gue belum satu jalan buat maafin dan ngelupain semua gitu aja.
"Aku mau kamu ikut sama aku" ungkap nata menghampiri gue.
"Aku males kemana-mana"
"Semua gak bakal beres kalo gini caranya, yang. Pliss berhenti egois dan buta akan usaha aku buat memperbaiki semua nya" pintanya.
Dan disinilah gue, berjalan di samping nata menuju sebuah kamar inap dimana terlihat seorang perempuan yang sedang menyuapi gadis kecil.
"Masuk, yang" ujar nata saat pintu terbuka dan berhasil mengalihkan pandangan ibu dan anak itu kearah gue.
"Haii marrie, i'll introduce my wife, Kara" monolognya membuat marrie meluruskan punggu lalu tersenyum kearah gue "Sini yang" tambah nata meraih tangan gue.
"Halo kara, thankyou for come. Nice to see you" sapa hangat marrie saat menjabat tangan gue.
"Gueena look, ada baby boy" gadis kecil yang awalnya murung itu seketika tersenyum melihat agler yang dipangku nata.
"Bisa kita bicara berdua?" pinta marrie.
"I feel so badly saat tau hubungan kamu dan dokter nata terusik karena saya"
Sejak datang hingga di ajak keluar ruangan dan mengasingkan diri berdua dengan marrie, gue hanya diam menunggu apa yang ingin telinga gue dengar.
"Malam itu, dokter mengatakan jika gueena tidak bisa bertahan lebih lama lagi" perhatian gue mulai teralih pada nanar matanya yang mulai mengembun.
"Hidup di negara orang lain. Sendiri, melahirkan dan membesarkan gueena membuat hati saya mati untuk laki-laki. Jika kamu berfikir saya berniat mencuri perhatian nata, kamu salah"
"Hidup saya hanya untuk gueena, hanya gueena yang saya butuhkan. Dia harta saya satu-satunya, dan jika saya harus kehilangan dia, saya memutuskan untuk menghabiskan hidup saya dengan kenangannya. Jadi tidak pernah terbersit dalam benak saya untuk kembali mencari pendamping. Apalagi itu suami orang lain"
"Kara pliss, i wanna tell you everyhing what you want to hear. Dokter nata tidak bersalah, kamu salah faham"
Terakhir kali gue mendengar penuturan marrie, pandangan gue gelap. Gue gak inget apa-apa sampe tangan hangat nata menyentuh punggung tangan gue yang tidak terpasang selang infus.
"Kamu gapapa, sayang?" tanya nata khawatir.
"Bayi kita gapapa kan?" tanya gue membuat nata mengkerutkan dahinya.
"Kenapa kamu gak bilang yang?" desaknya menghambur memeluk dan menciumi gue.
.
.
.Btw ini buat kalian yang ingin tau
visual nya Dies Marrie
.
.
Gimana?
.
.Ditunggu voment nya💋
Deapark.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life | Bbyu Vol.2
FanfictionSecond book of My (boy) Friend | Bbyu Vol.1 Banyak hal yang udah gue lalui bersama nata hingga sampai pada tahap ini, dan sekarang tugas gue adalah tetap berada disampingnya untuk melanjutkan apa yang gue dan nata mulai - KARA