"Kamu sengaja ya bawa-bawa saya terlibat di nikahannya Mbak Lia? Supaya kamu gak ada yang nanya-nanya kenapa kamu dilangkahin gitu?" cerca Tyas begitu keduanya kini hanya berdua saja di mobil dalam perjalanan mengantar Tyas pulang.
Leo tertawa mendengarnya. "Gak juga tuh, saya sih gak peduli soal langkah-langkahan. Toh jodoh sudah ada yang mengatur."
Tyas mencibir mendengarnya. Jawaban klasik! batinnya berseru. "Kalau memang gak peduli, ya udah hadapi sendiri dong. Gak usah bawa-bawa saya."
"Saya cuma gak mau repot-repot meladeni orang-orang yang tanya calon saya mana. Kan tinggal tunjuk kamu," jawab Leo santai.
Tyas mendelik sinis menatap Leo. Sejak kapan Tyas jadi calonnya Leo? Waktu sekolah saja Tyas menolak buat jadi calon ketua kelas, apalagi ini jadi calon dari seorang Leo. Banyak-banyak makasih deh!
"Sebenernya tujuan kamu tuh apa sih?" Pertanyaan yang sejak tadi Tyas tahan akhirnya bisa ia lontarkan juga. Ia sudah geram ingin menanyakan ini pada Leo sejak pria itu menjemputnya di hadapan Melisa.
"Maksudnya gimana?" tanya Leo balik.
Tyas berdecak pelan seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Semua yang terjadi hari ini maksudnya apa? Ngapain kamu bilang kalau saya pacar kamu di depan Melisa? Ngapain juga tiba-tiba kamu bawa saya fitting baju untuk pernikahan Mbak Lia? Sebenernya rencana kamu tuh apa sih? Saya pusing berhadapan sama orang kayak kamu!"
Mendengar omelan Tyas justru malah membuat Leo makin terbahak. "Rencana saya ya? Hmm..." gumamnya sambil menarik rem tangan saat menemui lampu merah. "Gimana kalau saya bilang saya berencana untuk menyentuh hati kamu yang sekeras batu itu?"
Tyas bergeming, menatap Leo dengan dahi berkerut bingung.
"Tyas, saya gak tahu apa memang kamu tipe orang yang keras seperti ini atau justru sebenarnya kamu hanya menggunakan topeng untuk menutupi kerapuhan kamu, tapi yang jelas saya mau berada di samping kamu, Yas. Kalau menurut kamu ini terlalu tiba-tiba, its okay, kita mulai pelan-pelan. Saya bersedia untuk menunggu, tapi saya gak akan mundur."
Tyas terperangah menatap Leo. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Pria ini... secara tidak langsung menembaknya? Tyas memalingkan wajahnya menatap kaca jendela di sampingnya. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu sangat cepat.
Leo tersenyum seraya mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Tyas. "Gak usah grogi, saya bukannya mau langsung nikahin kamu besok kok," guraunya namun tetap saja candaannya itu tidak bisa menormalkan kembali detak jantung Tyas.
"Kamu mau saya antar ke mana nih, Yas? Ke rumah Melisa lagi atau langsung pulang?"
Mendengar kata rumah Melisa, Tyas jadi teringat kalau ia belum menanyakan dari mana Leo bisa mengetahui alamat rumah Melisa. Meski sepertinya Tyas sudah tahu jawabannya, tapi tetap saja ia ingin mendengarnya sendiri dari orang yang bersangkutan.
"Kamu dapet darimana alamat rumah Melisa?" tanya Tyas.
Leo menggedikkan kedua bahunya sembari melajukan kembali kendaraannya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. "Saya kan intel," jawabnya santai.
Tyas mencibir mendengarnya. "Pasti dari Tante Jena kan?" selidik Tyas lagi dan kali ini Leo hanya diam saja. Diamnya Leo itu sudah cukup bagi Tyas untuk menandakan kalau dugaannya itu benar.
"Kenapa sih dia hobi banget ikut campur urusan orang," gumam Tyas pelan namun masih terdengar jelas oleh indera pendengaran Leo. Leo memang tidak mengetahui secara pasti kenapa Tyas tidak akur dengan Jena, namun ia ingin sekali membuat Tyas bisa memperlakukan Jena layaknya seorang ibu.
"Sebelum ngasih alamat Melisa ke saya, Tante Jena ngasih saya ultimatum," ujar Leo membuat Tyas menoleh menatapnya. Jago banget emang Leo kalau urusan mancing-memancing
"Dia bilang gak akan biarin saya nyakitin kamu."
Jika sebelumnya Leo membuat degup jantung Tyas berdetak tak karuan, kali ini Tyas justru seperti kehilangan detak jantungnya. Napasnya seolah tersekat. Tangannya terasa gemetar. Benarkah Tante Jena...
"Mungkin Tante Jena memang bukan ibu kandung kamu, tapi setidaknya dia tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu untuk kamu, Yas. Jadi, kenapa kamu gak bisa melakukan hal yang sama?"
Tyas tetap diam. Terlalu banyak yang berkecamuk dalam pikirannya sekarang. Tentang Leo juga tentang Jena semuanya membuat kepala Tyas jadi pusing.
***
Sejak sampai di rumah tiga jam yang lalu, Tyas masih saja mengurung dirinya di dalam kamar. Kata-kata yang Leo ucapkan padanya di perjalanan beberapa waktu lalu terus saja terngiang-ngiang dalam kepala Tyas bak hantu yang mengganggu ketenangannya.
"Mungkin Tante Jena memang bukan ibu kandung kamu, tapi setidaknya dia tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu untuk kamu, Yas..."
Ya, Leo memang benar. Tyas juga bukannya buta terhadap semua bentuk perhatian yang Jena berikan padanya. Hanya saja Tyas selalu mencoba untuk menolaknya.
"... Jadi, kenapa kamu gak bisa melakukan hal yang sama?"
Jika Tyas melakukan hal yang sama untuk Jena, memperlakukan Jena selayaknya ibu kandungnya sendiri, lalu bagaimana dengan semua luka yang mamanya rasakan karena Jena? Bagaimana dengan perasaan mamanya yang tidak bisa mendapat cinta dari suaminya karena pria yang dinikahinya itu mencintai orang lain? Apa Tyas bisa setega itu mengabaikan perasaan mamanya?
Tapi...
Apa yang Jena berikan untuk Tyas selama ini juga bukan demi formalitas semata, bukan hanya karena ia berusaha menjaga imagenya sebagai istri yang baik di depan Andi─suaminya. Tyas bisa merasakan jika Jena tulus menyayanginya. Sebab Tyas juga perempuan, dan sebagai sesama perempuan Tyas tahu betul bahwa tidak mungkin seorang wanita mampu bertahan meskipun seringkali disakiti jika bukan karena ada cinta di hatinya.
Sikap Tyas selama ini baik secara langsung maupun tidak, pasti ada kalanya membuat Jena sakit hati. Namun betapa menyebalkannya Tyas, tidak lantas membuat Jena bersikap buruk padanya. Jadi, apa yang harus Tyas lakukan? Apa Tyas harus mulai membuka hatinya? Memaafkan semua yang terjadi di masa lalu dan menerima kenyataan bahwa Jena sekarang adalah ibunya?
"Tyas, Tante boleh masuk?" Pintu yang diketuk bersamaan dengan suara Jena dari luar membuyarkan lamunan Tyas.
"Iya, Tante," jawab Tyas.
Setelah mendapat persetujuan dari Tyas, Jena lantas membuka pintu kamar Tyas dan masuk ke dalam kamar Tyas. "Udah waktunya makan malem, Yas. Yuk kita makan," ajaknya.
Tyas bergeming, menatap Jena dengan pandangan yang sulit Jena artikan. Apa Tyas gak mau makan malem bareng ya? Tapi kan dia harus tetap makan, gumam Jena dalam hati. "Apa mau Tante bawain aja makanannya ke sini, Yas?" tanya Jena. Biarlah jika Tyas tidak mau makan bersamanya, tapi setidaknya Tyas tidak melewatkan makan malamnya.
"Emm... gak usah, Tante. Saya makan di ruang makan aja."
Mendengar jawaban Tyas, Jena langsung tersenyum senang. "Ya udah kalau gitu Tante tunggu di meja makan ya," pamitnya dan Tyas mengangguk kecil.
"Iya, Ma..." gumam Tyas pelan setelah Jena menghilang dari pandangannya.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...